Dua puluhan orang telah memenuhi ruang diskusi PSP3 (Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan) IPB yang terletak di kampus IPB Baranangsiang, Bogor, Jawa Barat. Pisang, tempe dan tahu goreng, teh dan kopi serta penganan lainnya yang berjejer di atas meja menjadi teman para peserta diskusi gugatan dan uji materiil atas UU Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani oleh beberapa LSM kepada Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia. Terdapat beberapa LSM yang melakukan uji materiil atas UU Nomor 19 Tahun tersebut antara lain: Indonesian Human Rights Committee For Social Justice (IHCS), Serikat Petani Indonesia (SPI), Farmer Initiatives for Ecological Livelihoods and Democracy (FIELD), Aliansi Petani Indonesia (API), Yayasan Bina Desa Sadajiwa, Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Sawit Watch, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS), Indonesia for Global Justice (IGJ), serta Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA).
Diskusi siang menjelang sore (Senin, 13 Januari 2014) itu difasilitasi oleh Pusat Kajian Agraria (PKA) IPB bekerja sama dengan Indonesian Human Rights Committee For Social Justice (IHCS) Jakarta menghadirkan pembicara Gunawan (Direktur Eksekutif IHCS), mewakili lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang melakukan gugatan uji materiil (judicial review) atas UU No. 13 Tahun 2013, Prof. Dr. Dwi Andreas Santosa dari Asosiasi Bank Benih Tani Indonesia (AB2TI) yang juga akan menjadi salah seorang saksi ahli dalam sidang lanjutan uji materiil undang-undang yang didiskusikan, dan yang terakhir, Dr. Satyawan Sunito dari PKA IPB.
Lewat beberapa menit dari pukul 14.00 WIB, Dr. Satyawan Sunito mulai membuka diskusi. Setelah memberi pengantar singkat, beliau lalu mengundang Gunawan sebagai pembicara pertama. Gunawan mengawali presentasinya dengan mengungkapkan kekecewaan para aktivis LSM karena semakin sulit menemukan ahli dari perguruan tinggi yang mau membantu menjadi saksi dalam sidang-sidang gugatan uji materiil ke MK RI. Terkait dengan uji materiil, Gunawan melanjutkan, pada tahun 2013, IHCS bersama beberapa LSM (yang disebutkan di atas) telah mengajukan permohonan uji materiil terhadap beberapa Undang-Undang yang dianggap bertentangan dengan Konstitusi Negara kepada Mahkamah Konstitusi. Undang-undang tersebut diantaranya UU tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, UU tentang Izin Pembudidayaan Tanaman, dan UU tentang Pangan. Sedangkan UU tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani telah tiga kali digelar sidangnya oleh Mahkamah Konstitusi. Pada sidang yang keempat nanti, IHCS dan teman-teman sebagai para pemohon akan mengajukan empat orang ahli sebagai saksi.
Mengapa UU No. 19 Tahun 2013 dimohonkan uji materiilnya oleh para aktivis LSM? Menurut Gunawan, masalah yang paling mendasar dalam UU No. 19 Tahun 2013, yakni: Pertama, tanah tidak sama sekali menjadi dasar pertimbangan dalam klausul “menimbang”. Padahal, tanah adalah persoalan yang sangat prinsipil yang dihadapi sebagian besar petani di Indonesia saat ini, khususnya petani berlahan sempit dan petani tak bertanah. Kedua, dalam UU tersebut juga menegaskan bahwa kemudahan mendapatkan tanah bagi petani diatur dengan hak sewa, izin pengelolaan dan izin pemanfaatan. Artinya, Negara merupakan pemilik tanah tersebut, sehingga petani baru bisa mengelola dan memanfaatkan tanah jika telah menyewa atau mendapatkan izin dari Negara. Hal ini sangat nyata bertentangan dengan prinsip “hak menguasai Negara” pada Pasal 33 UUD 1945. Padahal pengertian hak menguasai Negara bukan berarti hak milik Negara, sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi dalam sidang gugatan UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas terhadap UUD 1945. Menurut MK dalam putusannya, yang dimaksud dengan hak menguasai Negara dalam Pasal 33 UUD 1945 adalah hak Negara untuk merumuskan kebijakan, melakukan pengaturan, pengurusan, pengelolaan dan pengawasan, bukan hak milik. Ketiga, selain bertentangan dengan UU 1945, konsolidasi tanah pertanian dalam Pasal 56, yang kemudian diredistribusikan kepada petani dalam bentuk hak sewa dan izin pada pasal 59, melanggar prinsip redistribusi tanah (landreform) dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agaria. Redistribusi tanah yang semestinya dilaksanakan oleh Negara untuk merombak ketimpangan penguasaan tanah, malah menjadi ruang bagi bangkitnya praktik feodalisme baru di negeri ini.
