Dua orang ilmuwan perguruan tinggi ternama, memberi “kesaksian sebagai ahli“, bahwa, pertambangan semen di pegunungan Kendeng nantinya tidak akan merusak daur ekologi. Banyak pihak segera menyanggah, kalau kesaksian itu sangat mengada-ada. Lebih jauh, berbagai sangkaan terus berkembang, tentang betapa parahnya “pelacuran” akademik di Indonesia.
Di bagian barat pulau Jawa, beberapa “cermin” kenyataan memperlihatkan, betapa merusaknya pertambangan semen, di semua lajur; sosial, ekonomi, dan ekologi. Hampir seperti kisah pegunungan Kendeng saat ini, beberapa tahun lalu di sekitar Kabupaten Lebak, Banten, bergulir berbagai “penjelasan” dan “argumen”, berikut berbagai “angin sorga”, soal betapa baiknya pertambangan semen. Baru tiga tahun saja pertambangan semen bekerja di sekitar wilayah ini, kerusakan yang berlangsung sudah sedemikian parahnya. Dua orang anak kampung dari Lebak, akan memaparkan bagaimana “angin sorga” itu merubah haluan penghidupan dan berujung kerusakan menyeluruh hanya dalam waktu tidak lebih dari tiga tahun saja.
Sementara, kerja-kerja penelitian ataupun akademik, tentu harus selalu dievaluasi ulang. Menyumbang kepada apakah semua kerja-kerja berbau “ilmiah” itu? Pertanyaan ini, terlebih menjadi khas di seputar pelajar-aktivis, yang sering menyebut dirinya, tidak semata-mata melayani hasrat akademik yang bagaikan advonturir pembacaan semata. Bagaimana memastikan sumbangan wawasan dan kerja akademik pada perubahan kenyataan riil menjadi lebih baik? Apakah wawasan akademik itu, dibandingkan dengan perputaran kenyataan yang selalu lebih cepat? Tiga orang pegiat akan memaparkan refleksinya, dari pengalaman berbaur dan belajar bersama orang-orang Biak-Numfor, Papua.