In the Spirit of Kampto Utomo*

Bagikan

Share on facebook
Share on twitter
Share on linkedin
Share on whatsapp

Oleh: Prof. Benjamin White**

Terima kasih atas kesempatan ini. Dalam sesi ini sesuai dengan pesan teman-teman dari Sajogyo Institute dan IPB, saya akan coba menggambarkan beberapa sifat pokok Professor Sajogyo sebagai ilmuwan sosial, yaitu berkeprihatinan, konsisten, tegas dan inklusif (yang terakhir berarti: yang mau memberi ruang pada perbedaan).

Selain itu saya mau coba bayangkan, seandainya Pak Sajogyo masih berada diantara kita, kira-kira masalah-masalah apa dalam bidang agraria dan pedesaan yang akan menjadi perhatiannya? Khususnya dalam konteks tahun 2019-2020 ini, dimana Indonesia bersama dengan seluruh anggota PBB lainnya sejak bulan Mei 2019 memasuki UN Decade of Family Farming 2019-2028; dan dimana Indonesia menyiapkan diri untuk tahun depan merayakan 60 Tahun UUPA dan UUPBH, yang dua-duanya dimaksudkan untuk memberdayakan petani kecil, petani gurem dan petani pemaro, tetapi dua-duanya masih belum dilaksanakan secara benar dan konsisten.

Tetapi sebelumnya saya mau cerita sedikit tentang pengalaman saya pribadi bekerjasama dengan Pak Sajogyo dan Ibu Pudjiwati Sajogyo.

Saya kenal pertama kali dengan Professor Sajogyo pada tahun 1973 dan 1974, waktu saya diminta membantu mendampingi proyek penelitian baru Survei Agro Ekonomi di Bogor, yang namanya Studi Dinamika Pedesaan.  Pada bulan Oktober 1974, dalam suatu Lokakarya persiapan Studi SDP tersebut, saya ingat saya sempat tukar pikiran dengan Pak Sajogyo tentang teori ‘involusi pertanian’nya Clifford Geertz, dimana kami sependapat bahwa teori itu banyak kekurangannya (White 1974, Sajogyo 1976, White 1983).  Pada waktu itu, setelah Pak Sajogyo menjabat Ketua Badan Kerja SAE sejak berdirinya tahun 1964 sampai 1972, kepemimpinan SAE beralih dari Pak Sajogyo ke Pak Achmad Birowo dan kepemimpinan Studi Dinamika Pedesaan dipegang oleh Pak Rudolf Sinaga dari IPB. Jadi selama 5 tahun mendampingi SDP itu, saya tidak banyak berinteraksi dengan beliau secara formal.

Namun, berhubung rumah saya di Jalan Taman Malabar  nomor 16 berjarak hanya 100 meter dari rumah Pak Sajogyo dan Ibu Pudjiwati, dan mengingat saya waktu itu tinggal sendirian dirumah, membujang selama lima tahun 1975 – 1980, saya sering menghilangkan kesepian sore hari dengan mampir ke rumah mereka, duduk di beranda depan rumah, minum teh sambil ngobrol santai atau diskusi serius.

Pada tahun 1970an sebenarnya saya lebih banyak berinteraksi profesional dengan Ibu Pudji, yaitu ketika saya menjadi penasehat penelitian FAO tentang The role of women in rural Java. Studi itu merupakan kerjasama antara SDP dan Pusat Studi Sosiologi Pedesaan IPB, dimana Ibu Pudji menjabat sebagai ketua tim dan timnya terdiri dari seorang peneliti muda IPB dan dua peneliti muda SDP. Sedang saya bersama Pak Sajogyo menjadi penasehat. Studi itu, yang  berlangsung selama satu tahun di dua desa Jawa Barat, merupakan studi  pertama yang secara sistematis mengkaji kegiatan perempuan dan hubungan gender di pedesaan Indonesia. Tim Studi Wanita itu menjadi pelopor dalam penelitian alokasi waktu menurut gender, dengan menggunakan dan menyederhanakan  metodologi studi alokasi waktu yang saya pernah gunakan sebelumnya untuk penelitian disertasi saya di Kulon Progo tahun 1972-73.

Selain itu, kami sama-sama mengembangkan suatu metodologi baru untuk membandingkan pengaruh lelaki dan perempuan dalam pengambilan keputusan di tingkat rumah tangga dan komunitas desa. Studi itu menghasilkan berbagai publikasi di Indonesia dan internasional (diantaranya P. Sajogyo et al. 1979, P.Sajogyo 1980, White & Hastuti 1980) dan datanya kemudian menjadi data pokok untuk disertasi Bu Pudji yang dipertahankan di UI tahun dan kemudian menjadi buku (P. Sajogyo 1983).

