Catatan Kelompok Belajar Agraria dan Perempuan Sajogyo Institue, Sesi Pengantar, 15 Juni 2016
Kasus kawin anak hingga kekerasan terhadap buruh migran perempuan terkait dengan problem-problem agraria yang akut di Indonesia. Penelitian Lies Marcoes (2016) menunjukkan bahwa wilayah dengan degradasi lingkungan yang tinggi akibat ekstraksi Sumber Daya Alam (SDA) dari waktu ke waktu mencatat kasus kawin anak tertinggi di Indonesia. Hal ini menjadi penanda gender dan Agraria merupakan satu kesatuantidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya. Oleh karenanya sulit memahami persoalan ketimpangan struktur agraria di pedesaan tanpa melibatkan kelompok perempuan. Lebih jauh, memahami persoalan agraria, serta bicara mengenai keadilan agraria berdampak signifikan pada perempuan dalam perjuangan tanah air.
Percakapan tentang gender dan agraria di atasmenjadi tema dalam “Peluncuran Kelompok Belajar dan Pameran” pada 15 Juni 2016 di aula Baehaqi Gedung P4W Institut Pertanian Bogor-Baranangsiang yang diselenggarakan Sajogyo Institute (SAINS). Peluncuran ini dibarengi pameran hasil belajar dari temuan lapang yang dihasilkan program Beasiswa Studi Agraria dan Pemberdayaan Perempuan. Sejak Februari 2016, SAINS menyediakan beasiswa belajarbagi tiga belas fasilitator perempuan untuk melakukan penelitian dan menjadi fasilitator lingkar belajar perempuan. Secara umum, tantangan ekologis yang ditemui 13 fasilitator di kampung adalah kekhasan lansekap, reorganisasi ruang dan konflik di atas lansekap tersebut dari waktu ke waktu. Ada tiga lansekap yang menjadi situs belajar para fasilitator, yaitu wilayah dataran tinggi, lahan gambut dan wilayah dataran rendah. Dalam pameran hasil belajar, mereka menyajikan cerita atas hasil temuan lapang tersebuat dalam bentuk cerita, peta dan foto bernarasi.
“Temuan-temuan tersebut semakin menunjukkan bukti bahwa kelompok paling rentan, sekaligus menerima dampak paling utama darikrisis sosial-ekologis adalah kelompok perempuan”, tambah Eko Cahyono, Direktur Eksekutif SAINS yang membuka acara. SAINS memiliki satu keinginan kuat merevitalisasi, mengembangkan dan berkontribusi lebih serius terhadap isu gender dan Agraria.
“SAINS mencoba mendorong sebuah upaya problematik tentang bagaimana cara menampakkan perjuangan perempuan. Problem yang akhirnya diakui dan ada yang mau menuliskan untuk menjadi rujukan sebagai referensi kebutuhan belajar, serta membuka ruang-ruang yang dibutuhkan oleh calon pemimpin perempuan”, lanjut Siti Maimunah, Peneliti sekaligus Anggota Dewan Pengurus Sajogyo Institute. Proses belajar fasilitator bersama para perempuan di kampung didokumentasikan dalam dua produk pengetahuan yaitu Catatan Etnografi dan Fotovoice yang dikirimkan setiap dua minggu sekali. Kelompok Belajar Agraria dan Perempuan menjadi wadah untuk menggulirkan dan mengaitkan temuan-temuan dari Fasilitator Perempuan di lapang dengan teori-teori terkini. Hingga Desember 2016, kelompok belajar ini menyediakan 10 topik bahasan yang dilaksanakan tiap 2 minggu sekali, setiap bulannya.
Peluncuran kelompok belajar agraria dan perempuan mengangkat tema “Gender dan Perjuangan Tanah Air” dimoderatori Siti Maimunah. Tak lupa hadir pula sebagai narasumber Lies Marcoes, Direktur Rumah KitaB dan Noer Fauzi Rachman, Peneliti Senior Sajogyo Institute.
Kritik Atas Gerakan Perempuan
Lies Marcoes memaparkan temuannya tentang problem yang dihadapi perempuan memiliki hubungan dengan problem agraria. “Permasalahan yang dihadapi oleh perempuan sangat beragam mulai dari soal kekerasan, kawin anak, pendidikan perempuan, migrasi, sampai hilangnya perempuan dari ruang publik. Kesimpulan saya bahwa keseluruhan permasalahan itu ada hubungannya dengan perubahan ruang hidup terkait hilangnya akses tanah, serta berubahnya kepemilikan dan pengelolaan tani”, terang Lies.
Dalam ceramahnya Lies memulai diskusi dengan kata kunci “visibilitas perempuan”. Kata kunci yang secara pribadi mengantarkannya menjadi aktivis perempuan untuk mendalami isu-isu lingkungan. Hal ini juga yang membuat ia melakukan penelitian keliling Indonesia dengan berbagai tema terkait perempuan.
