Mongabay.co.id – Pembunuhan Salim Kancil dan penganiayaan terhadap Tosan, dua petani dan aktivis penolak tambang di Desa Selok Awar-Awar, merupakan peristiwa dari fenomena gunung es kemelut panjang tambang pasir hitam di Lumajang.
Duapuluhenam September 2015. Pagi itu, pukul 6.00, Salim Kancil sudah selesai mandi. Dia mengenakan jaket abu-abu dan celana panjang krem. Cucunya, berusia lima tahun, Yus Helmi Ananta, juga sudah bangun tidur. Keduanya bermain di halaman rumah.
Sang istri, Tijah, membuatkan kopi untuk Salim. Tiga puluh menit berselang, dia bersiap mencari rumput ke ladang. Dia berpamitan kepada Salim, yang sedang bermain dengan cucu.
Rencananya, hari itu, dia bersama puluhan warga akan aksi damai menolak tambang di Jalan Desa Selok Awar-awar, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Mereka akan menghentikan truk galian tambang. Mereka ingin menyampaikan bahwa, pertambangan sudah dihentikan kepala desa 9 September 2015.
Sekitar pukul 7.00, Salim mengajak anaknya, Dio Eka Saputra, ikut ke rumah Ichsan—juga warga penolak tambang–, untuk membahas rencana aksi. Pukul 7.40, mereka berangkat bersepeda motor.
Baru sekitar 50 meter dari rumah, Salim melihat sekelompok orang—dikenal dengan tim 12— datang dari arah selatan. Dia memutar balik sepeda motor kembali ke rumah.
Setelah memarkir motor, dia meminta Dio lari ke belakang rumah. Kehadiran Salim disambut oleh cucu. Salim seketika menggendong sang cucu dan membawa ke rumah.
Kala berbalik badan, pukulan Ehsan dan Madasir dengan tangan kosong mendera. Tejo mendekap tubuh Salim, tangan diikat Madasir menggunakan tali tambang.
Salim dinaikkan ke sepeda motor oleh Madasir. Diapit Basri. Dia dibawa ke Balai Desa. Melihat sang ayah dibawa gerombolan itu, Dio berusaha mengejar. Dia dibentak dan dilempari batu oleh salah satu pelaku yang tak dia kenal.
“Jangan ikut-ikut kamu!” hardik salah seorang pengeroyok kepada Dio.
Dio berlari mengabarkan peristiwa ini ke ibunya di ladang.
Sehari sebelumnya, Salim mengajak Dio ke sawah. Sawah mereka rusak karena tambang pasir. Salah satu pelaku dari tim 12, bicara di dekat Dio—kala itu sedang mencari ikan dan kepiting.
Mereka bilang, kata Dio, akan membunuh Salim besok.
“Esuk tak pateni kowe Lim (Salim),” kata seorang preman, diulangi Dio.
Dio tak menganggap ancaman ini serius hingga tak menyampaikan kepada ayahnya. Dia pun sudah biasa mendengar teror kepada sang ayah, dari ancaman pukul sampai bunuh karena menolak penambangan pasir hitam di desa mereka.
***
Jarak antara rumah Salim dengan Balai Desa, sekitar dua kilometer. Kala menggunakan sepeda motor, sekitar lima menit.
Khosidah, Seorang guru Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) di Desa Selok Awar-Awar pagi itu ada di Balai Desa. Dia melihat Salim dipukuli berkali-kali menggunakan bambu dan kayu. Salim dicelurit berkali-kali. Dibacok dengan golok. Salim tak juga mati.
Dia melihat para pelaku merebahkan tubuh Salim, menggorok leher menggunakan gergaji kayu, tak juga berhasil membunuhnya.
Seorang pelaku menyetrum tubuh Salim menggunakan kabel listrik disambungkan ke sakelar listrik di Balai Desa. Salim masih hidup.
Menurut Ida, massa pengeroyok Salim sekitar 30-40 orang. Dia tak mengenali satu per satu karena saat itu sangat ricuh.
Dia lari menyelamatkan murid PAUD yang keluar dari Balai Desa.
“Anak-anak menangis dan menjerit,” kata Ida.
Cerita Ida, serupa dengan keterangan pelaku di persidangan, Maret 2016, di Pengadilan Negeri Surabaya. Pada pukul 8.30 pagi, dari Balai Desa, massa membawa Salim Kancil ke pemakaman dekat lapangan desa.
Di pemakaman, Salim kembali dipukuli menggunakan bambu dan kayu oleh Tejo. Kepala dipukul pakai cangkul, dicelurit Basri. Salim roboh, tak sadarkan diri.
Para pelaku mengira Salim mati. Mereka meninggalkan Salim terbaring di jalan makam.
Baru sekitar 50 meter, Salim bangun. Dia sadarkan diri. Dia berdiri, berusaha lari. Seorang pelaku melihat dan berteriak kepada yang lain.
Para pelaku kembali menghajar Salim. Saat itu, Madasir masuk ke pemakaman, mengambil batu nisan, memukulkan ke kepala Salim. Kepala Salim meneteskan darah. Melihat Salim bisa berdarah, Madasir memukul berkali-kali. Akhirnya Salim tewas sekitar pukul 8.40 pagi.
Dia mati dibunuh tim 12 lebih 40 orang. Otak pembunuhan, Haryono, Kepala Desa Selok Awar-awar.
“Kami ikhlas Salim mati, karena membela kebenaran. Tak rela jika para pelaku dihukum ringan,” kata Tijah.
***
Pada April 2016, saya bertemu Tijah, di kediamannya. Berkaos dan celana pendek. Rambut panjang keriting dan terkucir. Dia duduk di ruang tamu, bersandar ke tembok.
Foto almarhum Salim Kancil dipajang di ruang tamu. Berukuran 40×80 centimeter. Ike Nurlilah, anak perempuannya, sedang menonton televisi. Dio baru pulang bermain.
Di halaman depan rumah, spanduk dan papan karangan bunga masih terpampang.
Di samping kanan rumah tampak kandang kambing dari kayu. Dua kambing mengembik memakan rumput.
Tijah bercerita, Salim sehari-hari bertani dan buruh tani. Satu setengah tahun sebelum tewas, Salim punya enam petak sawah di Pesisir Pantai Watu Pecak, Desa Selok Awar-Awar.
Tanpa ada izin dan pemberitahuan, tiba-tiba dua petak sawah rata jadi tanah oleh kepala desa. Berdalih akan jadi jalan wisata, berubah menjadi jalan dumptruck dan alat berat mengeruk pasir di bibir Pantai Watu Pecak.
Sejak itu, Salim kehilangan lahan bertani. Begitu juga beberapa petani lain. Dari kerusakan itu, Salim satu kali diberi uang ganti rugi Rp1 juta oleh Haryono.
“Pantai yang semula indah kini rusak. Dulu sekali panen dapat 25 karung gabah,” kata Tijah.
Ketika saya ke sawah milik Salim Mei 2016, lahan tak tergarap. Petakan sawah terisi ilalang dan air. Banyak lubang-lubang besar bekas tambang di pesisir pantai. Hanya belasan orang terlihat mancing ikan.
Sejak kepergian Salim, Tijah dan Ike menjadi tulang punggung keluarga. Keduanya dibantu Dio, sehari-hari mencari pakan sapi dan kambing.
Walaupun rumah pembunuh suami persis berada di depan rumah, dia tak menyimpan dendam. Dia sudah merelakan kepergian Salim. Tijah juga tak peduli lagi sisa petakan sawah kelolaan Salim.
“Hukum mati para pelaku. Itu saja,” harap Tijah.
***
Duapuluhenam September 2016, hari sama, Tosan, kerabat Salim, mengalami penyiksaan serupa. Dia lebih dulu dianiaya tim 12 atas perintah Haryono.
Pukul 5.00 pagi, Tosan sudah berdiri di depan rumah. Setiap hari, jalan aspal selebar tiga meter di depan rumah dilewati sedikitnya 500 truk pengangkut pasir besi dan bebatuan.
Tosan menghentikan truk-truk ini. Selembar kertas berisi keputusan penghentian pertambangan pasir besi di Pesisir Desa Selok Awar-Awar, ditandatangani Kepala Desa Haryono, dia berikan kepada supir truk.
“Mohon berhenti dulu. Tolong kertas ini nanti dibaca. Saya sampaikan sejak 9 September 2015 penambangan di pesisir sudah dihentikan dan dilarang,” kata Tosan, mengulangi perkataan kepada para supir, ketika saya temui 19 April lalu.
Pukul 6.00 pagi, Tosan menelpon Imam, sesama penolak tambang pasir. Tosan meminta Imam segera datang ke rumahnya. Dia mengajak Imam berangkat bersama-sama aksi damai menolak tambang pasir ke Balai Desa.
Pukul 6.30, Imam sampai di rumah Tosan. Dia berangkat dari rumah berjalan kaki. Waktu itu, Tosan sedang memanasi mesin motor di teras rumah. Imam duduk di ruang tamu rumah Tosan. Keduanya membagikan selebaran kepada para pengemudi truk yang melewati depan rumah.
Pukul 7.00, Parman, anggota tim 12 tiba-tiba berhenti di depan rumah Tosan. Dia mematikan mesin sepeda motor, dan parkir. Lalu berteriak marah kepada Tosan.
“Kenapa kamu mau demo kepala desa! Kalau kamu mau demo kepala desa, lawan saya dulu,” ujar Imam menirukan ucapan Parman.
Tosan tak tahu jika Parman marah dan membentak dia. Tosan di dalam rumah. Ketika keluar Imam bertanya kepada Tosan.
“Siapa yang minum kopi ini? tanya Imam.
“Saya,” kata Tosan.
Barulah Tosan mendengar Parman marah-marah. Dia mengira Parman bertengkar dengan orang lain, ternyata kepadanya.
“Ada apa Pak? Jika ada saya omong keliru mohon maaf,” kata Tosan.
Tosan hanya mendengar dari kejauhan, dia akan dibunuh.
“Tak carok sampean,” kata Parman.
Parman pergi ke utara. Menaiki sepeda motor dan pergi menuju ke arah rumah Madasir. Berselang 10 menit, sekitar pukul 7.10, Parman kembali bersama 40 orang lain. Mereka menghampiri rumah Tosan mengendarai 20 sepeda motor.
Ketika itu Tosan membasuh tangan. Dia dipukul bergantian. Celurit menghantam badan, kepala, tangan hingga leher.