Tetapi sekarang saya harus kembali berfokus pada Pak Sajogyo, untuk tidak dituduh mencuri topiknya Ibu Keppy yang akan memberi Pudjiwati Sajogyo Lecture setelah ini.

Kerjasama intensif saya dan Pak Sajogyo baru dimulai tahun 1987-1991 dalam rangka menjalankan proyek penelitian “Kesempatan kerja dan sektor non-farm di pedesaan Jawa Barat” (kerjasama antara ISS, IPB dan ITB).  Proyek tersebut melibatkan cukup banyak dosen muda IPB, yang sekarang menjadi guru besar atau dosen senior.

Meskipun saya mengenal Prof. Sajogyo selama sekitar 40 tahun, sejak perkenalan pertama sampai pertemuan terakhir beberapa bulan sebelum beliau meninggal, bagi saya Professor Sajogyo masih tetap merupakan sosok yang misterius.

Beliau tergolong generasi founding fathers dalam ilmu sosial-budaya Indonesia. Apabila Koentjaraningrat dikenal sebagai bapaknya ilmu antropologi, Sartono Kartodirdjo sebagai bapak sejarah agraris, beliau-beliau ini semua punya latar belakang kuliah sampai PhD dalam bidang yang bersangkutan. Sedangkan Sajogyo dikenal sebagai “the father of Indonesian rural sociology”, menjadi guru besar sosiologi pedesaan pada usia sangat muda, tetapi sebenarnya latar belakang akademiknya hanya sedikit mengandalkan kuliah sosiologi. He was a sociologist by nature, not by training.

Beliau menulis banyak (arsip Sajogyo Institute mencatat 280 karya tulisnya, dan masih belum lengkap) tetapi sebenarnya jumlah “publikasi” dalam arti sebenarnya (buku, artikel dalam jurnal, Bab dalam buku bunga rampai) tidak banyak. Kebanyakan karya tulisnya beredar dalam bentuk stinsilan atau fotokopian.

Melihat sosok Pak Sajogyo tahun 1970an — seorang pendiam, yang suka meditasi — sulit membayangkan beliau bertempur melawan Belanda sebagai Tentara Pelajar pada akhir tahun 1940an, juga sulit membayangkan beliau sewaktu diangkat menjadi Rektor IPB pada tahun 1964 usianya masih sangat muda (belum 40 tahun) dan mampu bertindak keras melawan korupsi dan manajemen kampus yang tidak beres.

Sebagai dosen kalau memberi kuliah, atau sebagai tokoh publik kalau bicara di depan orang banyak, saya kira kita semua harus mengakui bahwa Pak Sajogyo bukan public speaker yang paling baik. Suaranya kecil, matanya tidak melirik ke arah pendengar tetapi ke bawah, apa yang diungkapkannya seperti sering menyangkut pada jenggotnya, dan kalaupun kita berhasil menangkapnya, kalimatnya sering membuat kita bingung. Sehingga kadang-kadang baru beberapa hari atau minggu kemudian tiba-tiba lampu menyala: oh,  itulah maksud Pak Sajogyo!

Sebaliknya, Pak Sajogyo mempunyai gaya menulis yang sangat khas dan persis kebalikan dari gaya beliau bicara. Kalimat-kalimatnya singkat, jernih,tanpa basa-basi, sering berformat seperti kalimat-kalimat telegram, kadang-kadang bernada keras, penuh kritik  dan sangat sering berakhir dengan tanda seru ! (kadang-kadang tanda serunya dua!!), juga dalam laporan-laporan formal untuk pemerintah atau sponsor penelitian.

Untuk menyiapkan kuliah ini, dalam rangka menelusuri lebih mendalam karakter Kampto Utomo sebagai ilmuwan, saya membaca kembali beberapa belas karya tulis Kampto Utomo dari masa awal kariernya, pada tahun 1960an dan 1970an (setelah mengganti nama menjadi Sajogyo). Dari tulisan ini sudah cukup jelas bahwa dari awal— termasuk pada saat-saat beliau sendiri berada dalam situasi peka secara politik, hal yang membuat banyak cendekiawan lain menjadi sangat hati-hati kalau menulis— Kampto Utomo mencerminkan model ilmuwan yang peduli, berkeprihatinan, tegas dan inkusif, dan konsisten menunjukkan sifat-sifat yang sama selama hampir setengah abad kemudian.

Perkenankanlah saya menggambarkan beberapa ciri pokok ini, dengan sebanyak mungkin mengutip langsung tulisannya Sajogyo.