Terkait dengan itu, untuk menghadapi masalah-masalah yang dihadapi petani di dunia termasuk Indonesia hari ini, Dewan HAM PBB tahun 2012, telah mengeluarkan resolusi dan merekomendasikan poin-poin deklarasi Hak Asasi Petani. Dua masalah paling utama yang dihadapi petani adalah diskriminasi terhadap petani dan masyarakat yang hidup di pedesaan dalam penegakan hak atas pangan, dan Negara terlibat langsung dalam proses diskriminasi tersebut.
Pembicara kedua, Prof. Dr. Dwi Andreas Santosa mengemukakan bahwa pertama, Undang-Undang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani harus diubah namanya menjadi Undang-Undang Hak dan Kedaulatan Petani. Sebab, dalam UU tersebut Hak dan Kedaulatan tidak lagi dimiliki oleh petani, karena masalah pertanian di negeri ini dari hulu sampi ke hilir kini dikuasai oleh pihak asing. Kedua, tantangan pertanian Indonesia saat ini semakin berat, seperti ancaman perubahan iklim, krisis keanekaragaman hayati pertanian, dan konsentrasi penguasaan pertanian oleh perusahan agribisnis besar termasuk asing. Oleh karena itu, seharusnya visi pembangunan pertanian Indonesia didasari untuk membangun hak dan kedaulatan petani. Dimana petani berhak dan berdaulat dari hulu sampai ke hilir dalam sektor pertanian.
Senada dengan Gunawan dan Prof. Andreas, Dr. Satyawan Sunito juga menambahkan bahwa UU No. 13 Tahun 2013 tidak begitu jelas melihat ketimpangan struktur agraria, perampasan tanah, ketidakpastian hak atas sumber-sumber agraria, pengalihfungsian sumber-sumber agraria dan pembaruan agraria. Di sisi yang lain, karena perencanaan pembangunan dan perencanaan pembangunan pertanian masih diatur dari pusat sampai ke daerah mengakibatkan kemandirian petani tidak kuat untuk membangun basis pertaniannya sendiri.
Setelah pemaparan ketiga narasumber, diskusi pun memasuki sesi dialog interaktif. Dr. Ir. Gunawan Wiradi, M.Soc.Sc, salah seorang pakar agraria Indonesia dengan tegas menyatakan bahwa Undang-Undang mencerminkan “perang politik” yang defensif hari ini. Beliau juga menambahkan bahwa “konsolidasi” tanah sering disalahpahami oleh banyak orang. Konsolidasi bukan hanya masalah skala, melainkan lawan dari fragmentasi. Pengumpulan tanah-tanah satuan usaha tani yang letaknya terpencar-pencar itulah yang disebut konsolidasi. Namun sebaliknya, Dr. Dahrul Syah dari IPB berpendapat, terlepas dari berbagai isme-isme yang ada di dalam Undang-undang tersebut, konsolidasi pertanian seharusnya ditambahkan dengan rantai nilai keseluruhan produksi. Tentang persoalan yang didiskusikan bisa dimasukkan ke dalam Peraturan Pemerintah nantinya. Berbeda dengan Dr. Dahrul Syah, Yesua YDK Pellokila, SH. MM dari Sajogyo Institute melihat bahwa karena dalam klausul “menimbang” UU No. 19 Tahun 2013 tidak dikaitkan dengan UUPA, akibatnya alas hak atas tanah juga tidak jelas. Undang-undang ini hanya mengatur tata kelola dan guna tanah, tetapi tidak mengatur alas tata kuasanya, sehingga bentuk tenurialnya tidak memiliki alas yang tegas.
Sekitar pukul 17.30 diskusi pun diakhiri. Narasumber dan para peserta saling bersalaman danngobrol ringan sebelum keluar ruangan. Diskusi tersebut memang tidak memberi kesimpulan apa-apa, tetapi satu hal yang pasti, secara langsung maupun tidak langsung, posisi politik dan keberpihakan orang-orang yang membicarakan masalah pertanian digugat. Mau kemana petani negeri ini? Hak dan Kedaulatannya seperti awan hitam yang terus menggelayut di langit Bogor sore itu. [RB].