Imam cerita, rombongan massa dipimpin Ehsan, anak kandung Madasir. Mereka datang dari utara rumah Tosan. Ehsan jadi orang pertama menghampiri Tosan di depan rumah.
Tanpa basa-basi, Ehsan langsung memukul Tosan menggunakan tangan kosong. Melihat Ehsan memukul Tosan, Tinarlab dan Misto, pelaku lain, ikut memukul Tosan. Madasir ikut memukul dari belakang. Tomin dan Buri langsung membacok kepala Tosan pakai celurit.
Tejo, dan Ari, memukul Tosan pakai bambu sekitar satu meter. Bambu disiapkan di motor. Basri memukul pakai cangkul. Sukit membacok Tosan pakai golok.
Ketika pengeroyokan Tosan, Imam sempat melihat salah seorang anggota Babinsa berdiri di seberang jalan depan rumah Tosan. Anggota ini di lapangan tempat Tosan dianiaya massa. Dia hanya diam. Tak melerai.
“Hanya melihat. Diam saja,” kata Imam.
Melihat Tosan dikeroyok, Imam lari ke belakang rumah, berusaha mencari pertolongan dari warga lain. Di belakang rumah, Imam dihadang sekitar 10 orang dipimpin Buri. Dia bersembunyi di rumah Rohim, dekat lapangan, belakang rumah Tosan.
Tosan berkali-kali dipukul, dicelurit, dibacok, bahkan dicangkul kepala tak apa-apa. Tosan berlari ke belakang rumah, meminta tolong warga lain. Tosan melihat rumah warga dengan pintu belakang terbuka. Tosan masuk dan menutup pintu.
Sekitar 15 menit di dalam rumah, Tosan bertanya ke orang rumah.
“Kemana para preman atau tim 12 itu,” tanya Tosan.
“Sudah pergi jauh,” kata pemilik rumah.
Dia keluar dari pintu belakang. Pemilik rumah segera menutup pintu dan mengunci. Tanpa disangka, para pelaku berkumpul di belakang rumah.
Tosan berlari kencang, ke lapangan. Dia melihat anak mengendarai sepeda onthel. Dia pinjam dan segera mencari pertolongan.
Menaiki sepeda, Tosan terjatuh. Dia ditabrak sepeda motor, di lapangan desa. Imam melihat Tosan dari rumah Rohim. Tiba di depan lapangan, sepeda Tosan ditabrak motor Siyo. Tosan terjatuh.
Ketika jatuh, Tosan dipukuli lagi pakai bambu dan kayu oleh massa. Tubuh Tosan dilindas motor empat kali oleh Ehsan dan Siyo. Melihat ini, Ridwan, warga yang rumah dekat kejadian berusaha mengusir massa.
“Atas perintah Madasir, massa berjalan ke utara menuju rumah Salim Kancil,” kata Ridwan.
Tak lama berselang, sekitar dua menit setelah pelaku pergi, istri Tosan, Ati Hariyati datang. Barulah, sekitar pukul 7.40, polisi datang.
Ridwan mengatakan, ada empat anggota Polsek Pasirian datang. Imam dan Ridwan dibawa ke Polsek Pasirian mencari aman dari ancaman pembunuhan tim 12.
Tosan dan istri dibawa ke rumah sakit. Lambung Tosan pecah, bagian kepala robek. Nyawa Tosan bisa selamat.
Tosan, sehari-hari petani dan pedagang pepaya. Sejak 1,5 tahun lalu, bersama beberapa kawan termasuk Salim, mereka menolak tambang pasir.
Operasi tambang ini bikin jalan aspal desa berlubang dan rusak, termasuk jalan depan rumah Tosan. Dinding rumah warga retak. Mereka menolak, menyurato dari kepala desa hingga Gubernur Jawa Timur.
“Penolakan ini untuk menghentikan dampak tambang yang banyak merugikan,” ucap Tosan.
Tambang bikin rusak lingkungan seperti sawah, gumuk pasir hilang, keindahan pantai, dan ekosistem pantai rusak. Ruas jalan aspal desa juga berlubang dan becek karena lalu lalang dumptruk angkut pasir basah yang meneteskan air asin ke jalan.
“Walaupun perut saya robek dan Salim Kancil mati, perjuangan saya menjaga pesisir akan terus berlanjut. Supaya terhindar dari bencana,” kata Tosan.
Di rumah, dia tinggal bersama istri. Dia punya tiga anak: Rumlatul Zannah, putri sulung, sudah berkeluarga dan memiliki satu anak. Anak kedua, M Ridho, baru lulus SMA. Anak bungsu, Fajar, Kelas V SD.
“Tak ada pertambangan di pesisir pantai, sudah Alhamdulillah.”
Pembunuhan berencana
Pembunuhan terhadap Salim Kancil, dan penganiayaan Tosan, ternyata sudah direncanakan para pelaku sejak 25 September 2015.
Saat itu, Jumat malam, 25 September 2015, tim 12 dan kades menyusun rencana membunuh Salim dan Tosan. Rencana pembunuhan di salah satu Pondok Pesantren milik Kyai Huri, di sebelah selatan terminal Probolinggo, Jawa Timur.
Berdasarkan keterangan terdakwa dan Berkas Acara Pemeriksaan (BAP), Haryono dan Madasir, dijelaskan, 25 September 2015, pukul 19.00, pertemuan di rumah kepala desa dihadiri Tim 12 dan Paguyuban Pendukung Tambang diketuai Madasir.
Tim 12, sebutan tim pemenangan ketika Haryono mencalonkan diri sebagai Kepala Desa Selok Awar-Awar.
Di pertemuan ini, membahas upaya unjuk rasa tandingan. Selang 15 menit, Babinkamtibmas Polsek Pasirian yakni Aipda Sigit dan Babinsa mendatangi pertemuan. Keduanya memberikan penjelasan dan melarang kepala desa dan Tim 12 unjuk rasa tandingan.
Berdasarkan keterangan Sigit, setelah dilarang aksi tandingan, Tim 12 dan kades bersepakat mengadakan kerja bakti. Rupanya, “kerja bakti” adalah kata sandi untuk eksekusi terhadap Salim dan Tosan.
Sekitar pukul 21.00, Madasir, pimpinan tim 12 mendatangi Asnawi. Dia mengajak Asnawi mengikuti pertemuan di Probolinggo bersama kades dan tim 12. Asnawi diajak karena mantan kepala dusun. Dulu tim sukses Haryono.
Dari keterangan Asnawi, menolak ikut karena merasa ada yang tidak beres dengan pertemuan itu. Akhirnya, Madasir pulang mempersiapkan keberangkatan 12 orang lain ke Probolinggo.
“Saya menolak, karena pertemuan di Probolinggo sangat mengherankan,” kata Asnawi.
Di tempat berbeda, Gus Namin, seorang tokoh agama di Kecamatan Wotgalih, Lumajang, mengatakan, dua orang santri berpamitan untuk berangkat ke Probolinggo. Katanya, ada pertemuan bersama Kades Selok Awar-Awar.
Gus Namin sudah melarang kedua santri ikut, tetapi mereka memaksa berangkat. Gus tak tidak mengetahui apa isi pertemuan di Probolinggo. Kedua santri tak mengatakan apapun.
Pukul 21.15, Asnawi bersama tiga warga desa, melihat empat mobil ditumpangi tim 12 dan kades berangkat dari Balai Desa. Keempat mobil menuju utara, arah jalan keluar desa.
Mereka pakai Nissan Evalia, Suzuki Ertiga, Kijang LGX Isuzu Elf.
“Kaca mobil ditutup rapat. Keberangkatan rombongan ke Probolinggo dana kades, dari uang hasil penjualan pasir kades,” kata Tosan. Ini berdasarkan keterangan pelaku di pengadilan.
Malam sama, Abdul Hamid, warga Desa Selok Awar-Awar mengatakan, sekitar pukul 21.00, dia bersama Salim, Tosan, dan tujuh orang lain ke rumah kyai di Wotgalih, Lumajang.
Mereka meminta doa kepada kyai, karena keesokan hari akan demonstrasi di balai desa. Saat di jalan menuju Wotgalih, Hamid merasa rombongan diikuti beberapa orang tak dikenal.
“Orang yang menguntit kami itu mampir ke rumah Kades Wotgalih,” kata Hamid.
Sesampainya di rumah sang kyai, entah secara kebetulan atau tidak, rombongan Hamid berjumpa anggota Brimob. Hamid tak sempat berkenalan dengan Brimob ini.
Setelah bercerita panjang lebar mengenai rencana demonstrasi esok hari, rombongan kembali ke desa. Anggota Brimob ini ikut berpamitan, setelah sempat mendengarkan panjang-lebar mengenai rencana demonstrasi Salim cs.
“Kami pamit ke kayi lalu pulang. Anggota brimob juga pamit.”
***
Langit masih gelap. Ketika itu, pukul 5.00 pagi, warga sedang sibuk berbelanja di pasar. Tampak Tim 12 justru berkumpul di rumah kades dan mempersiapkan senjata untuk membunuh Salim dan Tosan.
Saat itu, tetangga Tosan, Bi, berpapasan dengan Basri, pembunuh daan penganiaya Salim dan Tosan.
Basri naik sepeda motor membawa cangkul, menuju rumah kades. Saat itu, dia pulang ke rumah dari belanja di pasar.
“Saya kira waktu itu mau ada kerja bakti membetulkan jalan raya, kok saya melihat Basri bawa cangkul ke utara,” katanya.
Dia juga melihat Tejo. Tejo bersepeda motor membawa bambu ke arah rumah Madasir.
Keterangan ini diperkuat Di, tetangga Madasir.
Dia melihat sekitar 40 orang menggunakan 20 sepeda motor berkumpul di rumah kades.
“Waktu itu saya kira mau ada acara desa, karena mereka bawa alat-alat kerja.”
Alat-alat kerja yang dimaksud seperti cangkul, celurit, bambu, dan parang. Alat-alat ini dibawa para pelaku pembunuhan sejak dari rumah.
Dia melihat Madasir berbicara kepada 40 orang ini, seperti memberikan arahan. Orang-orang ini berkumpul sekitar 10 menit, sebelum berangkat bersama-sama ke Balai Desa.
Pukul 6.00 pagi, mereka berkumpul di Balai Desa, sebelum berangkat ‘kerja bakti’ ke Tosan dan Salim Kancil.
