Renungan Seorang Lansia: Kondisi Poleksosbud Indonesia Sejak Beberapa Dasa Warsa Terakhir*

Bagikan

Share on facebook
Share on twitter
Share on linkedin
Share on whatsapp

Oleh:  Gunawan Wiradi

 

PENDAHULUAN/LATAR BELAKANG

Dalam suasana pandemik Covid-19 sekarang ini, saya sebagai seorang yang amat lanjut usia, tanpa senagaja terpaksa menjadi Semar, atau “ Mesem di Kamar”, tersenyum di kamar saja. Meski secara relatif kondisi badan saya termasuk sehat, namun dalam usia yang hampir 88 tahun ini, tentu saja kemampuan saya dalam beraktivitas bagaimanapun juga menurun, “daya ingat” makin berkurang.

Sebenarnya nafsu  untuk  melakukan  kegiatan  mengunjungi  para sahabat,  para teman aktivis, ataupun lembaga-lembaga, baik lembaga pemerintah maupun swasta, tetap bergelora. Kondisi fisik saya sebenarnya sehat dalam arti terbatas. Bahkan mungkin banyak yang tidak tahu, bahwa selama hampir 2 tahun terakhir ini saya keluar-masuk RS. PMI dan mengalami perawatan. Nafsu untuk melakukan perjalanan menjadi terkendala. Seandainya tak ada pandemi Corona pun, saya memang sudah beberapa waktu membatasi kegiatan perjalanan keluar kota, terutama ke tempat-tempat yang jauh.

Kita semua tahu bahwa dalam suasana penanganan pandemi Corona ini semua orang seolah-olah “dirumahkan”. Bagi saya tentu tak terlalu mengejutkan, karena sudah lama “merumahkan diri”. Hanya saja, sebelumnya, sewaktu-waktu masih dapat berdiskusi tatap muka. Sekarang dapat dikatakan hal itu tidak mungkin. Teman-teman dan para sahabat aktivis tetap berusaha melakukan kegiatan diskusi tapi secara “online”.

Konon, para lansia adalah kelompok yang paling rentan terhadap infeksi Corona. Oleh karena itu, saya tetap berusaha menjaga kesehatan diri. Jenis makanan terkendali. Setiap pagi bangun tidur melakukan senam, berjemur sekadarnya, dan jalan-jalan di halaman. Saya bersyukur bahwa saya selalu didampingi oleh seorang muda yang sudah seperti anak saya sendiri. Namanya Sugi Anto, dialah yang “merawat” saya.

Lalu, apa yang harus saya kerjakan? Apa hanya makan tidur saja? Bisa menjadi pikun! Karena itu, untuk mengisi waktu, saya membaca-baca apa saja, atau menulis secara iseng-iseng tentang apa saja. Tetapi terus terang, saya tidak berpartisipasi  dalam acara- acara diskusi “online” yang dilakukan oleh para sahabat ataupun oleh lembaga-lembaga jaringan saya. Walaupun saya kadang-kadang mengikuti, tapi saya tidak berpartisipasi, tidak berkomentar, saya diam. Mengapa?

Sebagai generasi “kuno”-nial, yang dibesarkan pada masa Revolusi 1945, saya ingat semboyan pada masa itu. Kita tidak boleh hanya bicara saja, tapi juga tidak cukup hanya bekerja saja. Kita harus “bicara dan bekerja”, atau “ORA ET LABORA!” Namun dalam situasi seperti sekarang ini, saya terpaksa memilih peribahasa lama, yaitu “speaking is silver, silence is gold!” Untuk sementara, saya memilih lebih banyak diam, kecuali kalau pada saat-saat tertentu saya diwawancarai.

Melihat sikap saya yang demikian itu, akhirnya sejumlah teman ada yang mendorong saya untuk menuliskan saja apa yang ada dalam pikiran saya, untuk nanti disebarkan kepada mereka-mereka yang tertarik oleh isinya.