Sifat inklusif: memberi ruang pada perbedaan

Sebagai pemimpin di kampus, baik sebagai rektor pada tahun 1960an maupun sebagai ketua Pusat Studi Sosiologi Pedesaan tahun 1970an dan 1980an, juga sebagai Ketua Survei Agro Ekonomi selama 12 tahun (1964-1972), Pak Sajogyo tidak berpihak secara politik. Namun, ia memandang universitas dan lembaga penelitian sebagai tempat dimana seharusnya semua ide dan pendapat bebas untuk bertarung dan berdebat, baik dalam ranah teori maupun dalam praktik kebijakan. Sewaktu beliau menjabat Rektor IPB, tokoh partai politik manapun boleh diundang ke kampus asalkan punya perhatian serius terhadap masalah-masalah pertanian dan nasib petani dan buruh tani.

Sifat inklusif dan memberi ruang pada perbedaan dapat dilihat dalam bebagai tulisannya pada tahun-tahun terakhir rezim Demokrasi Terpimpin dan tahun-tahun pertama pemerintahan Soeharto. Misalnya dalam laporan yang beliau tulis tahun 1965 tentang 20 tahun ‘Research sosiologi pedesaan di Indonesia 1945-1964’ untuk Departemen Urusan Research Nasional. Dalam laporan itu beliau menegaskan bahwa “apa yang dilakukan orang atas nama atau bukan-atas-nama [sosiologi pedesaan] itu bukanlah monopoli para sarjana dengan didikan spesialiasi bidang tersebut”.  Selain perguruan tinggi,beliau menyebutkan dua sumber kegiatan riset sosiologi pedesaan lainnya yang penting yaitu “Jawatan dan lembaga-lembaga pemerintah lainnya”,  misalnya Kantor Gerakan Tani di Departemen Pertanian yang kemudian ganti nama menjadi Jawatan Pembangunan Usahatani, dan “Ormas-ormas tani dan orpol”. Selanjutnya ia menegaskan bahwa “semua fihak tersebut berlandaskan satu dasar pemikiran: demi mengemban Amanat Penderitaan Rakyat dan penunaian tugas masing-masing yang sebaik-baiknya, masing-masing berusaha untuk ‘mempelajari dan menguasai situasi dan kondisi rakyat’ pedesaan”. (Kampto Utomo 1965: 252).

Sikap inklusif juga terlihat selama Pak Sajogyo menjadi ketua Survei Agro Ekonomi (1964-1972), dimana studi-studi SAE itu tidak hanya difokuskan pada ekonomi produksi tetapi juga pada “arti pengembangan pertanian yang lebih luas, termasuk masalah-masalah hukum, penguasaan tanah, koperasi dan kelembagaan lain” .  Kerangka analitis yang menjadi dasar penelitian SAE juga tidak berfokus sempit pada produksi, tetapi pada “kualitas relasi antara semua pelaku dan golongan yang memiliki peran apapun dalam kehidupan dan kegiatan kaum tani; bagaimana jaringan relasi ini befungsi, dan apakah berjalan secara efektif” (Sajogyo 1971: 14). Petani Indonesia, menurutnya, “selama ini masih diperlakukan oleh kaum elit sebagai obyek, bukan subyek” dan untuk melawan sikap itu dia merekrut tenaga peneliti bukan hanya dari ahli pertanian atau ekonomi, tetapi juga dari geografi sosial, sosiologi dan disiplin lain.  SAE, yang pada waktu itu menjadi sumber kajian proses dan dampak revolusi hijau yang paling penting, secara konsisten menerima calon PhD dan peneliti asing lainnya untuk bisa mengambil data di desa-desa sampel SAE, termasuk yang mendukung kebijakan revolusi hijau (mis. Yujiro Hayami, Masao Kikuchi, Alan Strout) maupun yang mengkritik (diantaranya Richard Franke, Gillian Hart, Jonathan Pincus).

Sikap kritis

Sikap kritis ditonjolkan dalam laporannya tentang keadaan research sosiologi pedesaan tahun 1965, dimana dia menegaskan para periset tidak boleh begitu saja mengambil alih konsep-konsep Barat.  Pak Sajogyo mengatakan, “Setiap pengambil-alihan sesuatu istilah (yang berisi satu konsep) ke dalam sosiologi yang kita bina di Indonesia, memerlukan ujian ini: sesuaikah dengan sifat dan perkembangan masyarakat kita? […] Dengan demikian akan lebih terjamin interaksi tukar-menukar hasil-hasil pemikiran antara kita dan bangsa-bangsa lain.”  Sebagai contoh konkret dia menjelaskan bahwa “ciri-ciri umum dari bentuk-bentuk feodalisme atau ciri-ciri beragam sistem tuan tanah, dan juga arti apa yang diberikan pada konsep ‘kelas’ harus disesuaikan dalam konteks Indonesia.” (yang terakhir adalah hal yang masih diperdebatkan oleh pakar-pakar pedesaan Indonesia sampai hari ini).