“Otak pelaku kades dan Madasir,” kata Tosan.
***
Penambangan pasir besi di Watu Pecak Desa, Selok awar-awar, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang, mulai 2014. Pertambangan warga ini diketuai Haryono, Kades dan Madasir Ketua Tim 12, paguyuban pendukung penambangan dan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH).
Penambangan telah memberikan dampak kerusakan kawasan pesisir di Pantai Watu Pecak, merusak jalan desa, lahan pertanian dan polusi udara.
Salim dan Tosan cs menolak. Berbagai upaya mereka lakukan menghentikannya tambang ini.
Pada 29 Juni 2015, Tosan mengirimkan surat kepada Camat Pasirian, dijabat Abdul Basar, berisi permintaan penutupan tambang di Selok Awar-awar, Pasirian. Juga meminta penarikan alat berat dan segala macam alat tambang di semua bibir pantai. Tosan juga mempertanyakan aliran uang hasil tambang.
“Uang hasil tambang tak berdampak kemajuan desa.”
Camat Pasirian hanya menjelaskan kepada Tosan akan berkoordinasi dulu dan memanggil Haryono maupun Madasir.
Basar menanyakan tambang pasir, Haryono berdalih, pengerukan bukan buat penambangan pasir tetapi mengelola dan membentuk desa wisata Selok Awar-awar.
Basar menyampaikan kepada Tosan. Dia menyarankan, mediasi setelah hari raya Idul Fitri, sekitar Agustus.
Tosan cs yakin, kegiatan di pesisir itu penambangan pasir besi. Wisata hanya kedok.
“Mana mungkin wisata kok pakai alat berat, mengeruk pasir. Jika wisata tak akan rusak pesisir,” kata Tosan.
Dia tak bisa menerima penjelasan camat.
Tak perlu lama membuktikan kecurigaan Tosan cs. Pada Agustus, pertambangan makin luas dan merusak keindahan pesisir.
Lubang-lubang besar galian sedalam puluhan meter menganga begitu saja. Sawah-sawah petani berulang kali terendam air laut. Jalan-jalan desa rusak dan berlubang.
Akhirnya, September Tosan mengirim surat ke Polsek Pasirian untuk aksi damai menolak penambangan pasir besi.
Surat dinilai kurang lengkap oleh Kapolsek Pasirian, kala itu Sudarminto. Kapolsek memerintahkan anak buah, Sigit memberikan penjelasan tentang surat izin unjuk rasa.
Pada 5 September 2015, Tosan mengantarkan surat untuk unjuk rasa pada 9 September.
Pada 8 September 2015, sekitar pukul 13.00, diadakan pertemuan di Kantor Camat Pasirian. Rapat itu dihadiri antara lain Abdul Basar, Camat Pasirian; Sudarminto, Kapolsek Pasirian; Haryono, Kades Selok Awar-awar; Madasir, Ketua LMDH dan tim 12; Serma Abdul Gofur, Koramil Pasirian. Lalu, Totok S, Perhutani, IPDA Hariyanto, Kanit Pidsus Polres Lumajang, Hanafi, Pendamping LMDH. Juga Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Pesisir Desa Selok Awar-Awar yaitu Tosan, Salim Kancil, Iksan Sumar, Si Sapari, Ansori, dan Abdul Hamid.
Pertemuan tak menghasilkan kesepakatan apapun. Hanya ada perkataan Madasir, apabila tambang ditutup akan ada pertumpahan darah.
Usaha menggelar aksi damai tak surut. Sadar ada ancaman pembunuhan, setiap pukul 14.00, Tosan duduk di depan rumah. Dia berikir jika dibunuh, banyak orang tahu dan pelaku dihukum.
Pada 8 September 2015, Camat Pasirian mengajak Tosan berbicara empat mata.
“Pak Tosan katanya sampean mau tutup tambang. Kapan?” kata Tosan mengulangi perkataan camat.
“Jika ada waktu sekarang, saya tutup,” jawab Tosan.
“Tapi karena sudah sore besok saja.”
“Tidak ada jalan lain Pak Tosan?” tanya camat lagi.
“Bisa saja, asalkan Pak Kades mau tutup tambang,” jawab Tosan.
Sehabis pembicaraan, Tosan diminta keluar ruangan. Saat itu, ada pertemuan tertutup camat, Danramil, Kapolsek dan kades.
Sekitar satu jam lebih pertemuan, camat panggil Tosan lagi.
“Tak bisa Pak Tosan Pak kades tutup tambang,” kata camat.
“Jika Pak Tosan bisa tutup tambang, mau dicium kaki. Jika ditutup tambang, ada tumpah darah di Selok.”
Tosan kecewa.
Niat menghentikan pertambangan makin besar.
Bermodalkan Rp20.000 untuk mengurus izin ke kepolisian dan membeli kertas putih perangkat aksi. Rabu pagi, 9 September 2015, Tosan memberitahukan camat untuk aksi damai di depan rumah dengan cara menghentikan mobil atau truk pengangkut pasir. Dia memberikan kertas ukuran folio bertuliskan, “Tolong Jangan Digali Lagi.”
Tosan marah. Ketika Kapolsek Pasirian di lokasi, hanya melampaikan tangan dan tersenyum, melihat para sopir truk pengangkut pasir melewati rumahnya.
“Ada pencuri tanah negara, sampean cuma senyum dan melampaikan tangan.Sampean tak punya hati nurani, tak pantas jadi polisi,” kata Tosan.
“Yang kami perjuangan tanah negara yang dicuri. Kami anak Negara.”
Seketika Kapolsek pergi. Dua jam kemudian, kapolsek, camat dan danramil ke rumah Tosan. Mereka membaca surat Kades Selok Awar-awar berisi, mulai 9 September 2015, semua pertambangan di Pesisir Pantai Watu Pecak, setop.
Tosan cs senang. Mereka bersalaman dengan para pejabat ini.
Kelegaan Tosan cs hanya hitungan jam. Pada 10 September 2015, 30 orang datang ke rumah Tosan. Mereka tim 12 dan LMDH diketuai Madasir. Mereka marah, mengancam membunuh Tosan.
Tosan bersegera lapor Kapolsek Pasirian. Laporan tak diterima, pukul 19.00, dia diminta ke Polres Lumajang untuk melapor dan dimintai keterangan Berita Acara Pemeriksaan serta ) mendapatkan tanda bukti lapor.
“Laporan saya selesai hingga pukul 2.00 11 September 2015.”
Tosan memperbanyak surat pernyataan kades tentang penutupan pertambangan. Dia memfotocopy dan membagikan ke warga desa.
Kelegaan Tosan cs tak berlangsung lama. Pada 15 September 2015, penambangan buka lagi. Sontak Tosan dan Salim pada 23 September 2015 melaporkan ke Camat Pasirian bahwa akan aksi damai 26 September 2015. Hari itu, berujung upaya pembunuhan Tosan dan Salim. Salim tewas.
Hingga kini, Tosan kecewa terhadap kepolisian Lumajang. Puluhan laporan pertambangan ilegal, hingga ancaman pembunuhan taka da respon. Kalau kapolres becus, tentu ada repon laporan 11 September 2015 dan menangkap pelaku. Itu tak terjadi…
Tosan juga kecewa kepada Camat Pasirian ketika tambang buka lagi.
“Sampean kok bisa jadi titipan dan ngikuti perintah kades. Sampean itu berat jabatan apa sogokan? Surat penutupan yang sampean berikan, kok sekarang dibuka lagi,” kata Tosan, kala itu.
Tosan melihat, kepolisian dan aparat kecamatan mendukung pertambangan ilegal.
“Di Lumajang, polisi gendeng. Masih banyak pelaku pembunuh saya belum ditangkap,” katanya.
Dia bahkan sudah melapor kepada Bupati Lumajang, As’at Malik, akhir tahun 2015. Dia menyampaikan, pasir besi jangan keluar Lumajang.
“Menambang pasir harus pakai alat manual.”
Kala itu, Bupati menyatakan, pasir Lumajang jangan sampai keluar. Tosan diminta membina anak muda membuat batako.
“Supaya yang keluar dan dijual bukan barang mentah, namun olahan, harga jual lebih tinggi, tenaga kerja terserap tinggi.”
Pengamatan Tosan, dalam 24 jam di Selok Awar-awar, lebih 500 truk keluar dari pesisir. Kalikan Rp400.000 /truk, ada sekitar Rp200 juta pemasukan dana penjualan pasir besi. Uang masuk ke kantong kades. Rakyat mendapatkan kerusakan.
Bagian 2:
“Berulang kali saya ditawari uang agar tak menuntut tambang ditutup Saya tolak. Alam terjaga untuk masa depan anak cucu lebih penting dari uang.”Selama sekitar setahun tambang ilegal di Desa Selok Awar-awar, beroperasi, miliaran uang mengalir ke sang Kepala Desa, Haryono. Tampak uang ini mengalir ke berbagai pihak, dari kepolisian, danramil, perangkat desa sampai orang-orang Perhutani…
Sekitar Januari 2014, tambang pasir besi berkedok desa wisata berawal. Kala itu, Kades Selok Awar-awar, Haryono, menemui Madasir guna bermusyawarah mewujudkan ‘desa wisata’ itu. Madasir setuju. Haryono, mengadakan pertemuan dihadiri Madasir dan Harmoko.
Harmoko, saat itu bertugas mendatangkan eksavator guna pembuatan jalan dan danau wisata dengan cara menggali pasir. Barulah, tiga hari kemudian, diadakan pertemuan di Balai Desa Selok Awar-awar dipimpin Haryono.
Berdasarkan berkas dakwaan Jaksa Penuntut Umum, pada Maret 2014, Harmoko menjalaskan tugas menghubungi Kusnul Rofiq via telepon.
“Pak, apa ada alat berat eksavator menganggur?” tanya Harmoko.
“Ada di Eriza Hardi,” jawab Rofiq.
Harmoko lalu melaporkan kepada Haryono. Dia minta diatur pertemuan dengan Rofiq. Pada, 4 April 2014, mereka bertemu di Mc. Donald Waru, Sidoarjo, hadir Haryono, Madasir, Harmoko, Rofiq dan Eriza Hardi.
