Saatnya Presiden Jokowi melakukan “penyelamatan terpimpin” demi kemaslahatan orang Papua dan kedaulatan negara.
Oleh Siti Maemunah
Setelah hampir setengah abad meng-eksploitasi Papua, PT Freeport Indonesia/Rio Tinto tak hanya berhasil mengeruk kekayaan alam Indonesia. Lebih jauh, ia juga membuat pengurus negara kehilangan akal sehat.
Setidaknya hal itu terlihat dari drama tak bermutu petinggi DPR dengan para menteri Kabinet Kerja Joko Widodo-Jusuf Kalla yang memperkarakan skandal renegosiasi kontrak karya (KK) PT FI. Mereka lupa, substansi utama KK tak hanya saham dan royalti, tetapi juga keselamatan rakyat dan alam Papua.
Di luar kontribusi pada devisa negara yang angkanya harus dipertanyakan-karena tak memasukkan biaya kerusakan lingkungan dan sosial dalam jangka panjang-operasi tambang PT FI lebih banyak merepotkan.
Ibarat pisau bedah
KK pertambangan dengan cadangan emas terbesar dunia ini menjadi kiblat kebijakan pertambangan Orde Baru. Kebijakan itu ditandai dengan keluarnya Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, KK PT FI, dan UU No 11/1967 tentang Pertambangan Umum. Soeharto menandatangani KK PT FI sebelum UU Pertambangan disahkan, bahkan sebelum Penentuan Pendapat Rakyat Papua berlangsung. KK PT FI ditandatangani April 1967, delapan bulan kemudian keluar UU Pertambangan Umum.
Model KK PT FI lantas diadopsi UU Pertambangan. Sejak itu, bumi pertiwi makin banyak melayani korporasi asing, seperti Vale/Inco, Rio Tinto, dan Newmont. Pelanggaran HAM, perusakan lingkungan, dan pemiskinan kerap menyertai operasi pertambangan di Indonesia. Sayangnya, peraturan baru, UU No 4/2009 tentang Mineral dan Batubara, juga tak mengkaji ulang izin-izin itu.
Bagi orang Papua, operasi tambang PT FI bagai pisau bedah yang memutus ikatan manusia dengan alamnya. Ikatan antara suku-suku pegunungan tengah Papua yang memandang alam sebagai ibu. Puncak gunung adalah Ninggok, tempat meletakkan kepala ibu, wilayah spiritual tertinggi, tempat berhubungan dengan Sang Pencipta. Sementara dada hingga perut ibu adalah lahan lebih landai, tempat sungai, kebun, dan hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup rakyat.
Ninggok telah dihancurkan PT Freeport. Itulah puncak Gunung Etzberg, kini menjadi lubang raksasa sedalam 360 meter. Sementara dada dan perut sang ibu juga berubah. Dataran rendah Sungai Ajkwa kini menjadi tempat buangan limbah tailing PT FI yang mencapai 300.000 ton per hari.
Papua tak lagi damai
Kekerasan, penyiksaan, dan pembunuhan di sekitar pertambangan terus terjadi sejak Freeport di sana. Di awal-awal operasinya, pada 1972 dan 1977, lebih dari 1.000 orang Amungme meninggal karena kekerasan (Elsham Papua, 2003).
Australian Council for Overseas Aid (1995) juga mengeluarkan laporan kasus-kasus pembunuhan dan penghilangan paksa oleh militer terhadap puluhan warga asli Papua di sekitar tambang PT FI sepanjang 1994-1995. Kucuran dana PT FI membuat kawasan itu menjadi ajang kekerasan, melibatkan bisnis militer dan tak tersentuh hukum.
Pemulihan luka spiritual dan fisik semestinya menjadi bagian tak terpisahkan dalam memutuskan nasib tambang emas terbesar di Indonesia ini. Konsultasi dengan rakyat Papua seharusnya menjadi prasyarat sebelum Presiden dan para menteri mengeluarkan keputusan terus atau putus.
Sudah waktunya para pengurus negeri mengubah cara memperlakukan tanah Papua sebatas penghasil devisa. Tambang PT FI mengubah lanskap fisik dan sosial warga Papua. Sungguh menghina akal sehat memaknai ruang hidup tersebut sekadar pembesaran royalti atau divestasi saham. Syarat renegosiasi kontrak-royalti, konten lokal, pembangunan smelter, dan divestasi saham-tak banyak gunanya untuk keselamatan orang Papua.
Februari 2015, Menteri LHK menyatakan, audit lingkungan terakhir pemerintah terhadap PT FI adalah 25 tahun lalu, sementara pengawasan tahunan dihentikan pada 2011. Padahal, selama menambang, PT FI telah membuang lebih dari 7 miliar ton limbah ke lingkungan, 2,4 miliar ton di antaranya berbentuk lumpur tailing ke Sungai Ajkwa.
Skandal renegosiasi kontrak Freeport yang melibatkan wakil rakyat dan kabinet penting diungkap. Namun, jangan lupakan rakyat Papua dan lingkungannya sebagai substansi pokok.
Saatnya Presiden Jokowi melakukan “penyelamatan terpimpin” demi kemaslahatan orang Papua dan kedaulatan negara.
SITI MAIMUNAH
Peneliti Sajogyo Institute; Ketua Tim Kerja Perempuan dan Tambang
Keterangan: Artikel ini sebelumnya telah diterbitkan oleh Harian Kompas sebagai Kolom Opini pada 28 November 2015
Sumber gambar: dumpupersaceh.wordpress.com