Dan sepuluh tahun kemudian beliau mempraktekkan prinsip yang sama – “sesuaikah teori ini dengan sifat dan perkembangan masyarakat kita?” – dalam kritiknya terhadap gagasan Agricultural Involution (Geertz, 1963). Di Indonesia, seperti halnya di luar Indonesia, buku Agricultural Involution karangan Geertz dikagumi para pembaca yang pada umumnya tidak sadar bahwa teori involusi tersebut hanya merupakan hipotesa yang tidak didukung oleh data empiris, baik data sekunder maupun hasil penelitian lapangan oleh Geertz sendiri. Sampai hari ini kita masih sering mendengar pakar pertanian dan pedesaan Indonesia mengandalkan gagasan ‘involusi’, seolah involusi itu merupakan fakta.

Sajogyo adalah hampir satu-satunya pakar Indonesia yang tidak segan untuk mempertanyakan “fakta” itu dan seluruh model “involusi” – yang oleh Pak Sajogyo suka disebut  “model obat nyamuk” dengan senyum dan nada sindiran ringan. Pada tahun 1976, dalam pengantar buku terjemahan Involusi Pertanian, Sajogyo melontarkan kritik yang cukup tegas, yang dia sendiri menyebut sebagai “koreksi”.

Menurut Sajogyo,  walaupun Geertz menggambarkan model “involusi” dengan bahasa yang berbunga-bunga dan mengesankan, argumennya sama sekali tidak diperkuat dengan data makro ataupun mikro. Dan banyak aspek dari model involusi itu, yang menurut Sajogyo, tidak sesuai dengan kenyataan. Sebagai contoh, Geertz tidak menyoroti lapisan lain di pedesaan di luar petani kecil, dengan mengklaim bahwa tidak ada kelas petani komersial di Jawa ataupun lapisan proletar atau setengah proletar, sedangkan data Survei AgroEkonomi (dan banyak laporan sebelumnya pada masa akhir zaman penjajahan dan masa awal kemerdekaan)dengan jelas membuktikan adanya lapisan-lapisan ini  dalam masyarakat pedesaan Jawa yang terdiferensiasi (Sajogyo 1976: xxiv-xxv). Juga mengenai asumsi Geertz yang menjadi dasar ekologis utama untuk seluruh model involusi, yaitu bahwa “tanaman tebu memerlukan lingkungan dan kondisi ekologi yang identik dengan padi sawah”, sehingga terjadi simbiosis atau mutualisme ekologi dari tanaman tebu dan tanaman padi.  Menurut Sajogyo, kenyataannnya justru sebaliknya: “di sebagian besar dunia tropis tebu ditanam tanpa irigasi,..lebih sering hanya mengandalkan curah hujan setempat” .

Maka, alasan perkebunan gula di Jawa memilih daerah-daerah sawah irigasi dan padat penduduk bukan karena sistim ekologi yang sama, tetapi karena disana terdapat buruh murah. Lebih lanjut beliau menegaskan, “Kami punya dugaan keras bahwa pertimbangan buruh murah inilah yang terpenting dalam perhatian “inti pola kebudayaan” di pihak kapitalis pabrik gula, maka teknologi penanaman tebu yang dikembangkan oleh kapitalis dengan ilmu pertanian modern sengaja dipilih yang sesuai syarat irigasi, menyamai syarat ekologi padi sawah!” (Sajogyo 1976:xxv).

Sikap peduli dan sikap prihatin

Sajogyo sendiri sangat sadar bahwa bagi seorang sosiolog, sikap prihatin adalah sikap yang semestinya atau malah mendekati wajib. Dalam buku Pedoman Kuliah Pengantar Sosiologi misalnya (1971), beliau menjelaskan bahwa ilmu sosiologi “berkembang dari kenyataan-kenyataan dan persoalan-persoalan yang timbul dalam masyarakat, yang hendak dicarikan pemecahannya dan jalan keluarnya” (Sajogyo 1971: 2). Hal yang sama ditegaskannya kembali seperempat abad kemudian, dalam pengantarnya pada buku ringkasan tesis dan disertasi sosiologi pedesaan IPB selama 20 tahun, dimana beliau mengutip Edward Shils: “sosiologi lahir karena terdorong..kepedulian cendekiawan yang menaruh keprihatinan atas sejumlah masalah sosial […] Para perintis sosiologi itu terdorong mengkaji golongan pinggiran, mereka yang tergusur, orang miskin, penganggur, setengah penganggur, […..] dan juga mencakup petani” (Shils, dikutip dalam Sajogyo 1995: viii).

Kalau memang ilmu sosiologi terdorong oleh kepedulian dan keprihatinan, maka sudah tentu kita tidak boleh segan untuk mengangkat masalah-masalah peka dalam masyarakat dan menyorotinya dengan kajian empiris, biarpun penemuan-penemuan kita mungkin akan membuat pihak sponsor penelitian, pihak atasan di kampus, atau pihak penguasa kecewa ataupun marah. Kepedulian Sajogyo terhadap golongan marjinal dan miskin di pedesaan dapat dilihat secara konsisten dalam tulisannya selama tahun 1970an, meskipun pada saat itu beliau berada dalam kedudukan yang relatif peka setelah diturunkan dari jabatan rektor tahun 1966.