Mereka sepakat membuat kerjasama pembangunan Desa Wisata dan mendatangkan eksavator untuk menambang pasir. Bertanda tangan Eriza pemilik alat dan Madasir diketahui Haryono. Saat itu, disepakati pembayaran alat Rp.180.000, per jam.
Kenyataan, pembayaran alat dengan sistem bagi hasil penjualan pasir per truk, pemilik alat Rofiq dan Eriza Rp110.000 per truk.
Pada Juni 2014, Eriza mendatangkan alat berat merek Caterpillar dua unit. Selang dua minggu, datang lagi satu merek Hitachi.
Haryono bukan membuat Desa Wisata melainkan menambang pasir. Dia menentukan lokasi di Pesisir Pantai Watu Pecak, lalu dikeruk oleh alat berat.
Harmoko mengumpulkan pasir-pasir ini tak jauh dengan lokasi penambangan, sebelum dijual seharga Rp270.000,per truk. Dia dibantu Yoso.
“Hingga kini, Yoso masih daftar pencarian orang,” kata M. Naimullah JPU, Kejaksaan Negeri Lumajang.
Kala mengangkut pasir, sopir truk mendapatkan karcis biru. Karcis ini akan diserahkan kepada penjaga portal. Portal dibuat di Jalan Lintas Selatan, depan Balai Desa Selok Awar-awar, guna pemeriksaan truk pasir. Lewati portal harus bayar.
“Setiap truk melintas kena tarif Rp30.000.”
Hasil penjualan pasir sore hari diserahkan kepada Haryono dengan rincian, Harmoko menerima setoran dari Yoso setiap hari rata–rata 150 ret, menghasilkan Rp40, 500 juta. Uang ini dibagi, Haryono R142.000 per ret atau Rp21, 300 juta. Biaya alat berat dan perawatan Rp110.000 per ret.
Setoran perawatan jalan lokasi tambang Rp18.000, diserahkan kepada Eko Aji, Kaur Pemerintahan Desa Selok Awar–awar. Jadi, rata-rata sehari penghasilan tambang ilegal Haryono Rp29 juta.
Dari keterangan Paimin, Kepala Kantor Pelayanan Terpadu (KPT) Lumajang, Haryono tak pernah mengajukan izin penambangan di Desa Selok Awar-awar. KPT Lumajang tak pernah mengeluarkan izin kepada Haryono.
Pertambangan ilegal ini berjalan sekitar 12 bulan, sejak 2014, hingga peristiwa berdarah September itu. Hasil pertambangan ilegal, kalau dikalikan Rp426 juta perbulan, maka sekitar Rp3, 408 miliar.
Dari penelusuran Jaksa, di persidangan terungkap aliran uang Haryono dari penambangan pasir besi selama 12 bulan total Rp3, 408 miliar itu. Uang ini mengalir ke berbagai cabang. Ad buat judi togel, bayar kredit beberapa mobil, sampai bagi-bagi perangkat desa, polisi, Danramil, camat, sampai Perhutani.
Meskipun sudah gamblang seperti itu, pihak-pihak yang disebutkan ramai-ramai membantah baik Camat Pasirian, Kapolsek, Asper dan Mandor Perhutani, Danramil, sampai Kaur Desa. Mereka bilang, tak menerima uang aliran tambang ilegal ini, atau menerima uang tetapi bukan buat pribadi.
Dalam persidangan April 2016, Kapolsek Pasirian AKP Sudarminto mengatakan, uang diberikan Haryono, namun bukan untuk kepentingan pribadi. Uang buat membantu acara Polsek Pasirian.
“Memang saya menerima transfer, uang bukan untuk pribadi saya, acara di Polsek,” katanya, di hadapan hakim.
Lebih aneh lagi, dia mengaku baru mengetahui ada penambangan ilegal di Pantai Watu Pecak, sekitar Agustus 2015. Dia tak tahu ada pengangkutan material tambang ilegal, dari Pesisir Pasirian.
Camat Pasirian Abdul Basar juga menyangkal. Uang ini, katanya, untuk kegiatan di kecamatan. Dia berdalih, tak tahu ada pertambangan ilegal di Pasirian.
Mendengar keterangan di persidangan ini Tosan hanya tersenyum.
“Mana mungkin camat dan kapolsek tak tahu ada tambang ilegal di Pasirian.”
Dengan jawaban seperti itu, katanya, makin menguatkan dugaan Tosan, mereka sogokan besar dari penambang.
“Sudah jelas setiap hari lebih 500 truk membawa pasir besi.”
***
Pengerukan pasir besi di Desa Selok Awar-awar, Kecamatan Pasirian, merupakan bagian dari cerita panjang pertambangan di Pesisir Lumajang, Jawa Timur, yang mulai muncul pada 1998.
Pertama kali eksplorasi penambangan di Desa Wotgalih, Kecamatan Yosowilangun. Ahmad Zaky Ghufron, Tim Advokasi Salim Kancil menceritakan, dulu PT. Aneka Tambang (Antam) memperoleh konsesi seluas 584,4 hektar.
Berbekal surat keputusan Dirjen Pertambangan Umum, per 7 Februari 2000, operasi Antam pun mulai tahun itu. Pengangkutan dilakukan CV. Sumber Alam Nusantara ke Desa Munder sebagai tempat stokpile.
“Ketika akan mengajukan perpanjangan izin eksploitasi pada 2010 seluas 462,3 hektar di desa sama, ditolak warga,” katanya.
Penolakan itu, kata Ghufron, setelah ada gejolak warga. Sejak beroperasi 2000, Antam kurang konsisten terhadap janji. Dulu perusahaan janji ada reklamasi, membangun infrstruktur jalan dan penghijauan di pesisir. Semua cuma janji. Mereka tak menutup bekas tambang.
Antam sendiri aktif eksploitasi sampai 2005. Setelah itu, karena stok pasir masih banyak, selesai keluar sampai 2008. Pasir dikirim ke pabrik semen PT Bosowa di Banyuwangi dan PT Tiga Roda melalui Pelabuhan Paiton, Probolinggo.
“Waktu itu pasir besi hanya untuk bahan baku semen, kandungan besi max 52 damrow 46-48,” katanya.
Pada 2008, keluar Keputusan Bupati Lumajang, Achmad Fauzi, mengenai pemberian izin eksplorasi pertambangan bahan galian pasir besi kepada PT. Indo Moderen Mining Sejahtera (IMMS).
Konsesi di enam kecamatan yakni, Yosowilangun, Kunir, Tempeh, Pasirian, Candipuro dan Tempursari, seluas 8.495.6 hektar. Ia membentang di Pesisir Lumajang dari perbatasan dengan Jember di Timur dan Malang di Barat.
“Pemilik IMMS Lam Cong San. Pertambangan mulai di Desa Kajaran dan Desa Dampar,” katanya.
Pada 25 Agustus 2009, keluar surat keputusan Bupati Lumajang yang baru, Sjahrazad Masdar, berisi persetujuan perpanjangan izin usaha pertambangan eksplorasi untuk IMMS.
Kehadiran IMMS di Desa Dampar dan Kajaran, katanya, juga menimbulkan penolakan masyarakat. Belum sempat, IMMS menambang , sudah banyak masyarakat lokal menambang di bawah naungan Koperasi Kesejahteraan Rakyat (KKR) di Desa Bades.
Ketika itu, Ketua KKR bernama Balok. Penambangan tak berizin juga dilakukan pondok pesantren milik Gus Ghorin.
“Para pemain tambang di Lumajang mulai warga lokal, pejabat desa, hingga perusahaan besar,”ucap Ghufron.
Petambang pasir di Pesisir Lumajang, Su, warga Yosowilangun menceritakan, dulu penambangan pasir besi di bibir pantai menggunakan cara manual, hanya diwadahi karung, tanpa alat berat backhoe.
Pasir yang diambil dari proses alam. Ketika ombak datang, pasir terhempas diambil diketebalan dua hingga tiga centimeter.
Salah satu tokoh cukup dikenal dan bagus hasil pasir besi, yakni Salim Kancil. Dia bisa mencari pasir besi dengan limbah 10-20%.
“Pasir besi waktu itu dijual ke Ngoro, Mojokerto,” katanya.
Berbeda keterangan dari Abdullah Al-Kudus, dari Laskar Hijau. Dia bilang, Salim hanya pernah mengambil pasir di Sungai Kali Pancing untuk bangun rumah. “Di pantai, dia urug dengan tanah untuk buat sawah.”
Lambat laun, duit pasir makin ‘manis,’ KKR menduduki konsesi IMMS. Walau KKR tak punya izin, tetapi bisa nambang.
Akhirnya, para penambang di pesisir memanfaatkan izin IMMS, penentu quota tambang IMMS. Investor hanya pelaksana tambang, IMMS mendapatkan keuntungan penjualan. IMMS tak menambang sama sekali.
Tak ada kejelasan lahan tambang, tetapi pengerukan terus berlanjut. Bahkan, oknum aparat datang, bercampur baur. Mereka saling memberikan perlindungan pada penambang. Lebih parah lagi, ketika itu pengusaha dan pemeritah daerah tak tahu aturan pertambangan.
Baru pada 2011, terbit 57 izin pertambangan rakyat (IPR) melalui SK Bupati Lumajang. Terbit pula konsensi untuk PT. MMI. Antara Dinas Pengairan dan Perhutani berebut. Ia berujung, kompensasi kepada aparat desa.
Orang dalam IMMS mengatakan, Bs, IMMS hanya tumbal dalam kasus kematian Salim dan penganiayaan Tosan.
“Banyak pihak seharusnya dimintai pertanggungjawaban. Tak pernah polisi, jaksa dan hakim menelusuri siapa pembeli pasir milik Haryono?” kata Su.
Tambang pasir besi Lumajang, melibatkan banyak aktor, tak terkecuali oknum kepolisian dari jajaran Polres hingga Polda Jatim.
Mongabay mendapatkan dokumen, surat tertanggal 2 Desember 2015 dengan tanda tangan AKBP Anjas Gautama Putra, selaku Direktur Reserse Kriminal Khusus Poda Jatim, memberikan rekomendasi pengadaan proyek antara CV. Mapan Jaya Lestari dengan CV. Anugerah Semeru.
Ada juga, pada 12 Januari 2016, Direktur PT. Calvary Abadi di Mojokerto, mengirimkan permintaan keperluan material khusus pasir Lumajang melalui Kapolres Lumajang.