Demikianlah secara ringkas latar belakang mengapa saya tulis “Renungan” ini. Renungan sekadar renungan, yang didasarkan atas ingatan yang tersisa, tanpa rujukan ilmiah secara ketat, walaupun saya yakin bahwa ingatan yang saya paparkan di sini didasarkan atas sesuatu yang benar terjadi. Jelasnya, semua yang sifatnya “setengah- setengah ingat,” tidak akan saya paparkan.

TINJAUAN UMUM

1. Kerisauan saya.

Ketika saya mencoba untuk mencermati pergantian pemerintahan sejak lahirnya Orde Baru sampai sekarang, dan membanding-bandingkan berbagai kebijakannya, sebenarnya sudah sejak lama hati saya mulai risau. Selanjutnya, jika kita ikuti berbagai wacana yang berkembang di dalam masyarakat, berbagai pembahasan atau perdebatan di antara tokoh-tokoh, baik para elit pemerintah, anggota DPR, maupun sebagian tokoh aktivis gerakan sosial, terutama sejak beberapa tahun terakhir ini baik sebelum maupun sesudah mengalami pendemi Covid-19 ini, maka kerisauan saya menjadi bertambah. Mengapa? Karena saya mempunyai penilaian tersendiri mengenai perkembangan wacana tersebut.

2. Penilaian

Jika saya ikuti perkembangan wacana sekarang ini, saya memperoleh kesan bahwa sebagian besar para tokoh dan aktivis itu, sengaja atau tidak, dengan sadar atau tidak, telah mengabaikan faktor warisan sejarah. Sebagian besar isu-isu yang diperdebatkan selalu hanya berkutat pada hal-hal detail, pada kasus-kasus yang rinci, lepas dari akar masalahnya. Sehingga saya menilai bahwa kondisi Poleksosbud saat ini sudah rancu tidak keruan. Dalam beberapa diskusi terbatas, saya pernah menyampaikan bahwa Indonesia saat ini “sedang” dalam kondisi “bukan lagi NKRI hasil Proklamasi 1945”. Disadari atau tidak, sengaja atau tidak, kita telah mengingkari, menyimpang, atau bertentangan dengan cita-cita Proklamasi 1945, mengabaikan berbagai amanat para bapak pendiri bangsa. Hampir di semua bidang, pengingkaran itu terjadi. Poleksosbud itu mencakup masalah yang luas dan saling berkaitan. Tetapi terus terang, dalam renungan ini saya tidak akan mengulas secara rinci semua bidang, melainkan hanya satu dua bidang saja, yang sempat saya pelajari.

3. Bidang-bidang khusus yang saya cermati

Sekali lagi, aspek-aspek politik, ekonomi, sosial, dan budaya (Poleksosbud) itu saling berkaitan, sehingga bagaimana pun juga ulasan tentang sesuatu bidang sedikit atau banyak akan menyinggung bidang yang lain. Walaupun demikian, sekali lagi, dalam renungan ini saya hanya memfokuskan diri pada bidang-bidang tertentu, yaitu: masalah ketata-negaraan, masalah hukum, masalah politik, dan khususnya lagi adalah masalah agraria. Dan semuanya itu, walaupun secara implisit, saya landasi dengan ideologi Negara, Pancasila.