Dalam berbagai tulisan sekitar tahun 1970 Sajogyo mengungkapkan keluhan tentang ketidakpastian pelaksanaan UUPA dan UUPBH. Beliau mengatakan, “mereka yang menentang gagasan landreform menuduh pendukungnya komunis dan membuat topiknya tabu, bahkan di beberapa daerah sampai mengambil kembali tanah-tanah yang telah reidstirbusikan secara sah” (Sajogyo 1970: 21).  Pada waktu itu bukan hanya masalah landreform yang dianggap sensitif, ilmuwan atau mahasiswa yang mengangkat masalah dan kenyataan kemiskinan saja bisa repot. Tetapi Pak Sajogyo dengan konsisten menegaskan bahwa masalah-masalah dan kenyataan-kenyataan perihal kemiskinan dan marjinalisasi tidak boleh dianggap tabu. Misalnya, dalam kata pengantarnya untuk buku Singarimbun dan Penny, Penduduk dan kemiskinan dipedesaan Jawa – hasil penelitian suami-istri Masri dan Irawati Singarimbun di desa Sriharjo, Bantul -(Singarimbun dan Penny 1976), beliau menulis: “Masalah [kemiskinan] tidak sepantasnya tergolong masalah sensitif di indonesia, apalagi setelah MPR pada  Maret 1973 memberi petunjuk yang makin jelas: bukan saja pembangunan itu untuk memperbesar pendapatan nasional, melainkan juga sekaligus mengusahakan pembagian penghasilan yang lebih merata, sesuai dengan rasa keadilan rakyat” (Sajogyo 1976: 7-8).

Dalam beberapa tulisannya sekitar tahun 1970, Pak Sajogyo memperhatikan nasib para petani gurem, yang sekitar separuhnya merupakan petani pemaruh (sharecropper ). Dalam tulisannya Land and labour in Java ia mengajukan pertanyaan, “Bagaimana menjamin keikutsertaan petani gurem – diantaranya separuh petani pemaruh – dalam program [intensifikasi padi sawah]”  (Sajogyo 1970). Dalam tulisan yang sama beliau mengungkapkan keprihatinannya bahwa ketentuan-ketentuan dalam Undang Undang Perjanjian Bagi Hasil tahun 1960 tidak pernah dilaksanakan.  Ia menulis: “Undang-Undang 1960 tentang Bagi Hasil tidak pernah lepas landas ! Meskipun Undang-Undang Bagi Hasil diterbitkan pada waktu yang sama dengan Program Padi Sentra (1959-1962), pentingnya mengatur syarat-syarat bagi-hasil dengan cara yang lebih menguntungkan petani pemaruh tidak pernah dicantumkan dalam kebijakan penyediaan saprodi dan kredit untuk petani padi.”  Hal ini menurutnya mencerminkan suatu“pemisahan politik dan ekonomi politik” yang keliru (Sajogyo 1973: 6).

Sekitar tahun 1976, Sajogyo mengangkat kembali masalah landreform yang sudah 10 tahun diterbitkan. Saya kutip sekali lagi dari Kata Pengantarnya di buku Penduduk dan Kemiskinan: “Bagaimana dengan 5 juta KK  di desa-desa Jawa yang tergolong tak bertanah atau punya kurang dari 0.2 ha dan terutama buruh tani?  …Jika pemerintah punya kebijaksanaan berpandangan jauh, potensi golongan buruh-tani sebanyak itu di Jawa dapat dimobilisasi. Caranya ? Dengan landreform !”  (Sajogyo 1976: 17). Saya ingat suatu kali saya duduk di beranda depan rumah beliau, setelah buku itu terbit, saya mengajukan sebuah pertanyaan, “Pak Sajogyo, mengapa mengangkat kembali keperluan landreform dengan cara ini, dalam kata pengantar untuk bukunya orang lain?” Beliau menjawab dalam bahasa Belanda “Het is een proefbalon” (yang artinya: ini adalah balon percobaan).

Dalam tulisan yang sama dan berbagai tulisan lainnya sekitar waktu itu, dia melontarkan lima usulan tentang landreform yang masih relevan untuk kita: tentang batas maksimum kepemilikan tanah, tentang masalah tanah absentee atau guntai, tentang pembagian hasil yang tidak adil dan melanggar ketentuan UUPBH antara pemilik tanah dan petani pemaruh, tentang perlunya redistribusi tanah pekarangan, dan tentang kemungkinan memobilisasi para petani gurem dan buruh tani dalam suatu Badan Usaha Buruh Tani.