Rere Christanto, Direktur Walhi Jatim mengatakan, dii balik pembunuhn dan penganiayaan aktivis penolak tambang Salim Kancil dan Tosan kuat dugaan keterlibatan sejumlah pihak termasuk perusahaan tambang lebih besar.
Untuk itu, perlu perhatian dan penanganan lebih serius dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Walhi Jatim mencatat, 67 tambang pasir besi ilegal di sepanjang pesisir selatan Lumajang, diduga ada keterlibatan perusahaan internasional di sana, yakni Dampar Golden International (DGI).
Perusahaan asing ini, katanya, berperan sebagai pencuci dosa dalam tambang liar lalu dekspor sampai ke Tiongkok. Dia menduga, ada kesepakatan yang dibuat perusahaan DGI, dengan IMMS.
Modus mereka, hasil pertambangan di pesisir, disimpan di stockpile, didistribusikan ke Pelabuhan Tanjung Tembaga di Probolinggo, Pelabuhan Tanjung Perak di Surabaya, dan Gresik, sampai ke Pelabuhan Qingdao di Tiongkok.
Sebelum ekspor ke Tiongkok, pasir besi ditampung DGI, yang mendapat surat izin dari Gubernur Jatim. Izin ini eksklusif, DGI bisa menampung pasir besi dari Lumajang buat dikirim ke daerah lain, termasuk Tiongkok.
“Polisi harus mengusut siapa orang di dalam perusahaan yang menampung pasir. Bahkan, harus mengungkap tuntas siapa saja yang menikmati hasil pertambangan,” ucap Rere.
“Pencucian” pasir besi ilegal inilah, katanya, yang menyuburkan praktik-praktik ilegal di Lumajang. Kelancaran tambang pasir ilegal juga karena ada dua pelabuhan tempat bersandar, yakni Tanjung Tembaga dan smelter pertambangan di Gresik.
IMMS dan DGI saling terkait. IMMS, menanam saham 45% di Asia Resources Holding, 100% milik PT Mighty Kingdom. Mighty Kingdom Investment 55%, dan 5% Empire Bridge Asset (terdaftar di British Virgin Island).
Dalam surat Bupati Lumajang tentang persetujuan izin usaha pertambangan tahun 2013, untuk pengolahan dan pemurnian pasir besi kepada DGI, tercantum Presiden Komisaris, Chim Kim Lun, dan Ricky, dengan pemegang saham dalam negeri IMMS Rp50 miliar, Mighty Kingdom Investment Limited RP68,75 miliar dan Empire Bride Asset Limited Rp6,25 miliar.
Perusahaan internasional mudah masuk ke tanah air tanpa izin, dengan melalui IMMS.
Lokasi pengolahan dan pemurnian di Dusun Dampar, Desa Bades, Kecamatan Pasirian, seluas 9.000 meter persegi, jangka waktu tiga tahun. Surat itu ditandatangani Bupati Sjahrazad Masdar.
Sejak 2010, pendirian IMMS mendapat penolakan warga Kecamatan Yosowilangun, Lumajang, karena menyebabkan kerusakan lingkungan, menghilangkan mata pencarian petani dan kerugian negara.
IMMS mendapatkan keputusan Bupati Lumajang pada 2012 untuk persetujuan peningkatan izin usaha pertambangan eksplorasi menjadi IUP operasi produksi. Lokasi di Desa Bades, Bago, Selok Awar-awar, Selok Anyar, Pandanarum dan Pandanwangi dengan luas 2.744,21 hektar, selama 10 tahun.
“Sudah tentu tambang pasir besi Lumajang tak hanya sumber konflik dan kerugian negara, juga sumber korupsi,” kata Rere.
Kini, pemilik IMMS dalam proses persidangan atas dugaan korupsi di Pengadilan Tipikor Suarabaya, bersama Abdul Gofur, Tim Teknis Amdal Lumajang.
“Kami menanti aktor-aktor lain yang terlibat juga diseret ke ranah hukum. Agar tambang ilegal tak terulang.”
Dia mendesak, penegak hukum membongkar kasus mengusut keterlibatan pemodal besar. Juga kaji ulang penataan ruang sampai proyek-proyek infrastruktur penampung hasil tambang illegal ini.
“Perlu moratorium pertambangan di Lumajang, bahkan seluruh Jawa.”
***
Abdul Rahem Faqih, Dosen Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Brawijaya, Malang, tak bisa berkutik kala Senin (20/7/16), langsung ditahan Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jatim. Dia jadi tersangka korupsi pertambangan pasir besi di Dusun Kaliwelang, Desa Bdes, Lumajang yang dikelola IMMS.
Faqih, juga Wakil Direktur CV. Lintas Sumberdaya Lestari, kala itu konsultan Analisis dampak lingkungan (Amdal) IMMS.
Kepala Seksi Penegakan Hukum Kejati, Jatim, Romy Arizyanto mengatakan, Faqih sebagai pembuat rekayasa Amdal IMMS. Barang bukti dan keterangan kuat, Faqih langsung menjadi tersangka.
Kejati juga menetapkan warga negara Tiongkok, Lam Cong San, pemilik IMMS. Faqih didakwa merugikan negera Rp79 miliar ditahan di Rutan Kelas I Surabaya, terhitung 20 Juni-9 Juli 2016.
“Ditahan karena takut melarikan diri juga khawatir menghilangkan barang bukti dan mengulangi perbuatan,” kata Romy.
Ketua Tim Teknis Dokumen Amdal Pemkab Lumajang R. Abdul Gofur. Mereka telah merugikan negara Rp79 miliar karena penambangan liar tanpa mengantongi izin penggunaan lahan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Dalam kasus ini, CV. Lintas Sumberdaya Lestari, merupakan konsultan pemberi izin Amdal IMMS. Kejaksaan Tinggi Jatim memperoleh fakta eksplorasi penambangan IMMS, tak memenuhi izin, karena wilayah milik Perhutani.
Dalam persidangan, Lam Cong San dan Abdul Gofur, katanya, dijerat tindak pidana korupsi oleh kejaksaan dalam kasus korupsi pasir besi Lumajang. Dari investigasi BPKP Jatim, kata Romy, ada perhitungan kerugian negara dari kasus ini sebesar Rp126 miliar.
Sejak awal, warga menolak tambang pasir besi di Pesisir Lumajang karena lahan masuk kawasan konservasi Perhutani. Anehnya, Pemkab Lumajang tetap mengeluarkan izin eksplorasi pada 2009, kepada IMMS hingga akhir 2013.
Kejati Jatim menyelidiki hingga keluar kesimpulan telah terjadi pelanggaran saat pengeluaran izin eksplorasi IMMS pada 2014.
“Hingga kami akhirnya menetapkan bos IMMS Lam Chong San dan Abdul Ghofur sebagai tersangka,” ujar dia.
Kejaksaan sempat mendapat hambatan kala akan menggeledah kantor IMMS. Penghuni kantor, kata Romy, berusaha menghalangi. Adu mulut pun tak terelakkan saat mereka menyita sebuah gudang yang menyimpan berbagai peralatan tambang. Bersyukur, mereka berhasil menyita berbagai peralatan tambang, mulai alat berat hingga komponen penambangan.
Keberadaan kantor IMMS di Jember, terendus petugas setelah ada penyidikan dugaan eksploitasi pasir besi di Lumajang melibatkan pejabat. Mereka menduga, ada keterlibatan 12 pejabat pemkab lain dalam mengeluarkan izin operasi IMMS.
“Kami terus mendalami keterlibatan para pihak dalam pertambangan IMMS dan merugikan Negara ini,” katanya.
Pada Senin (18/7/16), Kejaksaan Tinggi Jatim, menambah daftar tersangka dalam kasus korupsi IMMS dengan menangkap Ninis Rindhawati, PNS Lumajang, selaku mantan PLT Kepala Dinas Lingkungan Hidup Lumajang pada 2010.
Kasus Ninis, pada 2010, IMMS mengajukan IUP dan operasi produksi di Blok Dampar, Pasirian. Sebelum mengajukan IUP, IMMS harus memiliki Amdal terlebih dahulu sebagai syarat operasi konsesi seluas 1.195, 856 hektar di Blok Dampar, yang sebagian besar milik Perhutani. Tim Penilai Amdal IMMS diketuai Ninis.
Romy mengatakan, Amdal IMMS seharusnya ditolak karena tak ada dokumen-dokumen pendukung dan tak ada dokumen izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH). IMMS malah tetap beroperasi di kawasan itu dari 2010- 2014 hingga negara rugi sekitar Rp79 miliar.
“Tersangka ditahan 20 hari, 18 Juli-6 Agustus 2016 di Rutan Madaeng.”
Gufron, tim advokasi Salim Kancil mengatakan, baik Lam Cong San, Abdul Gofur, maupun Ninis, memang semestinya diminta pertanggungjawaban. Mereka merugikan negara. Namun, katanya, ada pihak lain harus diselidiki oleh aparat penegak hukum, baik kepolisian, KPK maupun PPATK.
Dia menyebut, ada dari DPRD Lumajang diduga terlibat dalam KSO atau penarikan pajak borongan salah satu perusahaan. Ada juga dari Dinas Ekonomi saat perizinan pertambangan dan penggurusan Amdal IMMS. Juga mantan pejabat Pemkab Lumajang.
“Juga kepolisian di Lumajang harus ditelusuri,” katanya.
Kematian Salim dan penganiayaan Tosan, kata Gufron, harus jadi pintu masuk membongkar mafia tambang dan memperbaiki tata kelola tambang lebih berkelanjutan.
Bagian 3:
Panas mentari terik serasa menyengat kulit medio Mei 2016. Truk-truk bermuatan sekitar 40 ton parkir di kiri kanan jalan menuju Desa Selok Awar-awar dari Kota Lumajang. Alat-alat berat penyaring pasir terus bergerak. Beberapa petugas mengawasi, memastikan pasir masuk ke bak truk.
Lokasi ini merupakan stockpile, tempat hasil galian pasir di simpan sementara. Salah satu milik perusahaan besar, PT. Merak Jaya Beton.
A’ak Abdullah Al-Kudus, dari Laskar Hijau Lumajang menceritakan, ketika pembunuhan Salim Kancil dan penganiayaan Tosan, stokpile-stokpile ini ditutup, dipasangi garis polisi (police line).
Satu bulan sejak peristiwa, hampir semua garis polisi hilang. Aktivitas pengangkutan pasir kembali berlanjut.
