Isu agraria masih hangat diperbicangkan, apalagi sejak debat Pilpres sesi kedua membahas isu agraria. Isu ini masih terkait pada tingkat ketimpangan agraria yang berkonsekuensi pada pemilikan, penguasaan dan penggunaan lahan untuk rakyat (khususnya para petani). Isu ketimpangan agraria semakin menarik saat dikaitkan pada data-data yang tergambar dalam Sensus Pertanian 2013 (ST 2013).
Pelatihan singkat yang diadakan oleh Sajogyo Institute mengangkat tema besar “Belajar Bersama Ketimpangan Agraria”. Pelatihan yang diselenggarakan pada Senin (15/4), dibagi menjadi tiga sesi diskusi dengan tema-tema spesifik. Diskusi tersebut juga membedah hasil laporan ST 2013, di mana Indonesia mengalami penurunan jumlah petani (khususnya petani gurem) secara signifikan.
Dalam sesi pertama pelatihan, Adi D. Bahri yang mengisi diskusi bertema ‘Dinamika Struktur Penguasaan Sumber-Sumber Agraria’, menengahkan diskusi yang lebih spesifik, ‘Rumah Tangga Petani dan Penguasaan Sumber Agraria’.
“Saya mengolah data sensus 2013 itu luar biasa, membandingkan beberapa variable yang ada. Itu cukup lumayan. Cuma satu sensus saja. Kami masih mengolah baru satu sel satu blok dari sensus. Ini pada ranah rumah petani saja”, ujar mas Adi, sapaan akrabnya.
Dalam diskusi tersebut, ada yang menarik untuk disimak. Pertama, dalam sensus pertanian terbaru, istilah ‘Rumah Tangga Petani (RTP)’ mulai tergantikan oleh istilah baru ‘Rumah Tangga Usaha Pertanian (RTUP)’. Dalam diskusi tersebut, istilah RTUP cenderung melebar dan memerlukan perincian lebih jelas.
“Rumah Tangga Usaha Pertanian justru lebih luas dan tidak rinci. Bisa saja mencakup dari petani pemilik lahan hingga buruh tani yang tuna kisma”, ujar Dianto Bachriadi.
Kedua, data jumlah Tunakisma dan luas pemilikan lahan seiring waktu sudah tidak lagi terlihat dalam sensus BPS sejak tahun 1983. Hal ini justru semakin sulit menganalisis perkembangan penguasaan sumber agraria di Indonesia. “Untuk mengusahakan penelitian agraria rentang 1963-2003 dengan pak Wiradi saja sudah begitu sulit, terutama memperoleh dua data tersebut”, jelas Dianto Bachriadi.
Ketiga, sensus BPS memiliki keterbatasan terutama mengenai sensus terhadap para petani dalam sistem pencacahan (per-individu). Sensus BPS adalah data makro sehingga tidak atau kurang menyentuh sistem kepemilikan komunal dan kinship (pola kekerabatan). Hal ini terlihat dari peningkatan jumlah petani Maluku-Papua yang sebenarnya memerlukan catatan pada sistem komunal dan tanah adat.
“Kita harus akui bahwa data BPS memiliki keterbatasan karena hanya mencakup data-data yang bersifat makro. Adalah tugas para peneliti untuk mendalami persebaran tanah-tanah kepemilikan adat atau kinship, masalah diversifikasi usaha petani yang sudah terjadi sejak 1980-an. Bahkan seringkali abai terhadap masalah-masalah gender yang mengitarinya. Ini berkonsekuensi pada masalah kesejahteraan”, ujar Siti Sugiah M. Mugnisyah, dosen Komunikasi Masyarakat FEMA-IPB.
Pada sesi kedua, Moh. Shohibuddin mengisi tema ‘Membedah Opini ‘Meluruskan Narasi Ketimpangan Agraria’’. Ia menengahkan genealogi kebijakan agraria dalam lintasan sejarah dan perjalanan tersendatnya pembaharuan agraria di Indonesia.
Menariknya, mas Shohib, sapaan akrabnya, menengahkan politik alokasi tanah yang dilancarkan pemerintah. “Visi politik alokasi tanah telah tertuang dalam Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2) UUPA”, jelas mas Shohib. Selain itu, mas Shohib juga menjelaskan terdapat perbedaan distribusi dan alokasi dalam agenda Reforma Agraria.
Mas Shohib menyinggung jumlah penurunan jumlah petani gurem secara signifikan, khususnya golongan penguasaan kurang dari 0,1 hektar. Paradoks dengan meningkatnya jumlah petani berlahan luas lebih dari 3 hektar.
“Gambaran data tersebut mengindikasikan adanya polarisasi antar-dua golongan ekstrem berdasar golongan luas lahan dan terjadinya proletarisasi petani-petani gurem secara signifikan”, jelas beliau.
Dalam membedah visi politik alokasi tanah , mas Shohib menengahkan ketimpangan alokasi tanah antara koperasi dan badan-badang gotong royong sejenis dengan korporasi besar. “HGU non-kehutanan lebih banyak diberikan kepada korporasi-korporasi besar. Sedangkan sangat sedikit sekali diberikan kepada koperasi-koperasi misalkan”, tegas mas Shohib.
Mas Shohib menegaskan dalam kesimpulannya bahwa politik alokasi tanah perlu untuk diperhatikan dalam agenda Reforma Agraria di Indonesia. “Seharusnya, dalam berbicara Reforma Agraria, juga tidak lepas berbicara politik alokasi tanah, tidak hanya redistribusi an sich”, simpul mas Shohib.