4. Terjebak

Seperti telah saya singgung di depan, awal penyimpangan itu terjadi sejak lahirnya Orde Baru, walaupun belum terlalu jauh. Karena itu, ketika Orde Baru tumbang, dan mulai masuk ke era “Reformasi”, semula saya mengharap kita akan kembali kepada cita-cita Revolusi 1945. Namun yang terjadi justru sebaliknya, semakin menyimpang dari “roh”-nya cita-cita Proklamasi 1945 (menurut istilah HS. Dillon). Imperialisme dan neo-kolonialisme yang ditandai dengan investasi modal asing, yang dahulu kita tentang habis-habisan, sekarang kita sambut dengan segala hormat, bahkan seolah-olah kita seperti merengek-rengek minta kedatangannya. Inilah sebuah ironi sejarah! (Baca juga uraian DR. Riwanto, dalam Rubrik Sosok, kajanglako.com, akhir 2019). Sayangnya, sebagian aktivis muda (yang semangat nasionalisme-nya tidak saya ragukan tetapi mungkin kurang memiliki kesadaran sejarah) telah terjebak ke dalam arus wacana perdebatan mengenai hal-hal yang detail sehingga tanpa sadar terlarut dan tergiring ke arah penyimpangan terhadap cita-cita 1945.

Ketidaksadaran itu termasuk juga mengenai penggunaan istilah-istilah tertentu yang seringkali menyimpang dari konsep aslinya. Dalam percaturan politik, adalah sudah biasa orang menggunakan istilah tertentu dengan makna yang sengaja disimpangkan untuk mengelabui lawan politiknya. Adalah tugas para aktivis yang kebetulan berada dalam lingkaran pemerintahan, untuk meluruskan makna istilah- istilah tertentu yang menyimpang dari konsep aslinya, agar tidak terkesan membohongi rakyat (contohnya: istilah “Reforma Agraria”).

5. Ciri-ciri Revolusi Indonesia

Untuk dapat menilai apakah sejauh sekarang ini kita telah menyimpang/mengingkari cita-cita Proklamasi 1945, ataukah tidak, saya berusaha mengingat-ingat berbagai literatur yang pernah saya baca, merenungkan amanat para bapak-bapak pendiri bangsa, serta menilik ciri-ciri Revolusi Indonesia.

Ciri Revolusi Indonesia dan cita-cita idealnya adalah – seperti kata-kata seorang filosof asing (lupa namanya, yang juga dikutip oleh Bung Karno dalam Manipol) … a summing up of many revolutions in one generation! Yaitu rangkuman dari berbagai revolusi, yang berlangsung dalam waktu satu generasi. Suatu revolusi “multi kompleks”. Yaitu suatu revolusi yang tidak hanya ingin merombak sistem pemerintahan, tetapi juga ingin menata ulang hampir semua aspek kehidupan. Ya, bidang ketata-negaraan, ya bidang hukum, ya bidang ekonomi, ya bidang politik, semuanya perlu ditata ulang! Sesuatu yang ideal, memang, dan tidak mudah untuk melaksanakannya. Dibutuhkan satu semangat… persatuan! Ya, persatuan, inilah salah satu jiwa ideologi Negara, yaitu Pancasila!

Sementara itu, beberapa tahun sesudah Perang Dunia II selesai, muncul apa yang dikenal sebagai “Perang Dingin”, bukan perang militer tapi perang ideologi antara Blok  Barat  (Amerika Serikat) dan  Blok  Timur (Soviet  Rusia).  Indonesia mengambil kebijakan politik yang disebut “Politik Bebas Aktif”, tidak memihak kepada salah satu Blok. Jadi, gerakan Non-Blok. Di dalam menjelaskan “politik bebas aktif” itu, Bung Hatta mengibaratkan “…mendayung di antara dua karang!” Dengan runtuhnya Soviet Rusia di akhir dasawarsa 1970-an seharusnya Indonesia lebih bebas lagi “mendayung di lautan”. Tetapi apa yang terjadi sekarang? Ternyata kita justru kecantol di satu karang! Inilah salah satu pengingkaran!

Bung Karno dan Bung Hatta memang ingin membatasi, menghindari, dan bahkan menolak modal asing, tetapi hal ini perlu dijelaskan. Beliau-beliau bukan semata-mata menolak yang serba asing. Bukan “xenophobia”! Melainkan, bahwa penolakan itu dalam konteks anti-kapitalisme. Meskipun perusahaan/modal bangsa kita sendiri tetapi kalau “mode of production”-nya berciri kapitalistik, ya ditolak (Baca: Di Bawah Bendera Revolusi, Jilid I, hlm: 181-185).