“Bahkan garis polisi di pesisir ikut hilang,” katanya.
Gus Aak, biasa disapa mengatakan, pertambangan ilegal di Pesisir Lumajang merugikan negara, mulai pajak borongan, lubang-lubang tambang, jalan rusak, pembabatan hutan sampai risiko bencana.
Pemerintah Lumajang, katanya, tak pernah memperhitungkan kerugian ini. Investasi perusahaan hanya memberikan sedikit keuntungan, berdampak kerugian lebih besar.
Dari catatan tim advokasi Salim Kancil, dari audit BPKP Jatim menemukan, perjanjian kerjasama operasional Pemkab Lumajang dengan PT Mutiara Halim, dalam pajak tambang 2004-2005 merugikan negara lebih Rp5 miliar.
Adapun penarikan pajak oleh swasta ini masih akan berlangsung hingga 2024 dengan dugaan kerugian negara lebih Rp63 miliar. Dengan begitu, katanya, penting pendekatan tindak pidana korupsi dan pencucian uang untuk mengetahui ke mana aliran dana selama ini.
Sayangnya, hingga kini, polisi hanya menjebloskan Kades Selok Awar-awar cs dalam kasus pertambangan ilegal.
Begitu juga kasus bos IMMS, Kepala Teknis Amdal Lumajang Abdul Gofur, katanya, harus jadi pintu masuk menelusuri siapa mafia tambang. Termasuk mendata berapa kerugian negara.
“Perputaran uang miliaran rupiah perbulan. Kerugian negara triliunan rupiah, sangat besar kemungkinan praktik mafia pertambangan ini dilindungi.”
Berdasarkan data Walhi dan Jatam, pertambangan pasir besi ilegal di Lumajang, berpotensi merugikan negara Rp11,5 triliun. Angka ini, setara APBD Lumajang, selama sembilan tahun dengan estimasi pertahun Rp1,3 triliun. Kala dihitung dari truk pasir besi keluar bermuatan sekitar 35 ton setiap truk, rata- 500 unit per hari.
“Temuan kami di lapangan, truk mengangkut pasir besi di Desa Selok Awar-awar berkisar 270-300 truk per hari. Penambangan pasir ilegal di pesisir pantai juga terjadi di Desa Bago, Pandanwangi, dan desa lain. Diprediksi jumlah truk lebih 500 unit per hari.”
Angka ini, kataya, kalkulasi paling rendah dengan asumsi penambangan liar hanya berupa pasir besi. Belum lagi pasir buat bahan bangunan.
“Berdasarkan audit BPKP tercatat harga pasir besi di Lumajang US$36 per ton,” katanya.
Dengan menggunakan rumus sederhana, kata A’ak, rata-rata sehari 500 truk membawa pasir besi, setiap truk mengangkut 35 ton, dalam satu tahun 6.387.500 ton pasir besi keluar dari Lumajang.
Jika hitungan dengan rupiah dan kurs dolar Rp10.000, harga pasir besi US$36 per ton per tahun Rp2,3 triliun. Dalam lima tahun, katanya, kerugian negara sampai Rp11,5 triliun.
“Kerugian Lumajang dalam lima tahun terakhir mencapai Rp11,5 triliun. Angka ini setara APBD Lumajang selama sembilan tahun dengan estimasi pertahun Rp1,3 triliun.”
Senada dikatakan Rere Christanto, Direktur Eksekutif Walhi Jatim. Dampak pertambangan ilegal Peisisr Lumajang, katanya, menyebabkan kerusakan tersebar di delapan kecamatan lantaran terjadi eksploitasi pasir pantai berlebihan.
Pasir hasil tambang pesisir untuk memasok kebutuhan bangunan di seluruh Jatim.
“Pasir Lumajang, paling dicari. Harga mahal hingga jadi rebutan.”
Operasi tambang pasir besi ilegal begitu massif ini, Rere menilai, tak mungkin pemain hanya selevel kepala desa.
Selain keterlibatan perusahaan besar sebagai penerima (pembeli) pasir, juga banyak oknum-oknum aparat Negara.
Fakta ini terlihat dalam persidangan Kepala Haryono cs.
“Tak mungkin aliran dana hanya berkisar Rp500.000-Rp1 juta kepada sejumlah oknum penerima dana tambang. Hasil tambang pasir besi cukup besar,” katanya.
Ketua Komnas HAM, Nurkholis angkat bicara. Para pelaku telah merendahkan derajat kemanusiaan para korban. Rasa aman masyarakat terenggut.
“Itu pelanggaran hak untuk hidup, hak tak mendapat perlakuan kejam, hak tak ditangkap sewenang-wenang, hak atas rasa aman dan hak anak,” katanya.
Komnas HAM sudah memberikan rekomendasi kepada Pemkab dan Polres Lumajang segera penyelidikan menyeluruh kasus pembunuhan dan tambang pasir ilegal.
Kepada pemerintah, katanya, Komnas HAM meminta pemulihan kemanan dan kenyamanan masyarakat. Pemkab Lumajang harus segera sosialisasi bahaya tambang ilegal, memberikan santunan koban dalam taraf hidup dan beasiswa ke anak Salim Kancil. Bukan hanya lisan, melainkan aturan jelas.
Dia mempertanyakan kinerja kepolisian memahami masalah di Desa Selok Awar-awar. Terbunuhnya Salim oleh aktor negara, pelaku melanggar UU Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Komnas melihat, terjadi pelanggaran HAM atas kehilangan hak hidup. Ada juga pelanggaran hak tak mendapat perlakuan kejam.
Pada peristiwa itu, Salim maupun Tosan mengalami kekerasan antara lain, dipukul dengan benda tajam, batu sampai setrum di hadapan masyarakat.
Pelanggaran lain, hak tak ditangkap sewenang-wenang. Saat peristiwa, Salim Kancil ditangkap sejumlah orang yang tak punya kewenangan menangkap.
Nurkholis mengatakan, ada latar belakang penting diamati, yakni bisnis pasir. “Kekejaman dan latar belakang kenapa itu terjadi akan digali Komnas HAM. “Ini soal kekayaan. Kami akan menelusuri uang yang beredar dan prosesnya seperti apa,” katanya.
Rekomendasi Komnas HAM juga menyebutkan, pelanggaran hak anak. Pelaku melakukan tindakan kekerasan di depan anak Salim berusia 15 tahun. Peristiwa kekerasan juga di Kantor Kepala Desa di depan PAUD.
“Kasus dialami Salim Kancil merupakan pelanggaran HAM berat termasuk kategori kejahatan kemanusiaan.”
Djuir Muhammad dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Jatim mengatakan, ada 13 pelanggaran HAM dalam pembunuhan dan penganiayaan Salim dan Tosan.
Pelanggaran HAM itu, antara lain, hak atas lingkungan baik dan sehat, hak kesehatan, hak air bersih, hak pekerjaan, hak pangan, dan hak pemukiman baik. Juga , hak pelayanan publik, hak penikmatan warisan budaya, hak rasa aman, hak kebebasan berekspresi dan beropini, hak berkumpul dan berserikat. Kemudian, katanya, hak tak mengalami penyiksaan dan tindakan keji lain, hingga kehilangan hak hidup.
Dari catatan KontraS, pertambangan pasir besi di Pesisir Lumajang makin meningkatkan kekerasan di wilayah itu.
Berdasarkam pemantauan KontraS, November 2014-November 2015, sedikitnya terjadi tiga pembunuhan misterius dan kekerasan diduga kuat terkait praktik tambang pasir ilegal di Lumajang.
Peristiwa itu seperti, pembunuhan Paiman alias Manisin (55) warga Warga Dusun Kajaran, Desa Bades, Pasirian, penjaga portal pasir galian C, 30 November 2014. Pembunuhan petani, Alim (26), warga Dusun Madurejo, Desa Munder, Kecamatan Yosowilangun, Lumajang, 20 Agustus 2015.
Lalu, penganiayaan Sa’i (54), Ketua RW Dusun Krajan II, Desa Selok-Awar-awar, 5 September 2015.
KontraS menilai, kepolisian kembali mengabaikan berbagai kesaksian masyarakat terkait tambang pasir ilegal Lumajang.
Komisi III DPR telah membeberkan hasil temuan mereka dalam praktik tambang illegal ini. Fakta-fakta itu, seharusnya menjadi acuan bagi kepolisian mengungkap kejahatan tambang pasir ilegal Lumajang.
Rere mengatakan, ada muatan politik di dalam persidangan. Buktinya, tanpa alasan jelas persidangan Salim dan Tosan dipindah dari Pengadilan Negeri Lumajang ke Pengadilan Negeri Surabaya.
Pemindahan ini kejanggalan, mengingat tak ada alasan cukup kuat bagi negara memindah tempat persidangan. Juga ada upaya penyederhanaan perkara.
Dalam kasus Salim dan Tosan, aparat penegak hukum terindikasi berupaya menyederhanakan perkara menjadi dua hal, yakni pembunuhan Salim adalah pembunuhan biasa, bukan berencana.
Indikasi lain, terlihat upaya negara menyederhanakan kasus sekadar urusan pidana murni.
“Kejahatan Salim dan Tosan rangkaian panjang dari kisah mafia tambang di Lumajang,” ucap Rere.
Salim dan Tosan, dibunuh dalam meloloskan kegiatan mafia tambang pasir. Keduanya, penolak penambangan pasir di Pantai Watu Pecak.
Data Walhi Jatim dan Jatam, ada 61 tambang di Pesisir Lumajang. Belum lagi, jaringan mafia portal melibatkan aparat desa, belum tersentuh hukum. Setiap hari, 500 truk bermuatan pasir berlalu-lalang di jalan raya Lumajang.
Truk-truk melewati portal. Setiap truk dimintai retribusi Rp35.000-hingga Rp50.000.
“Penting aparat penegak hukum menelusuri aliran dana tambang ilegal. Begitu juga kerugian negara dari pengemplangan pajak. Juga tak ada jaminan reklamasi tambang.”
***
Pukul 14.00, terik matahari menembus celah pepohonan jati di Dusun Dampar, Desa Bades. Jalan aspal berlubang. Kendaraan roda empat yang saya tumpangi hanya melaju 10 kilometer per jam.
Perjalanan mendaki dan menurun menuju Pantai Watu Godek. Sesekali berpapasan dengan petani pisang agung yang mengendari motor.