Kritik atas gerakan perempuan saat ini, tak luput menjadi pokok bahasan. Pertanyaan tentang problem apa yang dihadapi perempuan berhubungan dengan perubahan sosial-ekologis, selalu terngiang dan menjadi fikirannya. Sesuatu yang visibilitas (tampak di keseharian) namun seakan-akan tidak visible (tampak) di publik apalagi pada ruang-ruang politik. Kecarut –marutan yang luput dari penglihatan sebagian besar aktivis perempuan, sering kali tumpul dalam mengkajinya. “Mengapa para aktivis perempuan tidak bisa melihat suatu problem yang dihadapi perempuan? Perubahan politik, ruang hidup, dan perubahan ruang sosial-ekologis”, ucap Lies.
Kondisi yang dialami para perempuan menurut Lies tidak terlepas dari sejarah kelam yang telah terjadi secara berkepanjangan. Pada masa orde baru, pandangan seluruh gerakan rakyat ditumpas habis sehingga hampir tidak ada aktivis-aktivis yang muncul dari bawah yang mempersoalkan isu lingkungan serta perempuan. “Kita dapat mengingat bahwa setelah Gerwani, tidak ada lagi satu kelompok yang bisa menyuarakan persoalan perubahan sosial-ekologis dengan kuat. Orde baru menggantinya dengan perkumpulan ibu-ibu PKK, atau Pembinaan Kesejahteraan Keluarga yang tidak memiliki kepentingan apa pun dengan berbagai partai”, tambah Lies.
Hal ini dikuatkan dengan pernyataan Rasita Diana, seorang peserta kelompok belajar yang merupakan perwakilan dari Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) cabang kota Bogor, ia menyatakan bahwa sebenarnya perempuan telah mendapat kesempatan di ruang publik sekarang. Ini dibuktikan dengan komposisi 30% yang diberikan kepada perempuan untuk berpolitik di lembaga legislatif.Mereka seharusnya mampu menampilkan kemampuannya menjadi pemimpin secara politik, sosial, dan budaya. Namun sampai sekarang perempuan belum dapat memanfaatkan peluang tersebut.
Namun, pernyataan tersebut ditanggapi Lies bahwa bukan jatah politik 30% yang diperjuangkan, melainkan pengalaman, kebutuhan, serta kepentingan yang berbeda. Perbedaan itulah yang harus diterima sebagai realitas bersama. Pernyataan pantas atau tidak perempuan menjadi pemimpin mertinya bukan juga menjadi suatu ukuran. Sejak lama, ukuran kepantasan itu sudah ditentukan oleh kaum mayoritas, dalam hal ini adalah para laki-laki. Ukuran ini juga tanpa disadari melanggengkan situasi ketidakadilan terhadap perempuan. Perjuangan yang sifatnya menyentuh tataran epistemologis dan metodologis tidak pernah mendengar suara perempuan sebagai suatu kebenaran yang sah adanya.
Kelompok belajar ini mengajak para peserta untuk mempertanyakan kembali, atau melawan ukuran nilai pantas berdasarkan kepentingan-kepentingan tertentu. Kebijakan 30% bagi perempuan sendiri bertolak dari ide dasar 100% lelaki di ranah politik. Secara implisit, perempuan seolah penumpang gelap, yang jika ingin masuk ke ranah itu harus menggunakan ukuran pantas menurut seruan lelaki. Oleh sebab ituperempuan menjadi orang asing di lingkungan yang seharusnya mereka ada. “Counter pemikiran seperti ini yang harus kita lakukan sebagai pejuang perempuan”, terang Lies.
Tantangan Perempuan Menjadi Pemimpin
Noer Fauzi Rachman narasumber, sekaligus Dewan Pembina SAINS tentang tantangan yang dihadapi perempuan menjadi pemimpin perjuangan tanah air. Bang Oji, begitu sapaan akrabnya, mengawali diskusi dengan berangkat dari pertanyaan: “Mengapa beberapa program gender tak mampu memunculkan kepemimpinan perempuan?”. SAINS merancang suatu cara bagaimana menampakkan proses perjuangan perempuan dalam mempertahankan tanah airnya. Kemudian, terpilihlah13 fasilitator perempuanmembantu kepemimpinan para perempuan di 13 situs krisis sosial ekologis, untuk melakukan identifikasi sebab-sebab mengapa perempuan sulit menjadi pemimpin di daerah tersebut.