Pasal 33 dari UUD 1945 yang asli, yang terdiri dari tiga ayat itu, sumber gagasannya dari Bung Hatta, yaitu: (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan; (2) Cabang-cabang produksi  yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak, dikuasai oleh negara; (3) Bumi dan air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Di masa Orde Baru, konon para ekonom Orde Baru menolak prinsip “asas kekeluargaan.”

TINJAUAN KHUSUS

Seperti telah disinggung di depan, tinjauan khusus ini hanya mencakup bidang- bidang tertentu saja, yaitu bidang hukum, bidang sistem ketata-negaraan, khususnya lagi bidang agraria.

(1)  MASALAH HUKUM

Uraian mengenai masalah hukum ini nantinya mungkin akan menjadi bahan tertawaan bagi para ahli hukum kita. Hal itu bagi saya tidak apa-apa, karena saya memang bukan ahli hukum. Tetapi dari literatur terbatas yang pernah saya baca, terus terang, saya memang terpengaruh oleh pandangan seorang ahli hukum yang pernah menerima hadiah Nobel, yang bernama Oliver Wendell Holmes Jr. (alm). Di antara sejumlah pandangan atau prinsip yang dikemukakannya, ada dua yang relevan untuk meninjau perkembangan masalah hukum di Indonesia, yaitu:

(a)  Penegakan Hukum

Hukum itu tidak bisa tegak sendiri! Ya harus “ditegakkan”! Caranya? Tidak bisa kita hanya bertumpu pada bunyi pasal-pasalnya secara tekstual semata. Setiap Undang-undang harus mengandung “Bagian Penjelasan”! Di situlah letak penyatuan tafsirnya. (Laws are not self-enforcing, laws are not self-interpreting) (cf. Bartholomew, 1980, dalam Encyclopedia Americana, Vol. 25, Lihat juga, GWR, 2003, Tinjauan Kritis Atas Amandemen UUD 1945). Atas dasar pandangan ini, bagaimana saya sebagai bukan ahli hukum tidak akan risau jika melihat bahwa sebagai hasil amandemen, Bagian Penjelasan UUD 1945 dicoret sama sekali?! Bukan hanya itu. Hampir semua pasal-pasalnya diobrak-abrik. Yang utuh hanya Mukadimahnya saja. Dengan demikian, pada hakekatnya, sekarang ini sudah tidak ada UUD 1945. Yang ada adalah UUD-2003/2004 sebagai hasil amandemen. Jika sekarang ini para elit masih sering menyebut UUD

1945, secara tidak sadar itu mengecoh pengertian. Seharusnya, suatu amandemen itu hanyalah suatu perubahan kecil saja, dan karenanya hanya dituangkan sebagai lampiran, sebagai addendum. Sebagai contoh, di Amerika Serikat, selama ± 230 tahun merdeka, UUD-nya telah mengalami 26 kali amandemen, tetapi sama sekali tidak mengubah teks asli UUD-nya. Amandemen itu hanya sebagai addendum/lampiran.

(b)  Perlunya Penelitian

Wendell Holmes juga menyatakan bahwa Undang-Undang itu dibuat jika diperlukan. Untuk mengetahui apakah sesuatu itu memerlukan Undang-Undang atau tidak, diperlukan suatu penelitian. Atas dasar pandangan ini, pemerintahan jaman kolonial pun mengikuti prinsip tersebut. Contohnya di Indonesia, jaman Raffles, kebijakan “Land rente” didahului oleh studi yang dilakukan oleh Panitia Mackenzie. Jaman pemerintahan kolonial Belanda, lahirnya UU Agraria 1870, didahului oleh suatu penelitian dua tahun (1866-1868) terhadap lebih dari 800 desa di Jawa. Lhaa… sekarang ini, jaman “era reformasi”, pembuatan undang- undang diprogramkan, diproyekkan (Prolegnas)! Tidak peduli diperlukan atau tidak, pokoknya agar DPR punya kerjaan, dalam periode 5 tahun, sekian puluh macam Undang-Undang harus dibikin. Asal-asalan… Rancu!

