“Saya menulis buku ini sebagai usaha memotret dan mendeskripsikan perubahan sosial dan ekologis apa saja yang terjadi di Mamasa”, demikian yang dikatakan oleh Renal Rinoza, penulis buku ‘Bumi dan Manusia Mamasa’ dalam acara peluncuran dan bedah bukunya pada Jumat (12/7) di Rumah Malabar 22, Bogor.
Buku ini dibedah oleh Nirwan Ahmad Arsuka (founder Pustaka Bergerak) dan Achmad Choibar Tridakusumah (Dosen Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran dan peneliti ARC).
Buku Bumi dan Manusia Mamasa hadir sebagai ihwal usaha Renal Rinoza bersama Risman Buamona memotret kehidupan masyarakat dataran tinggi Mamasa di Sulawesi Selatan-Barat.
“Kami ingin melihat seperti apa perubahan di sana, terutama perubahan yang berasal dari luar, intervensi dari Negara dan kekuatan kapital. Kekuatan-kekuatan yang mengubah relasi-relasi sosial-ekologis di sana”, kata Renal, sapaan akrabnya.
Hal ini senada dengan pembedah buku, Achmad Choibar Tridakusumah. Menurutnya, perubahan sosial ekologis di Mamasa terjadi setelah masuknya komoditas kopi dan bibit padi unggul ke Mamasa. Juga terjadi penanaman secara seragam bibit unggul padi dan meminggirkan bibit lokal yang ternyata beragam di Mamasa.
Akibatnya, kepentingan-kepentingan subsisten dan pola bersama dalam masyarakat Mamasa terkikis. Penanaman padi unggul dan penanaman kopi pada akhirnya bertujuan untuk mencari uang dan mengikis kebersamaan desa dan relasi manusia dengan tanahnya.
“Menurut pembacaan pribadi saya, mengapa judul bukunya ‘Bumi dan Manusia’ adalah gambaran umum terputusnya relasi manusia dan tanahnya di dataran tinggi Mamasa”, ungkapnya yang sehari-harinya akrab disapa Kang Trida.
Keterputusan tersebut menyebabkan terjadinya perubahan sosial masyarakat pertanian di Mamasa, khususnya lembaga-lembaga tradisional dan peran perempuan di sana. “Dalam masyarakat pertanian Mamasa, ada namanya Kosobok. Saya tertarik dengan (lembaga adat) ini. Sayangnya, kini sudah hilang. Kosobok hilang, tapi peran perempuannya masih ada. Ini yang menarik untuk dibahas”, kata Kang Trida.
Nirwan Arsuka mengungkapkan hal berbeda. Dalam pembacaan Bung Nirwan, buku ini mengajak pembaca untuk bertanya ‘Bagaimana sih menyikapi perubahan tersebut’.
“Kita mendewa-dewakan perubahan, kita bekerja untuk perubahan, kita mengidentifikasikan diri dengan perubahan. Bahkan musik-musik hingga pekik Revolusi juga untuk perubahan. Bahkan kajian dan wacana ekonomi-politik pun akan hambar bila tidak dilandasi semangat perubahan. Bahkan, agama-agama besar pun berkembang karena perubahan,” jelas Bung Nirwan.
Baginya, setidaknya dalam buku ini, penulis memandang perubahan sebagai satu hal yang disesalkan. “ide dan gagasan perubahan yang pada satu sisi kita mendewakannya, ada semacam joy of change, tapi di sisi lain ada pain of change,” ungkap Bung Nirwan.
Bung Nirwan mempertanyakan bagaimana bila Mamasa tidak merasakan masuknya pasar, “atau setidaknya tidak merasakan gerakan literasi dan masuknya sekolah misalnya. Industri dan jaringan multinasional juga misal.”, lanjut beliau.
Baginya pembacaan terhadap buku ini bukan sekadar nostalgia, tapi menilai kembali perubahan itu. “Jangan-jangan perubahan ini ternyata tidak baik. Jangan-jangan semakin kita berubah, semakin kacau saja kita ini,” refleksi beliau terhadap buku Bumi dan Manusia Mamasa. “Maka perlu untuk mempertimbangkan juga seberapa penting mempertahankan sesuatu yang telah ada dari masa silam”, lanjut Bung Nirwan.
Bung Nirwan mengambil pengandaian terhadap para petani dalam menghadapi perubahan. “Bagi yang pro-perubahan, tenaga kerja manusia tidak usah berlelah dan hanya dengan penggunaan robot untuk menaikkan hasil. Tapi, bagaimana dengan nasib mereka setelah ada mesin otomasi, hilang lapangan pekerjaan mereka? Itu adalah kehilangan yang menyakitkan.”
Bung Nirwan pun memberikan kritik terhadap buku ini karena tidak begitu jelas, apa tesis dan tujuan yang ia capai dengan menulis buku tersebut. Namun, Bung Nirwan menilai, agaknya memang hal itu diperlukan “Kita perlu untuk mencatat sebanyak-banyaknya terhadap bagaimana hal-hal terjadi dari perubahan. Sehingga apa yang sudah hilang (efek dari perubahan) bisa tercatat gambaran keadaan saat itu.”
Selain itu, perubahan tidak untuk dinilai sebagai sesuatu yang melulu disalahartikan. Bagi Bung Nirwan, masyarakat mana pun, perlu untuk diberi kesempatan mengecap perubahan itu “Masyarakat Mamasa barangkali perlu untuk mencerna perubahan itu. Mengetahui apa itu pasar dan modal. Dan mengetahui nilai dari komoditas kopi yang mereka punya,” tambahnya.
Menurut Bung Nirwan, dengan mencerna perubahan itu, masyarakat Mamasa tidak akan terjebak menjadi pihak yang selalu menjadi objek orang luar.
Risman Buamona, penulis buku di samping Renal Rinoza, memberikan cerita saat ia saat turun lapang di Mamasa. “Orang Mamasa yang notabene tinggal di daerah dataran tinggi sangat berhati-hati dan awas terhadap orang-orang luar, sehingga dinilai begitu tertutup. Sangat berbeda dengan saya yang notabene tinggal di pesisir,” ungkap Risman.
Terjadinya perubahan sosial di Mamasa telah mengubah wajah masyarakat baikd ari segi ekonomi dan ekologi. “Pada dasarnya, masyarakat Mamasa telah memiliki kehidupan yang gemah ripah loh jinawi, akan tetapi terjadinya perubahan yang berasal dari luar, telah mengubah masyarakat Mamasa itu.”
Perubahan itu juga tidak bisa semata-mata mengubah perilaku masyarakat Mamasa dalam satu malam. Hal ini juga berkaitan dengan pola perilaku menghadapi lingkungan yang berbeda antara tempat merek bekerja dengan tempat mereka hidup.
“Di bidang ekonomi, orang Mamasa yang pada akhirnya terpaksa bekerja di luar Mamasa, paling tidak, bekerja di Makassar, bekerja di sektor informal. Terkadang, mereka pada akhirnya kembali lagi ke Mamasa. Mengapa? Mereka yang terbiasa hidup di daerah pegunungan yang begitu dingin, terpaksa hidup di pesisir Makassar demi mencari uang, membuat mereka tidak betah. Bahkan ketidakbiasaan itu mereka tanggulangi dengan mandi sebanyak lima kali sehari,” ungkap Risman. (kmi)