Kritik Metodologi Penghitungan Ketimpangan Lahan
Pada sesi terakhir di hari kedua, Dianto Bachriadi mengisi materi bertema “Membedah Ketimpangan Penguasaan Tanah: dari Pengertian, Konsep, hingga Metodologi Penghitungan Ketimpangan”. Dalam sesi diskusi tersebut, Bang Gepeng, sapaan akrabnya, memberikan tanggapan kritis terhadap tulisan Mas Shohib yang dimuat di harian Kompas dengan judul “Meluruskan Narasi Ketimpangan Agraria”. Ada dua poin yang ia didiskusikan dalam opini tersebut.
Pertama, masalah “apakah ketimpangan menunjukkan adanya kesenjangan?” Bang Gepeng menjelaskan bahwa tulisan Mas Shohib kurang jeli dalam perbedaan defini antara kesenjangan dan ketimpangan.
“Ketimpangan adalah dua nilai yang tidak sama, baik secara common sense maupun statistik. Secara statistik, dia adalah fungsi persebaran nilai-nilai yang berbeda. Maka digunakan rasio gini . Sedangkan kesenjangan adalah perbedaan nilai dari suatu variabel terhadap nilai ambang batas bawah yang ditetapkan untuk variabel tertentu. Digunakanlah hitungan indeks”, jelas Bang Gepeng.
Kedua, masalah proletarisasi petani gurem menjadi buruh tani atau pergi ke kota. Menurut Bang Gepeng, tulisan Mas Shohib terlalu terburu-buru dalam menyimpulkan terjadinya proletarisasi petani. “Dibandingkan proletarisasi, lebih kuat sedang terjadi depeasantization (depetanisasi)”, tegas Bang Gepeng.
Selain itu, penarikan kesimpulan terjadinya proletarisasi petani gurem tidak boleh secara apriori. Menurutnya, perlu pembacaan yang teliti dan seksama terhadap data-data yang dikeluarkan BPS. “Bisa saja petani-petani gurem itu ‘naik pangkat’ menjadi golongan petani luas lahan menengah”, jelasnya.
Sehingga, setidaknya perlu data-data lainnya untuk melengkapi masalah proletarisasi. “Paling tidak diperlukan satu set data lagi, yakni perkembangan/perubahan jumlah dan/atau proporsi petani tunakisma (landless) untuk melihat yang terjadi adalah ‘proletarisasi’ atau bukan”, tegasnya.
Bang Gepeng pun menjelaskan perlu perhitungan dan pemaknaan terhadap pengkonsentrasian pemilikan atau penguasaan lahan yang lebih relevan . “Konsentrasi penguasaan dan pemilikan tanah akan lebih bermakna jika dihubungkan dengan sebaran penghasilan”, ujarnya.
Artinya, mempertanyakan apakah terdapat fungsi relasi dari sebaran penghasilan rata-rata terhadap kelas-kelas penguasaan atau pemilikan tanah. Asumsinya, apabila rasio gini konsentrasi lahan lebih kecil dibandingkan dengan rasio gini pendapatan, maka menandakan terjadinya distribusi tanah yang lebih merata, yang berkonsekuensi pada perbaikan distribusi pendapatan.
Meski begitu, perhitungan tersebut belum bisa dipakai. Karena variabel-variabel perhitungan yang ditentukan sulit untuk diperoleh. “Dalam konteks makro, data jumlah luas lahan pemilikan masih sulit untuk diperoleh. Juga perhitungan terhadap relasi pemilikan tanah dengan distribusi pendapatan perlu untuk perhitungan yang tidak gampang. Apakah pendapatan yang diperoleh dari tanah tersebut atau dari yang lain. Setidaknya, perlu untuk diejawantahkan dalam kajian mikro”, kata Bang Gepeng.
Kritik Terhadap Kebijakan Redistribusi Tanah
Juga, Bang Gepeng membedah mengenai metode dan pilihan kebijakan terhadap redistribusi tanah dalam program pemerintahan Jokowi-JK. Perhitungan redistribusi tanah itu diasumsikan dengan luas lahan yang disiapkan pemerintah saat ini seluas 4,5 juta hektar untuk 9 juta keluarga. Artinya, 0,5 hektar untuk satu keluarga.
Kesimpulannya, untuk mengurangi tingginya rasio gini lahan dengan luas lahan , kebijakan land reform pemerintah perlu dan harus mengarahkan pada petani gurem. Apabila kebijakan land reform juga menyasar tunakisma, maka berisiko menambah petani gurem dan mengakibatkan tingginya rasio gini lahan.
“Maka dari itu, bila kita mematok hanya kepada 9 juta keluarga dan minimal kepemilikan lahan minimum adalah 1 hektar, maka dibutuhkan 9 juta hektar lahan. Namun apabila memasukkan juga golongan tunakisma, perhitungan saya membutuhkan lahan yang lebih besar lagi, sekitar 40 juta hektar”, Jelasnya.
Itu pun tetap bermasalah apabila tidak menyentuh pemilik-pemilik lahan luas baik pemilikan maupun pemegang Hak Guna Usaha. Oleh karenanya, redistribusi lahan semata tidak cukup.
“Redistribusi tanah saja belum berarti akan mengubah ketimpangan, jika tidak disertai dengan kebijakan pembatasan penguasaan (lahan). Artinya, redistribusi tanah (an sich) bukan berarti reforma agraria”, kata Bang Gepeng sebagai penutup materi. [kmi]
Untuk materi lengkapnya silahkan dapat diunduh di sini