Sinematik #5: Oligarki Industri Batubara dan Krisis Sosio-Ekologis

 Selasa, 12 Mei 2020, Sajogyo Institute telah mengadakan Serial Diskusi Tematik ke-5 (Sinematik #5) yang dilakukan secara online, melalui media Zoom meeting dan disiarkan langsung dalam kanal YouTube Media Sajogyo Institute.

Serial diskusi ini mengusung tema ‘Oligarki Industri Batu Bara dan Krisis Sosio-Ekologis’ dengan menghadirkan tiga narasumber, yaitu Roy Murtadho (peneliti Sajogyo Insitute dan Koordinator FNKSDA), Krisworo Dwi Cahyono (Direktur Walhi Kalimantan Selatan), dan Siti Maimunah (University of Passau). Diskusi dibuka oleh moderator Ganies Oktaviana pada pukul 14.00.

Roy Murtadho mengawali pemaparan diskusi, dengan judul paparan ‘Meratus vs Oligarki Batubara’. Terdapat tiga hal secara garis besar yang disampaikan oleh Roy.

Pertama, melihat secara umum fakta-fakta pertambangan di Kalimantan Selatan. Roy menemukan fakta umum bahwa daratan Kalimantan Selatan 50 persen wilayahnya sudah dibebani izin usaha ekstraktif. Akibat kegiatan tambang ekstaktif, di Kalimantan Selatan, tercatat 841 lubang tambang yang mengancam masyarakat.

Kedua, potret penolakan masyarakat dan bagaimana narasi itu dibangun. Contoh yang diambil adalah efek mendalam tambang batu bara terhadap kondisi sosio-ekologis dan hilangnya pengetahuan dan kearifan lokal yang hidup di dalam masyarakat Dayak di dalam Pegunungan Meratus.

Dan ketiga, aspek hukum Islam terhadap oligarki industri batubara. Roy menyinggung Maqashid Syari’ah dalam memelihara lingkungan sebagai hal yang sangat penting dalam melindung lima maksud dan tujuan syariat, yaitu Jiwa, Agama, Akal, Keturunan dan Harta (baik konkret maupun abstrak).

Pemaparan kedua disampaikan oleh Kisworo Dwi Cahyono (akrab disapa Cak Kis). Beliau memaparkan sejarah dan moda perampasan ruang hidup yang oleh industri batubara di Kalimantan Selatan.

Cak Kis menekankan bahwa pemerintah seharusnya menjalankan tugasnya untuk melayani rakyat dan mendasarkan pada rakyat, bukan kepada pengusaha dan lingkar oligarki tambang batu bara yang mengincar Pegunungan Meratus. Ia pun menyinggung cepatnya proses pengesahan RUU Minerba (kini menjadi UU) yang dinilai justru akan semakin memperparah krisis sosio-ekologis dan mementahkan Putusan MA dalam menyelamatkan pegunungan Meratus.

Pemaparan terakhir disampaikan oleh Siti Maimunah, dengan judul paparan “Refleksi Krisis Pandemi: Bagaimana Oligarki Ekstraktif Disubsidi Rakyat dan Alam?” Menurutnya, dalam alam kapitalisme, semua serba tereduksi. Alam hanya sebagai sumber daya alam yang bisa dieksploitasi demi kepentingan produksi ekonomi dan pertumbuhan.

Kompleksitas, beriring eratnya, hubungan manusia seakan terputus dan tereduksi menjadi relasi kepentingan ekonomi. Alam yang dieksploitasi untuk kepentingan produksi massal melahirkan cadangan buruh-buruh murah yang tercerabut dari alamnya, dari tanahnya. Salah satunya adalah akibat pertambangan ekstraktif Batu Bara.

Oligarki tambang batu bara sendiri adalah kumpulan orang-orang yang mampu mengakumulasi kapital, uang. Dia kaya, dan kemudian mampu mengarahkan kebijakan dengan tujuan meningkatkan kekayaan atau minimal mempertahankan kekayaannya. Namun, akumulasi itu dengan cara merusak alam, mengeksploitasi berlebih alam, dan menggusur masyarakat di dalamnya untuk kepentingan akumulasi.

Baginya, tercerabutnya manusia dari alam, yang mengakibatkan kerusakan alam yang parah dan terjadinya krisis sosio-ekologis, telah melahirkan akibat-akibat yang lebih parah, seperti wabah Ebola di Afrika.

Fenomena ini tentu sangat tidak adil terjadi di Negara Pancasila. Ketiga narasumber sepakat bahwa, oligarki ini telah disubsidi oleh rakyat Indonesia, namun justru rakyat terutama rakyat di sekitar sumberdaya ekstraktif malah mendapatkan kesusahan dari kerusakan sumberdaya alam akibat ekspansi industri ekstraktif..

Sesi terakhir dari diskusi ini, dihibur oleh Cak Rus dengan membawakan sebuah lagu yang berjudul ‘Meratus’. [ALF/KMI]

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top