Menurut Bang Oji tantangan para perempuan menjadi pemimpin salah satunya pernikahan dini. Pasca pernikahan para perempuan akan mengalami proses-proses yang mengagetkan di dalam kehidupannya. Proses-proses seperti bagaimana menghadapi laki-laki yang kemudian menjadi suaminya, kesibukan mengurus rumah tangga dan anak-anak, serta pengetahuan alat reproduksi yang masuh sangat minim. Belum lagi, jika terjadi kegagalan rumah tangga yang semakin menghancurkan kepercayaan diri perempuan saat dia harus berstatus sebagai janda. Kondisi-kondisi tersebut menumpulkan kepercayaan diri dan menusuk jantung dari kepemimpinan perempuan itu sendiri.
Selain urusan rumah tangga, kemunculan perempuan menjadi pemimpin juga mengalami tantangan pada kehidupan sosialnya. Laki-laki yang selalu diutamakan hadir dalam satu pertemuan ke pertemuan berikutnya, sehingga berpolitik menjadi satu kegiatan yang identik dengan laki-laki. Seluruh aspek seperti program pemerintahan, sertifikat kepemilikan tanah seluruhnya dikuasai oleh laki-laki. Namun anehnya, kondisi objektif tersebut tidak secara umum menutup ruang-ruang bagi perempuan atau seorang istri untuk tumbuh menjadi pemimpin perempuan. Pada titik inilah, keberadaan peneliti perempuan SAINS penting melakukan pendekatan terhadap perempuan-perempuan di kampung yang memiliki kemampuan tidak tumbang, dan memahami apa yang membuat mereka menjadi tidak tumbang?
Pada sesi tanya jawab Firdaus Cahyadi, Direktur Satu dunia bertanya hal yang berkaitan dengan konteks saat ini, “Kita dapat melihat organisasi-organisasi seperti Fatayat NU, atau Aisyiyah Muhammadiyah. Apakah kelompok tersebut tidak menyuarakan mengenai kepentingan-kepentingan kaum perempuan?”
Bang oji merespon pertanyaan Firdaus dengan memberikan tiga faktor determinan. Pertama, jika ingin menampakkan perempuan maka yang meneliti haruslah perempuan. Kedua, yang harus diteliti adalah perempuan. Terakhir, apa yang dikemukakan dalam penelitian berasal dari perempuan. Ketiga faktor itu menjadi syarat penting untuk memberikan pengetahuan dasar pada orang-orang tentang kondisi perempuan, serta perjuangan-perjuangan yang dilakukannya selama ini. Metodologi penelitian feminis itu menjadi penting, khususnya untuk melakukan counter pada apa yang dinamakan dengan konsepsi objektivitas.
Berbeda dengan Bang Oji, Lies menanggapi pertanyaan Firdaus secara tegas menyatakan bahwa Fatayat NU dan Aisyiyah Muhammadiyah menjadi kelompok elit pasca Orde baru. “Pengalaman perjuangan para perempuan terputus oleh politik orde baru yang menyingkirkan perempuan dari perangkat-perangkat keluarganya. Itu problem yang harus dilihat sebagai kenyataan, persoalan nyata dilihat oleh kita para perempuan dan dirinya sendiri. Yang jadi persoalan, persis seperti saya sampaikan tadi, kita tidak bisa membantu perjuangan perlawanan perempuan menjadi seperti benturan pasir, sebentar ada ombak, hancur lagi karena tidak sistemik” terang Lies.
Noer Fauzi Rachman mengingatkan problem yang dialami perempuan pedesaan di sekitar industri berbasis lahan dan hutan saat ini. “Kondisi objektif telah menghadapkan perempuan yang sudah terlebih dahulu terusir dari tempatnya, contoh ketika sawah-sawah dikeringkan maka tidak ada lagi aktivitas petani di sana. Laki-laki mungkin masih bisa bekerja, katakanlah dengan membuat batu bata. Tetapi perempuan, pada umumnya tidak bisa melakukan pekerjaan lainnya. Perubahan pekerjaan hanya terjadi pada laki-laki tetapi tidak pada perempuan. Oleh karenanya dibutuhkan usaha ekstra untuk menjelaskan bagaimana perempuan yang tersingkir dari tanahnya tersebut. Mekanisme itu menjadi bagian dari penjelasan penelitian yang akan diungkap dalam proses belajar”, tambah Bang Oji.
Putaran pertama kelompok belajar Agraria & Perempuan sengaja mengangkat tema “Gender dan Perjuangan Tanah Air” untuk mengawali 10 sesi diskusi kelompok sepanjang 2016. SAINS ingin menampakkan perjuangan perempuan merupakan perjuangan tanah air yang harus kita dorong terus menerus dengan cara mendorong lahirnya kepemimpinan perempuan dalam perjuangan tanah air. Kelompok belajar bertujuan memperbanyak pengetahuan yang beredar di kalangan yang berhubungan dengan Sajogyo Institute tentang kepemimpinan perempuan dalam perjuangan tanah air, sehingga peran perempuan makin terlihat dan mendapat dukungan lebih luas.