Ketika kendaraan di perbukitan, terlihat pesisir laut Lumajang berwarna biru dan hitam pasir. Pohon kelapa dan gundukan pasir terlihat.
“Dari atas kita bisa melihat lubang-lubang tambang dampak tambang pasir besi,” kata Tosan.
Tiba di Pesisir Watu Kodek pukul 15.00. Bebatuan penahan ombak rusak terhantam keras ombak. Hanya kendaraan bermotor bisa melewati. Alat berat tampak membuka jalan rusak.
Jalur rusak di Pantai Watu Kodek, ini satu-satunya akses tercepat menuju Kecamatan Tempursari, Lumajang. Tempat pelelangan ikan (TPI) Lumajang terbesar ada di kecamatan ini.
“Sekarang mobil dan motor tak bisa lagi melewati jalan di Pesisir Pantai Watu Godek. Habis termakan ombak dn abrasi,” katanya.
Pertambangan di Pesisir Pantai Watu Godek, ilegal oleh banyak pihak. Selama ini, tak pernah ada tindakan aparat maupun pemerintah Lumajang.
“Berapa kerugian negara dari abrasi merusak jalan itu? Pencuri kekayaan negara dibiarkan puluhan tahun, ketika bencana datang, saling lempar tanggung jawab,” kata Tosan.
A’ak Abdullah mengamini. Katanya, kekayaan tambang di suatu wilayah seperti Lumajang tak berjalan paralel dengan kesejahteraan rakyat.
Selama ini, pertambangan di Lumajang, merusak lingkungan dan ada pembiaran kegiatan ilegal dengan penegakan hukum represif kepada penambang kecil.
Pemerintah daerah kabupaten/kota, katanya, mengetahui pertambangan ilegal tetapi tak membantu, missal, pengorganisasian mereka acara secara yuridis, ekonomis maupun ekologis sesuai kaedah pembangunan berkelanjutan.
“Kerusakan ekosistem akibat pertambangan tak jadi perhatian dalam klausula perizinan.”
Bahkan, di banyak tempat justru instansi pemerintah tak menginternalisir biaya lingkungan ini sebagai bagian manajemen pertambangan. Justru melakukan pungutan-pungutan pertambangan ilegal.
Bukan itu saja, dana jaminan reklamasi juga taka da keterbukaan di Lumajang.
“Bisa jadi biaya kerusakan yang harusnya ditanggung perusahaan lebih besar daripada jaminan reklamasi,” kata Gus A’ak.
Kondisi ini, katanya, sangat rentan korupsi. Ada pembiaran pungutan liar di lapangan dengan indikator alat angkut maupun volume bahan tambang.
Para investor dan pemerintah daerah belum terintegrasi menilai dampak sosial dan lingkungan dalam perizinan pertambangan.
Bambang Catur Nusantara selaku Dewan Nasional Walhi mengatakan, dalam konteks pertambangan dan jaminan reklamasi pejabat yang membiarkan kerusakan itu, menurut hukum lingkungan bias masuk pejabat melakukan kejahatan lingkungan.
Perusahaan pertambangan, katanya, belum mengembangkan code of conduct yang diimplementasikan dengan stakeholders dalam membangun dunia pertambangan berkelanjutan.
Selama ini, pertambangan di Lumajang, tak memiliki izin selayaknya, mulai pengajuan WIUP, lau IUP eksplorasi, dan IUP operasi produksi.
Ia juga tak dilengkapi dokumen-dokumen tambang, baik laporan eksplorasi, studi kelayakan, laporan rencana kerja dan anggaran belanja (RKAB). Juga rencana reklamasi dan pasca tambang, rencana investasi, rencana kerja tahunan teknis dan lingkungan (RKTTL). Taka da laporan kegiatan triwulanan, laporan produksi dan pemasaran, dokumen lingkungan (UKL,UPL/Amdal) sampai tak membayar biaya pencadangan wilayah dan jaminan reklamasi.
Di Lumajang, katanya, tak ada Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral, hingga perizinan masuk lewat Dinas Perekonomian.
“Investasi berjalan tanpa pertimbangan lingkungan dan perizinan yang benar.”
Saat ini, sepanjang Pesisir Pantai Watu Pecak, Desa Selok Awar awar, terhampar pasir hitam berkilauan. Pemandangan indah laut ini dikotori “kolam raksasa” yang bertebaran di tepi pantai.
Kolam ini sudah menelan korban. Seorang anak tenggelam. Kematiannya tak banyak terekspos media. Sawah warga rusak karena dikeruk setiap hari.
Sejak ada penambangan, mereka kesulitan mendapat kerang.
“Jika reklamasi tak dilakukan, risiko bencana makin besar. Ini tak pernah dihitung sebagai kerugian,” katanya.
Thoriqul Haq, staf Pansus Pertambangan DPRD Jatim mengatakan, soal pertambangan di Lumajang harus ada sinergi antara pemerintah provinsi smpai ke desa.
Bila perlu, pengurusan IUP perlu rekomendasi kepala desa hingga dalam penerbitan perizinan provinsi perlu menyampaikan tembusan izin kepada pemerintah desa. Tujuannya, memudahkan pemerintah desa mendata dan mengawasi pertambangan.
“Reklamasi harus segera. Saya berharap dapat menggunakan dana bencana,karena kalau menunggu pembahasan perbaikan lingkungan melalui APBD masih lama,” kata Thoriq.
Desakan Thoriq ini, sekaligus bagian rekomendasi Pansus Pertambangan DPRD Jatim, salah satu poin meminta pemprov, pemkab/pemkot Jatim menginventarisasi bekas tambang.
“Sekaligus sesegera mungkin yang sekiranya mengancam kehidupan melakukan perbaikan lingkungan,” katanya.
Kalau tak penanganan segera, khawatir rob bercampur pasir bakal menerjang rumah.
“Kasihan masyarakat Desa Selok Awar-awar. Air laut sudah masuk ke rumah otomatis membawa pasir. Mereka harus tinggal dimana?”
Saat ini, rob sudah menerjang belasan rumah warga di pesisir selatan Pantai Watu Pecak. Menurut Gus A’ak, air laut naik sampai hutan Kosambi di belakang panggung peringatan 100 hari almarhum Salim Kancil. Rumah warga juga terendam air bercampur pasir.
Banjir rob, katanya, di lokasi tambang pasir besi yang ditolak Salim dan Tosan. Kekhawatiran para aktivis protes tambang ini sudah terbukti.
Informasi di lapangan, gelombang tinggi di Perairan Pantai Watu Pecak membawa material pasir dari pesisir hingga masuk permukiman warga berjarak sekitar satu kilometer dari bibir pantai.
Belasan rumah sempat terendam air laut bercampur pasir. Bahkan, sebuah rumah roboh dan belasan tertimbun pasir di Dusun Selok Orkesan, dan Desa Selok Awar-awar.
“Ada 14 rumah di Desa Selok Awar-awar terendam genangan air laut,” kata Kepala Bidang Pencegahan, Kesiapsiagaan dan Logistik Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Lumajang, Hendro Wahyono.
Thoriq memaparkan, laporan Pansus Pertambangan DPRD Jatim berisikan, pertambangan sangat inheren dengan masalah reklamasi.
Pemerintah Jatim, katanya, harus memberikan perhatian terhadap rencana reklamasi. Rencana ini, wajib disusun perusahaan pada setiap tahapan kegiatan eksplorasi dan pasca operasi produksi. Ia disusun berdasarkan dokumen lingkungan hidup. Melalui rencana ini, dapat diperkirakan reklamasi oleh perusahaan.
Pemerintah Jatim, mempunyai peranan penting dalam persetujuan dan penilaian rencana reklamasi. Di dalam rencana reklamasi itu, dapat dihitung biaya perkiraan reklamasi yang terwujud dalam jaminan reklamasi.
“Sebelum menerbitkan izin operasi produksi, pemerintah Jatim harus memastikan rencana reklamasi pemohon IUP,” kata Thoriq.
Pemerintah, harus berperan aktif menentukan kriteria keberhasilan reklamasi operasi produksi.
Sedangkan temuan tim Pansus untuk pertambangan di Jatim, terutama Lumajang, ada permasalahan jaminan reklamasi tak dibayar pemilik izin. Pemilik izin juga sering melarikan diri setelah selesai penambangan tanpa reklamasi. Kondisi ini, katanya, berpotensi reklamasi menjadi beban APBD.
Jaminan reklamasi , katanya. diberikan pada tahap eksplorasi dan operasi produksi. Ia masuk kewajiban pembayaran jaminan reklamasi sebagai bagian ketentuan yang melekat pada izin.
Jaminan reklamasi, lebih baik dalam bentuk bank garansi diterbitkan bank pemerintah atau bank swasta di Indonesia. Jangka waktu penjaminan, sesuai jadwalrReklamasi.
Jaminan reklamasi, katanya, bukan bagian APBD. Ia dana pemohon izin guna pelaksanaan reklamasi.
Dari aspek hukum keuangan negara, jaminan reklamasi dalam bentuk bank garansi lebih aman karena pemerintah provinsi tak menerima uang tunai. Dengan begitu, mengurangi potensi penyalahgunaan keuangan.
Apabila kemudian hari pemegang izin melarikan diri tanpa reklamasi, kata Thoriq, pemerintah dapat mencairkan jaminan reklamasi menutup pembiayaan.
Dalam temuan mereka, ada sekitar Rp130 miliiar lebih biaya harus keluar untuk mereklamasi kerusakan di Pesisir Lumajang. Sedangkan jaminan reklamasi hanya ratusan juta.
“Tidak sebanding dengan kerusakan,” ucap Thoriq.
Pemerintah provinsi, katanya, harus berperan dalam persetujuan dan penilaian rencana reklamasi.
“Izin tambang harus dikeluarkan berazaskan kehati-hatian dan mempertimbangkan dampak lingkungan.”
Mongabay mendapatkan dokumen jaminan reklamasi PT. IMMS. Dalam dokumen itu, pada 10 Juli 2014, IMMS memberi bibit ikan kepada lahan milik warga dusun Dampar dan Dusun Kajaran. Lubang-lubang tambang bekas galian jadi kolam ikan.
IMMS juga merehabilitasi lahan bekas tambang menjadi sawah.
