Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) meluncurkan Laporan Akhir Tahun 2016 kemarin (05/01/2017) di D.Lab Menteng, Jakarta Pusat. Dalam laporan yang bertajuk “Liberalisasi Agraria Diperhebat, Reforma Agraria Dibelokkan” ini, Dewi Kartika selaku Sekjen KPA menyampaikan beberapa hal penting mengenai situasi keagrariaan di Indonesia. Selain itu, hadir juga sebagai narasumber dalam acara ini antara lain Alamsyah Saragih (Komisioner Ombudsman RI) dan Prof. Maksum Machfoez (Wakil Ketua PB Nahdlatul Ulama).
Dewi menyampaikan, bahwa selama 2 tahun kepemimpinan Jokowi-JK, kondisi keagrariaan di Indonesia belum juga membaik. Adanya konflik agraria yang telah terjadi sejak lama tidak kunjung diselesaikan. Keadilan bagi rakyat korban konflik juga tidak dipenuhi. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyatakan bahwa konflik agraria banyak terjadi karena:
- Tidak terjadinya perubahan paradigma sebagai basis pembuatan kebijakan (regulasi) dalam memandang tanah dan sumber daya alam. Tanah dan sumberdaya alam masih dipandang sebagai kekayaan alam yang harus dikelola oleh investor skala besar, baik nasional maupun asing.
- Korupsi dan kolusi dalam proses pemberian izin konsesi tanah dan sumberdaya alam.
- Belum berubahnya respon aparat pemerintah, khususnya kepolisian dan Pemerintah Daerah dalam menghadapi konflik agraria di lapangan. Hal ini ditunjukkan dengan seringnya melakukan beragam pendekatan kekerasan dan prosedur lainnya yang melampaui batas dalam menghadapi konflik.
Kondisi demikian tentu menjadi alasan mengapa sepanjang tahun 2016, konflik agraria, baik dari segi jumlah, luasan, maupun korban masih tercatat tinggi. Selain itu, minimnya kanal penyelesaian konflik yang berkeadilan menyebabkan konflik-konflik tersebut sulit menemukan titik terang penyelesaian. Hampir di setiap konflik agraria selalu berjatuhan korban, mulai dari tertembak, dianiaya bahkan hingga meninggal. Sebagian dari mereka juga ada yang dikriminalisasi dengan beragam tuduhan.
KPA mencatat sedikitnya telah terjadi 450 konflik agraria sepanjang tahun 2016, dengan luasan wilayah 1.265.027 hektar dan melibatkan 86.745 KK yang tersebar di seluruh provinsi di Indonesia. Jika di tahun sebelumnya tercatat 252 konflik agraria, maka terdapat peningkatan signifikan di tahun ini, hampir dua kali lipat angkanya. Jika di rata-rata, maka setiap hari terjadi satu konflik agraria dan 7.756 hektar lahan terlibat dalam konflik. Dengan kata lain, masyarakat harus kehilangan sekitar sembilan belas kali luas provinsi DKI Jakarta. Dari luas wilayah konflik 1.265.027 hektar, perkebunan menempati urutan pertama dalam luasan wilayah, yakni 601.680 hektar. Disusul berturut-turut sektor kehutanan seluas 450.215 hektar, sektor properti seluas 104.379 hektar, sektor migas seluas 43.882 hektar, sektor infrastruktur seluas 35.824 hektar, sektor pertambangan 27.393 hektar, sektor pesisir 1.706 hektar, dan terakhir sektor pertanian dengan luasan 5 hektar. Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, terjadi peningkatan dua kali lipat luasan wilayah konflik di sektor perkebunan.
Konflik agraria tersebar di 34 Provinsi, dengan enam besar provinsi sebagai penyumbang konflik tertinggi, antara lain: 1) Riau dengan 44 konflik (9,78 %), 2) Jawa Timur dengan 43 konflik (9.56 %), 3) Jawa Barat sebanyak 38 konflik (8,44 %), 4) Sumatra Utara 36 konflik (8,00 %), 5) Aceh 24 konflik (5,33 %), dan Sumatra Selatan 22 konflik (4,89 %).