Pertama, tentang batas kepemilikan maksimum, beliau menulis “Batas maksimal tanah milik juga seyogyanya ditinjau, artinya: diturunkan (di wilayah padat penduduk di Jawa maksimal itu sebesar 17 kali luas milik rata-rata) (Sajogyo 1976: 18). Sekarang, batas maksimum kepemilikan tanah irigasi di daerah padat penduduk seperti Jawa (yaitu: 5 hektar) lebih mendekati  50 kali luas rata-rata. Kalau di dalam RUU Pertanahan kita baca “Batas maksimum {…} ditetapkan dengan luas yang dapat menjamin pemerataan penguasaan dan pemilikan tanah” (RUU Pertanahan 2019) dan kalau misalnya kita mengikuti rumusan Michael Lipton  (batas maksimum = 5x penguasaan rata=rata) – kalau begitu, di daerah-daerah padat penduduk seperti Jawa Tengah, Jogjakarta, wilayah-wilayah tertentu di Jawa Barat, Jawa Timur, dan Bali (dimana pemilikan sawah rata-rata sekitar hanya  0.1 atau 0.2 ha) batas maksimum bukan 5.0 ha tetapi hanya 0.5 atau paling luas 1.0 ha.

Angka 1.0 ha ini mungkin dianggap sangat kecil, tetapi sebenarnya masuk akal juga berdasarkan pertimbangan lain, yaitu bahwa umumnya pemilik tanah > 1.0  ha sebenarnya bukan petani lagi, tetapi mereka membagi tanahnya kepada petani pemaruh untuk digarap dalam kesatuan kecil (kadang-kadang 0.1 ha atau bahkan kurang). Dia bukan petani tetapi renternir merangkap spekulator, dua fungsi yang tidak mendukung malah menghambat kemajuan ekonomi. Jadi, menurut kriteria fungsi sosial tanah, juga kriteria bentuk penguasaan tanah yang spekulatif dsb tidak diperbolehkan, apakah mungkin batas 1.0 ha itu memang tepat?

Juga dalam berbagai tulisan beliau mulai melontarkan gagasan ‘Badan Usaha Buruh Tani’ (Sajogyo 1976) atau kadang-kadang disebut ‘Badan Usaha Buruh Padatkarya’ yang harus dimiliki dan dikelola penuh oleh anggotanya, di bawah pengurus yang dipilih oleh mereka juga, dan bisa mendapat kepercayaan untuk memborong pekerjaan pembuatan dan perbaikan infrastruktur desa, saluran irigasi, proyek penghijauan dan sebagainya.

Gagasan ini sebenarnya sangat cocok dengan prinsip Undang-Undang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (tahun 2013) yang mengatakan dengan jelas bahwa pemerintah mendukung penuh “kedaulatan dan kemandirian petani” (Pasal 3a), dan akan mengutamakan petani yang bukan pemilik dan petani pemilik kurang dari 2.0 ha. Bagi saya, hanya satu hal dalam gagasan BUBT-nya Sajogyo yang perlu dipkirkan kembali, yaitu bahwa tanah milik mereka, menurut beliau, akan dibeli oleh negara, dikembalikan kepada mereka dalam bentuk Hak Guna untuk dikelola bersama, dan hasil penjualannya itu dijadikan modal awal Badan Usaha mereka. Meskipun secara umum, atau secara teoritis, kita bisa mendukung model “hak milik kolektif, hak guna pribadi”, saya kira kenyataannnya adalah bahwa petani gurem yang memiliki tanah 0.1 atau 0.2 ha sawah akan sangat tidak setuju dengan ide bahwa dia harus menjual tanahnya, dan ini sangat masuk akal. Dengan sawah 1000 m2 saja di daerah irigasi, keluarga petani bisa menjamin persediaaan beras untuk makan setahun. Tanah itu juga bisa jadi sumber penghasilan penting, biarpun kecil, untuk pemilik yang lanjut usia. Dan tanah mereka itu sebenarnya tidak perlu menjadi sumber modal Badan Usaha. Dalam ekonomi Indonesia yang sekarang, banyak sekali sumber kredit berbunga lunak, belum lagi modal Dana Desa yang kadang-kadang membuat aparat desa pusing bagaimana mau menggunakannya untuk tujuan meningkatkan kesempatan kerja dan penghasilan warga yang miskin.

Gagasan Pak Sajogyo tentang landreform pekarangan cukup jelas, dimana tanah pekarangan tidak boleh menjadi sumber akumulasi dan spekulasi seperti sekarang dan setiap KK akan diberi hak atas sebidang pekarangan seluas 300 m. Redistribusi pekarangan seperti ini sudah menjadi kenyataan di berbagai negara lain (misalnya negara bagian Kerala di India), dan sudah masuk dalam kebijakan organisasi gerakan petani di Indonesia yang berfokus pada masalah-masalah agraria.

