Pada tanggal 28 November 2013, Mia Siscawati, peneliti Sajogyo Institute, menjadi saksi ahli di suatu kegiatan “Dengar Kesaksian” yang digelar oleh Koalisi Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran (KKPK). Kegiatan ini dilaksanakan dalam rangka mendengar kesaksian para korban dan saksi ahli atas pelanggaran HAM yang berlangsung di masa Orde Baru. Salah satu tema yang diangkat adalah konflik sumberdaya alam.
Dalam kesaksiannya, Mia menyatakan bahwa terdapat tiga faktor yang melatari konflik agraria dan kekerasan dalam pengelolaan sumberdaya alam dan kekayaan alam, yang menimpa para perempuan, laki-laki serta kelompok marginal lainnya. Ketiga faktor itu yakni:
- Diadopsinya konsep teritorialisasi negara atas sumber-sumber agraria. Kebijakan yang menggunakan konsep tersebut sudah berlaku sejak pemerintahan kolonial. Dan, kebijakan tersebut direproduksi oleh pemerintahan pascakolonial. Proses teritorialisasi bukan sekadar negara membuat batasan-batasan wilayah luar, tetapi juga batasan di dalam seperti teritori tanah. Konsep tersebut didukung dengan pemetaan wilayah negara, misalnya pemetaan kawasan hutan yang mana mengabaikan hutan masyarakat adat, masyarakat yang mendiami wilayah itu, dll. Kebijakan dengan logika teritorialisai negara tersebut yang menggerakan terjadinya perampasan tanah.
- Adanya kebijakan pembangunan yang berbasis pada komodifikasi alam. Logika ini meletakkan alam sebagai barang yang bisa diperjualbelikan, terutama untuk memenangkan kepentingan negara sebagai organisasi tetapi bukan untuk kepentingan rakyat. Kebijakan pembangunan tersebut lebih diimplemetasikan untuk melayani pasar global. Di wilayah yang disasar sebagai lokasi implementasi kebijakan tersebut, acap kali perempuan pun dijadikan komoditas. Para perempuan di wilayah itu rentan menjadi korban perdagangan manusia.
- Pendekatan militeritor dalam pengelolaan sumber-sumber agraria. Praktik dari pendekatan ini dapat dilacak di dalam pengelolaan hutan. Pada tahun 70an, ijin penguasaan hutan banyak diberikan kepada institusi militer. Peran perusahaan di dalamnya hanya menyediakan modal dan jaringan ke pasar. Pada perkembangannya tidak saja kekuataan militer yang dikerahkan, tetapi juga menggunakan kekuataan paramiliter (preman). Dalam banyak kasus, Perusahaan Negara, seperti Perhutan, cenderung memanfaatkan pemuda, khususnya masih muda, pengangguran, di sekitar wilayah untuk dijadikan aktor kekerasan.
Kesemua faktor tersebut akan berujung pada aksi kriminalisasi terhadap siapa saja, termasuk pejuang agraria, perempuan, laki-laki, dll. Pengkriminalisasian dijatuhkan pada siapa saja masuk dan mengambil hasil di kawasan hutan. Padahal mereka hanya memanfaatkan hasil di atas tanah mereka sendiri. Pada praktiknya, ketiga faktor disebut di atas tidak saja berlaku tetapi di masa Orde Baru, tetapi berlaku hingga sekarang. Misalnya UU Pencegahan dan Pemberantasan Pengerusakan Hutan (P3H) melegitimasi kriminalisasi masyarakat yang memanfaatkan hasil hutan.
Selengkapnya bisa dilihat di: www.youtube.com