Pada aras kebijakan, sepanjang tahun 2016, Pemerintahan Jokowi-JK belum secara maksimal mendorong implementasi reforma agraria. Meski menjadi salah satu janji politik dalam Nawa Cita dan telah diterjemahkan kedalam RPJMN, tapi selama dua tahun kepemimpinan, Jokowi-JK minim memberi perhatian pada pelaksanaan reforma agraria. Sementara itu, pembenahan pendapatan dalam anggaran, reformasi birokrasi dan pembangunan infrastruktur mendapat porsi perhatian yang cukup besar. Maka, tak heran jika redistribusi 9 juta hektar sebagai salah satu terjemahan program reforma agrarian tak kunjung berjalan di lapangan.
Prof. Maksum Machfouz menekankan tentang model pembangunan yang diadopsi oleh pemerintah yang rawan konflik. Seperti yang dikatatakan olehnya “Jika dicermati, beberapa sampel lebih banyak itu memang merupakan konflik agraria dengan menekankan model pembangunan rawan sosial. Semua itu adalah kebiadaban negara yang suka membangun dengan cara ngawur, menggusur dan mengusir orang dari tanahnya”.
Ditambahkan oleh Prof Maksum bahwa akumulasi kapital lebih dikedepankan daripada kesejahteraan rakyat. Rakyat seringkali dihadapkan pada aparat negara jika menolak pembangunan dalam rangka akumulasi kapital ini. “Jadi model bangunan kapital yang masih sama, itu ujung-ujungnya pasti adalah perubahan-perubahan peta demografis. Dimanpun, jika kekuatan politiknya masih dalam akumulasi kapital, akan munculah pertentangan kelas yang baru. Antara mereka yang tersingkir dan mendapatkan lebih. Yang paling sering tersingkir biasanya adalah petani-petani kecil. Maka terjadilah konsolidasi perasaan yang berbeda dan disitulah terjadi konflik. Kalau ini tidak diselesaikan maka yang muncul adalah collective violence. Ini yang kami teliti. Saya sebut konflik disini adalah persoalan kelas. Bisa menuju ke sara, etnis dan identitas lain.” Imbuhnya.
Sedangkan Alamsyah Saragih mengutarakan banyak terjadinya mall administrasi, terutama untuk selisih batas dan separuh dari mall administrasi tersebut terjadi karena penyelewengan wewenang. Yang paling banyak dilaporkan adalah Badan Pertanahan Nasional. Pemerintah dan BPN ini paling banyak yang diadukan di daerah berkaitan dengan HGU yang telah habis.
Namun dalam menangani kasus-kasus maladminsitrasi Ombudsman mempunyai beberapa keterbatasan. “Ada 3 hal dari beberapa refleksi Ombudsman menyatakan bahwa Ombudsman itu memiliki batas, apabila masalah yang terjadi itu memang secara akar sudah terjadi dan by design, akan sulit dilakukan. Saya membayangkan apakah ini bisa ditangani setiap ada pengaduan ke Ombudsman, saya kira tidak bisa.” Paparnya. “Salah satu penyebabnya adalah banyaknya pelaku rente, yang melibatkan pejabat-pejabat daerah. Saya berani mengatakan itu secara blak-blakkan. Motif konflik tanah ini seringkali terjadi karena memang faktor kepentingan kepemilikan terhadap aset. Pihak-pihak lebih senang membuat hotel daripada menyerahkan lahan pada masyarakat setempat. Kalau kita lihat dengan fenomena gunung es, 450 konflik dan jutaan hektar lahan itu adalah permukaannya saja”. Imbuhnya.
Selain laporan mengenai kondisi keagrariaan di Indonesia sepanjang tahun 2016, dalam acara ini juga meluncurkan Jaringan Bantuan Hukum Agraria. Jaringan ini dibentuk sebagai respon terhadap maraknya kasus kriminialisasi yang melekat pada konflik-konflik agraria yang terjadi di berbagai daerah. Selama tahun 2016 tercatat sebanyak 177 orang yang dikriminalisasi. Jaringan ini akan diperkuat dan akan semakin banyak menjaring pengacara/advokat dan pekerja bantuan hukum yang mempunyai kepedulian terhadap para pejuang agraria. Untuk saat ini keanggotaan jaringan ini telah mencapai 150 orang dari berbagai lembaga maupun personal.
Acara ini ditutup dengan testimoni dari beberapa jaringan lembaga-lembaga yang tergabung dalam Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA) dan anggota dari Jaringan Bantuan Hukum Agraria, diantaranya pengacara senior Chairil Syah dan perwakilan dari LBH Anshor.