Yang terakhir saya akan menyinggung soal petani pemaruh. Menurut BPS, sekitar 30 persen petani Indonesia tidak memiliki atau memiliki hanya sebagian tanah garapan mereka. Di daerah-daerah penghasil padi, angka ini pasti lebih tinggi walaupun kita tidak punya data mendetil. Di duabelas desa penghasil padi di Jawa, Lampung dan Sulawesi Selatan yang diteliti oleh teman-teman dari Akatiga beberapa tahun lalu, di sembilan dari duabelas desa itu lebih dari separuh petani padi tidak memiliki atau hanya memiliki sebagian tanahnya dan hampir semua mereka adalah petani pemaruh. Meningkatnya jumlah petani pemaruh juga saya temukan di desa yang saya teliti di Kulonprogo sejak tahun 1972. Proporsi petani bukan pemilik (hampir semuanya petani pemaruh) meningkat menjadi lebih dari 60 persen. Jika demikian ketentuan-ketentuan pembagian hasil, yang diantaranya mengatur mengenai biaya produksi yang harus ditanggung antara pemilik dan penggarap, berpengaruh terhadap penghasilan dan kesejahteraan jutaan petani Indonesia (mungkin sekitar 8 juta atau lebih). Syarat-syarat bagi-hasil tersebut sebenarnya sudah diatur dengan jelas dalam Undang-Undang (UUPBH 1960), yang bersifat melindungi si petani pemaruh, tetapi ketentuan-ketentuan UU tersebut dilanggar secara kontinyu di seluruh Indonesia, seolah-olah UU itu tidak pernah ada. Misalnya, ketentuan bahwa perjanjian bagi-hasil untuk sawah berlangsung minimal tiga tahun dan untuk tanah kering 5 tahun; dan yang paling penting, bahwa definisi “hasil” yang menjadi basis pembagian hasil adalah hasil bersih setelah dikurangi biaya bibit, pupuk, ternak dan biaya buruh tanam dan buruh panen. Dengan revolusi hijau yang mengharuskan petani untuk lebih banyak membeli input benih, pupuk, pestisida, dan menyewa traktor, biaya produksi sudah meningkat. Kalau di desa Kulonprogo itu kita membandingkan pembagian yang nyata untuk pemilik, untuk biaya produksi dan untuk penggarap, bagian yang diterima penggarap hanya 28 persen sedangkan bagian pemilik tetap 50 persen. Seandainya mereka menaati ketentuan UUPBH, baik pemilik maupun penggarap sama-sama akan menerima 36 persen bersih (Wijaya dan White 2019). Apakah di IPB masih ada peneliti yang peduli terhadap nasib jutaan petani pemaruh ini?

Jadi, saya kira, kalau di antara kita ada peneliti atau calon peneliti muda yang tertarik untuk melanjutkan tradisi kepedulian “in the spirit of Kampto Utomo”, masih banyak gagasan dan visi Pak Sajogyo yang bisa menjadi pintu masuk. Diantaranya: bagaimana menyesuaikan UUPA dengan zaman— misalnya dengan  meninjau kembali batas maksimal dan minimal, pembatasan kepemilikan absentee;  bagaimana menyesuaikan UUPBH dengan zaman, untuk menjaga kepentingan petani pemaruh; mencari alternatif bagi pertanian korporat dengan tetap mengandalkan pola usahatani kecil sebagai penyedia utama pangan dan produk pertanian lain, baik untuk konsumsi domestik maupun untuk ekspor, dan berjuang sepuluh tahun ke depan memberdayakan petani kecil; dan bagaimana menempatkan kembali masyarakat petani, petani pemaro dan buruh tani sebagai subyek dan bukan obyek kebijakan— yang berarti sebagai warga yang bebas, berdaulat, yang punya hak dan tidak boleh disuruh-suruh; dan bagaimana mencapai visi Pak Sajogyo tentang desa sebagai (in his own words): a place where the special interests of various groups, especially farmers’ cooperatives and farm labour organizations, will have to be recognized […] a place for sound local politics, with responsible leaders and concerned villagers in lively dialogue” (Sajogyo 1973: 73).

*Tulisan ini merupakan makalah yang dibawakan oleh penulis dalam Sajogyo and Pudjiwati Sajogyo Lecture 2019 pada 29 Agustus 2019. Makalah ini awalnya berjudul ‘In the Spirit of Kampto Utomo: Sajogyo sebagai Ilmuwan Sosial yang Berkeprihatinan, Konsisten, dan Memberi Ruang pada Perbedaan’

**Penulis merupakan Professor (Emeritus) di International Institute of Social Studies, Den Haag, Belanda.

 

DAFTAR PUSTAKA

Ambarwati, A. R. A. Harahap , I. Sadoko and B. White. 2016. ‘Land tenure and agrarian structure in regions of small-scale food production’, in J. McCarthy and K. Robinson (eds.) Land and Development in Indonesia: Searching for the People’s Sovereignty. Chapter 12, pp. 265-294.  Singapore: ISEAS.