(2)  MASALAH KETATA-NEGARAAN

Sebenarnya, perenungan saya mengenai masalah ketata-negaraan ini mencakup berbagai masalah yang lebih luas. Tetapi karena sesuatu hal, penulisan hasil renungan tersebut terpaksa saya tunda, dan mudah-mudahan dapat saya tuangkan lain kali. Sedangkan kali ini, yang akan saya sampaikan hanya beberapa aspek secara ringkas dan terbatas.

Walaupun secara sederhana, pengetahuan mengenai tata-negara sudah saya kenali sejak masih duduk di sekolah SMP pada tahun 1947. Yang saya ingat betul adalah uraian seorang guru, yang menyatakan bahwa bagi bangsa Indonesia, dalam membangun sistem ketata-negaraan kita, kita tidak sepenuhnya menganut teori TRIAS-POLITIKA. Kekuasaan tertinggi tidak terletak pada Presiden, tidak pada DPR, tapi terletak pada suatu lembaga yang disebut Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Landasan dasar dari gagasan ini adalah warisan adat istiadat kita yaitu “gotong-royong”. Karena itu, MPR adalah lembaga Tertinggi  Negara. MPR lah yang memberikan mandat kepada Presiden untuk melaksanakan fungsi eksekutif. Presiden mempertanggung jawabkan pelaksanaan tugasnya tidak kepada DPR, tetapi kepada MPR. Presiden dan DPR sifatnya kerjasama.

Walaupun ada seorang teman saya (yang kebetulan ahli hukum) yang menyatakan bahwa sistem seperti itu tidak lazim, tetapi bagi saya, hal itu justru mencerminkan bahwa para bapak-bapak pendiri bangsa kita itu kreatif!

Apa  yang  terjadi  sekarang?  Sebagai  hasil  amandemen  UUD-1945,  MPR diturunkan pangkatnya menjadi Lembaga Tinggi Negara, setara dengan lembaga tinggi yang lain seperti DPR, DPD, dll, dan bukan lagi lembaga tertinggi. Bagi saya ini rancu!

Demikianlah ungkapan renungan saya mengenai ketata-negaraan kita, secara amat ringkas dan terbatas. Begitu pula tinjauan mengenai masalah agraria yang sangat berkaitan  dengan  masalah  sistem  ketata-negaraan  kita,  belum  bisa saya tuliskan sekarang dan saya tunda lain kali.

PENUTUP

Demikianlah hasil renungan saya, yang saya tulis dengan mengalir saja, apa yang ada dalam pikiran langsung saya tulis, tanpa mempersiapkan secara sistematis urutan uraian itu. Susunan kalimatnya pun seadanya, mengalir begitu saja, sehingga mungkin terasa janggal atau kurang enak dibaca. Bagi saya, yang penting adalah “curhat”, sekadar melampiaskan “uneg-uneg”, isi hati yang membebani pikiran saya selama ini. Semua yang tertuang sekarang ini pun baru sebagian saja dari berbagai hal yang merisaukan saya. Masih banyak masalah-masalah lain yang belum tertuang.

Seperti telah saya sebutkan di depan, renungan ini saya tulis untuk memenuhi dorongan teman-teman yang merasa bertanya-tanya, mengapa akhir-akhir ini saya banyak diam, dan tidak berpartisipasi dalam berbagai forum diskusi. Saya memilih banyak diam agar tidak menambah kerancuan. Uraian ringkas di atas hanyalah sekedar hasil renungan seorang lansia yang kebetulan sedang menjadi semar, seperti telah disebutkan dalam pendahuluan di depan. Pikiran mengembara ke sana ke mari, sehingga mungkin menimbulkan kesan campur-aduk.