Geertz, C. 1963. Agricultural Involution: Processes of Ecoogical Change in Indonesia. Berkeley: University of California Press.

Geertz, C. 1976.  Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi di Indonesia. Jakarta: Bhratara Karya Aksara.

Kampto Utomo. 1965. Research sosiologi pedesaan di Indonesia 1945-1965. Dlm. M. Makagiansar dan S. Sumintawikarta (red.) Research di indonesia 1945-1965 Jilid III: Bidang Pertanian. Jakarta: Departemen Urusan Research Nasional, hal. 251-265.

Mubyarto et al. (red.) 1996. Sajogyo: Bapak, Guru dan Sahabat. Jakarta: Yayasan Agro Ekonomika.

Pudjiwati Sajogyo, E.L. Hastuti, S. Surkati, W. Wigna, K. Suryanata and B. White. 1979.  Studying rural women in West Java.   Studies in Family Planning 10 (11-12), pp. 364-369.

Pudjiwati Sajogyo. 1983. Peranan Wanita Dalam Perkembangan Masyarakat desa. Jakarta: Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial.

Sajogyo. 1970. Land and labour in Indonesia.  Bogor. (stinsilan)

Sajogyo. 1971. Pedoman Pengantar Sosiologi.  Bogor: Bagian Sosiologi Pedeaaan dan Penyuluhan, Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi, Fakultas Petanian Institute Pertanian Bogor. (stinsilan)

Sajogyo. 1971b. Catatan perihal lapangan kerja dan revolusi hijau dalam pertanian. Disampaikan pada Lokakarya Perencanaan Tenaga Kerja LIPI, Jakarta 22 Juni 1971. Stinsilan.

Sajogyo. 1971c. The Agro-Economic Survey: A Case Study if Applied Research on Indonesian Agricultural Development Efforts. Manila, April 1971. (stinsilan).

Sajogyo. 1973. Modernization without development in rural Java. Paper contributed to the study on changes in agrarian struc tures, by FAO of the UN, 1972-73. Bogor: Institut Pertanian bogor. (stinsilan).

Sajogyo. 1976. Pertanian, lndasan tolak bagi pengembangan bangsa Indonesia. Kata Pengantar pada C. Geertz, Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi di Indonesia. Jakarta: Bhratara Karya Aksara, hal. xxi-xxxi.

Sajogyo. 1976b. Pengantar, dlm. M. Singarimbun dan D. Penny, Penduduk dan Kemiskinan: Kasus Sriharjo di Pedesaan Jawa. Jakarta: Bhratara Karya Aksara, hal. 7 – 21.

Sajogyo. 1977. Masalah tanah pedesaan dalam pemukiman. Prasaran untuk Lokakarya Kebijakan Pemukiman Nasional, Cisarua, Juli. (stinsilan).

Sajogyo. 1995. Panen dua puluh tahun SPD di IPB, Bogor. Kata Pengantar dlm. Sajogyo, S. Sunito, H.S. Adiwibowo dan N.W. Prasodjo (red.) Panen 20 Tahun. Ringkasan Tesis dan Disertasi 1975-1994 Studi Sosiologi Pedesaan Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.  Bogor: Dokis, ISI Cabang Bogor, Perhepi, YAE dan Puspa Swara, hal. vii-xxxi.

Sajogyo. 2003. Refleksi: dari praktek ke teori dan ke praktek yang berteori.  Disampaikan pada acara Refleksi Sajogyo, Gedung BRI, Jakarta, 11 Desember 2003. (fotokopian)

Singarimbun, M.  dan D. Penny, Penduduk dan Kemiskinan: Kasus Sriharjo di Pedesaan Jawa. Jakarta: Bhratara Karya Aksara.

White, B. 1974. Agricultural involution: a critical note. Workshop on the Rural Dynamics Study. Bogor: October 1974 (stinsilan).

White, B. 2018. UU Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa: pertarungan visi dan wacana dalam penelitian dan kebijakan. Wacana 26, pp. 15-28.

White, B. and Endang L. Hastuti. 1980. Different and unequal: male and female influence in household and community affairs in two West Javanese villages. Bogor: Rural Dynamics Study, Agro-Economic Survey and Centre for Riral Sociological Research, Bogor Agricultural University.

Wijaya, H. and B. White. 2019. The persistence, expansion and dynamics of sharecropping in a Javanese village.Paper presented at the International Convention of Asia Scholars, Leiden, July 2019.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Lainnya

Scroll to Top