Renungan yang saya ungkapkan tersebut di atas justru menimbulkan pertanyaan- pertanyaan baru di hati saya. Antara lain, benarkah bahwa kita telah menyimpang dari, atau mengingkari cita-cita Revolusi 1945? Jika benar, mengapa hal itu bisa terjadi?

Saya menduga bahwa hal  itu  disebabkan  oleh  adanya sejumlah  dilema  yang dihadapi bangsa Indonesia dalam perjalanan sejarahnya sesudah Indonesia merdeka, akibat adanya dualisme pandangan mengenai berbagai hal. Untuk sementara, dua hal saja yang bisa saya sebut di sini, yaitu dualisme pandangan:

1)  Antara demokrasi untuk rakyat versus rakyak untuk demokrasi, antara demokrasi modern versus demokrasi kuno.

2)  Antara Revolusi sudah selesai versus Revolusi belum selesai.

Demokrasi kuno hanya punya satu asas, yaitu asas mayoritas. Demokrasi modern punya tiga “validating principles”, yaitu: (a) asas mayoritas, (b) asas keberlakuan hak-hak yang tidak bisa diganggu gugat, (c) asas kesukarelaan rakyat dalam memberikan persetujuan atau kesepakatannya terhadap keputusan-keputusan pemerintah (freely given consent) (cf. Encyclopedia Americana, 1980, Vol. 8, hlm. 684-691). Sekarang ini yang kita saksikan adalah demokrasi prosedural, rakyat digerakkan untuk Pemilu, dan jika perlu semacam “dibeli”. Rakyat untuk demokrasi. Bukan demokrasi untuk rakyat.

Yang lebih pelik adalah masalah Revolusi. Sekarang ini yang terasa dominan adalah pandangan bahwa Revolusi sudah selesai. Tetapi, dengan berbagai penyimpangan itu, maka Revolusi kita menjadi mubazir. Revolusi kita adalah mubazir! Ratusan, bahkan mungkin ribuan, pemuda yang gugur dalam Revolusi Kemerdekaan dulu, yang berserakan dalam makam pahlawan di berbagai kota besar, seolah-olah pengorbanan mereka menjadi tidak ada artinya. Sia-sia!

Tetapi, apakah itu berarti sebenarnya Revolusi belum selesai? Jika begitu, apa yang harus dilakukan, dan bagaimana cara menyelesaikannya? Sementara itu, sekarang ini, bicara soal Revolusi saja terasa sudah ditabukan, karena mungkin diasosiasikan dengan kemungkinan menjadi terorisme. Teori-teori tentang Revolusi agaknya perlu dipelajari kembali. Sebab, tidak ada Revolusi yang berhasil tanpa teori Revolusi. Benarkah?

Demikian, berbagai pertanyaan yang masih merisaukan pikiran saya, yang sejauh ini saya belum menemukan jawaban yang memuaskan diri saya sendiri. Renungan sekadar renungan, tak berguna boleh dibuang, tetapi jika isi berkenan di hati, silahkan baca kembali dengan tenang. Pertanyaan dan kritik yang mungkin ada, akan saya terima dengan terbuka.

Akhirnya, banyak terima kasih saya sampaikan kepada SAINS (Sajogyo Institute) yang telah memfasilitasi ditulisnya renungan ini.

*Tulisan ini merupakan hasil refleksi dari Gunawan Wiradi menyikapi fenomena hari ini di mana di tengah wabah pandemi Covid-19, telah banyak fenomena yang semakin hari semakin meresahkan. Tulisan ini dibuat pada bulan Mei 2020. Tulisan asli Gunawan Wiradi bisa diunduh di sini.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Lainnya

Scroll to Top