IMMS mendapatkan persetujuan ekspor Kementerian Perdagangan kuota 720.000 ton pertahun untuk pasir besi. Dengan quota ini, IMMS menempatkan dana jaminan reklamasi. Dengan perhitungan satu hektar Rp25 juta.
Kala diasumsikan satu hektar mendapatkan 60.000 ton bahan mentah, mereka harus jaminan reklamasi Rp300 juta. Dana ini disetorkan kepada Bank Jatim, Kantor Cabang Jember.
“Terbukti sudah, besaran jaminan reklamasi perusahaan tak sebanding pendapatan. Sesat sekali jika reklamasi hanya mengisi kolam bekas tambang dengan ikan, atau menjadikan lahan sawah,” kata Rere.
Sampai kapanpun, katanya, tambang tak akan memberikan kesejahteraan masyarakat.
“Yang ada, kerusakan lingkungan, kerugian negara dan mempertinggi risiko bencana masyarakat pesisir.”
Bagian 4:
“Semua kena abrasi. Terbukti sudah alasan saya tolak tambang, bencana datang, kerusakan makin parah.” Begitu ucapan Tosan, kala menelpon saya awal Juni 2016. (Tommy Apriando – Mongabay.co.id)
Dia memberitahukan Pantai Watu Godek dan Pesisir Pantai Watu Pecak, habis diterjang abrasi dan rob.
“Semoga bencana kecil kemarin membuat penambang sadar dan berhenti,” katanya.
Data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Lumajang memetakan 16 desa di pesisir selatan rawan bencana tsunami.
Kepala Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan BPBD Lumajang Hendro Wahyono mengatakan 16 desa itu di lima kecamatan dengan garis pantai 75 kilometer.
BPBD telah memasang peringatan dini (early warning system/EWS) untuk mengingatkan masyarakat apabila terjadi gempa berpotensi tsunami.
EWS dipasang di Desa Bades (Pasirian) dan Desa Tempursari (Tempursari). Alat masih sederhana. Alarm tak otomatis berbunyi, manual dengan memencet tombol terlebih dulu. Pusat Pengendali Operasi di Kantor BPBD Lumajang menerima informasi gempa dari BMKG akan meneruskan informasi ke kecamatan untuk diteruskan ke pos pantau di desa.
Dari pengalaman, gempa berkekuatan 7 skala richter mengakibatkan kerusakan sangat parah di zona radius 250 kilometer dari pusat gempa. Maka, daerah rawan terdampak sekuranjg-kurangnya 10 kilometer dari garis pantai.
Kelima wilayah Kecamatan itu masuk zona bahaya. Pada kelima wilayah kecamatan zona bahaya bencana tsunami ini, BPBD Lumajang mendata penduduk rawan terdampak 339.537 jiwa.
“Penduduk sebanyak ini yang harus dimobilisasi untuk mengungsi jika terjadi tsunami,” katanya.
Intensitas gempa sering terjadi di perairan selatan Jawa, seperti di selatan Malang dan Jember, karena pergeseran lempeng Indo-Australia di kedalaman tertentu.
Data Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Karangkates Malang, mencatat delapan kabupaten di selatan Jatim, rawan tsunami karena masuk zona I (tinggi) rawan gempa bumi.
Delapan kabupaten itu yakni Pacitan, Trenggalek, Tulungagung, Blitar, Malang, Lumajang, Jember, dan Banyuwangi.
Kepala Stasiun Geofisika Karangkates BMKG Karangkates Musripan mengatakan, daerah rawan zona II (sedang) gempa bumi di Ngawi, Madiun, sebagian Ponorogo, Nganjuk, Jombang, Mojokerto, Gresik, dan Sidoarjo. Lalu, Surabaya, Pasuruan, Probolinggo, Situbondo, dan Bondowoso.
Kemudian zona III (rendah) di bagian utara Jatim, yakni Tuban, Bojonegoro, Lamongan, dan Pulau Madura.
Dia mengatakan, selatan Pulau Jawa berpotensi gempa karena pertemuan lempeng Indo-Australia dengan lempeng Eurasia. Jadi semua BPBD di selatan Jawa harus mewaspadai ini.
Gempa bumi berpotensi tsunami biasa kekuatan lebih 7,0 skala richter (SR) dan kedalaman sumber gempa dangkal kurang 60 kilometer, serta terjadi deformasi vertikal dasar laut.
Pantai berbentuk teluk dan memiliki garis pantai landai, katanya, daerah rawan gempa disertai gelombang tsunami seperti di Banyuwangi pada 3 Juni 1994.
Selama 2015, tercatat enam hingga tujuh kali gempa bumi cukup terasa di Jatim, mengakibatkan retakan hingga merusak bangunan seperti di Jember September 2015. Kala itu, bangunan retak di Kecamatan Puger, namun tak ada korban jiwa.
Dr. Eko Teguh Paripurno, Kepala Pusat Studi Manajemen Bencana (PSMB) UPN Veteran Yogyakarta mengatakan, penambangan di Pesisir Lumajang, merusak vegitasi dan mengurangi morfologi kawasan pesisir. Di pesisir Lumajang, merupakan salah satu blok yang belum bergerak. Di Selatan Jawa, blok tak utuh dan Selatan Wotgalih belum dilepas.
Saat ini, selatan Wotgalih dan sepanjang Pesisir Lumajang merupakan zona berbahaya, hingga harus berhati-hati.
“Abrasi yang terjadi awal Juni lalu hanya sedikit gambaran, ketika rob mengakibatkan rusak jalan di Pantai Watu Godek dan Pesisir Pantai Watu Pecak hingga merendam lahan pertanian.”
Di Desa Wotgalih, ada gumuk pasir setinggi 11 meter. Jika hilang, berbahaya, terlebih posisi penduduk di satu kilometer dari pantai. Ketika tsunami, bisa mencapai tiga kilometer.
Kala pasir atau pasir besi diambil, hilang 20 -30% pertahanan. Ia akan mengurangi ketinggian dan merusak buper morfologi.
“Bagaimanapun pertambangan mengurangi morfologi, vegetasi dan memberikan peluang lebih besar risiko bencana warga di pesisir,” kata Eko seraya mengatakan, tambang pasir harus dihentikan.
Dia menyarankan, pengembalian fungsi semula.
“Sudah wajib setiap pertambangan memperhatikan dan mamasukkan nilai risiko bencana.”
Abdullah Al Kudus, Laskar Hijau mengatakan, hampir semua pesisir pantai selatan dari Pacitan hingga Banyuwangi ada tambang galian C dan pasir besi.
Gus A’ak mengusulkan, jika pemerintah Lumajang berniat memperbaiki tata kelola, semua pertambangan tak berizin harus disetop dan beri sanksi tegas.
“Harus berani mendesak perusahaan memulihkan kondisi lingkungan di Pesisir Lumajang,” katanya, seraya mengatakan, solusi terbaik tetap setop pertambangan.
Dia menyarankan, Pesisir Lumajang jadi wisata dan pendidikan.
“Kami siap menghijaukan kembali Pesisir Lumajang, agar tak ada korban ketika bencana datang.”
***
“PT Mutiara Halim.” Begitu plang berukuran sekitar dua kali satu meter terpasang di atas gardu pinggir jalan menuju Kecamatan Yosowilangun dan Kecamatan Klakah.
Puluhan petugas bergantian memberhentikan truk pembawa galian dari pesisir yang akan keluar Lumajang.
Beberapa sopir truk terlihat memberikan uang kepada petugas di gardu. Uang ini pajak galian mandate Pemkab Lumajang melalui kerja sama operation (KSO), melalui CV. Mutiara–belakangan berubah menjadi PT. Mutiara Halim.
“Pajak galian di Lumajang dimandatkan ke Mutiara Halim, oleh BPKP Jatim temukan indikasi kerugaian negara Rp63 miliar. Bupati Lumajang tak juga hentikan KSO itu,” kata Gufron, Tim Advokasi Salim Kancil.
Dalam dokumen putusan pengadilan, Setiadi Laksono Halim (57), selaku direktur Mutiara Halim, bersama Achmad Fauzi (Bupati Kabupaten Lumajang 2003-2008) dan Endro Prapto Ariyadi, Sekda Lumajang periode 1999-2009, terbukti merugikan negara.
Ceritanya, kata Gufron, pada 2004, Setiadi mengajukan permohonan kepada Bupati Achmad Fauzi untuk kerjasama penggalian/penambangan pasir di Lumajang Rp450 juta pertahun. Juga melaksanakan tagihan pajak bahan galian golongan C pasir Rp750 juta.
Sekda Lumajang kala itu, Endro menyampaikan permohonan kepada Achmad Fauzi. Bupati memerintahkan Endro melalui disposisi 27 Juli 2004.
“Ajuan ini pertimngkan selama pemkab tak rugi, syukur kalau ada peningkatan, pengesahan, proses sesuai prosedur,” kata Fauzi, saat itu.
Berdasarkan disposisi, Endro meneruskan surat kepada Setiadi dan kepada Asisten Tata Praja Masudi dengan permintaan permohonan diproses. Pada 29 Juli 2005, diadakan rapat dengan para satuan kerja terkait Dispenda, bagian ekonomi, hukum. Hasil rapat jadi bahan telaah oleh staf hukum dan ditandatangani Endro. Dengan persetujuan Fauzi, dibuat dua perjanjian KSO antara Pemerintah Lumajang dengan mutiara Halim.
Lahirlah KSO No.8 tahun 2004 tentang pemungutan pajak pengambilan dan pengolahan bahan galian golongan C di Lumajang. Ia berisi antara lain mengatur, CV. Mutiara menyerahkan kepada pihak pertama hasil pengutan pajak pengambilan dan pengolakan bahan galian golongan C pasir, tahun pertama Rp750 juta000, jangka waktu lima tahun, dapat diperpanjang.
Lalu dibuat perjanjian KSO soal eksploitasi bahan galian C pada lahan perusahaan daerah pertambangan Semeru Lumajang. Ia berisi antara lain mengatur Mutiara menyerahkan kepada Pemkab lumajang pembayaran bahan galian C pasir tahun pertama Rp450 juta, jangka waktu lima tahun, dapat diperpanjang. Mereka menandatangani perjanjian 12 Oktober 2004.
“Setiap tahun Mutiara wajib setor Rp1,2 miliar kepada Pemda Lumajang,” kata Gufron.
Pada 11 November 2004, Halim bersama Endro menandatangani perjanjian tambahan pemkab menugaskan Mutiara memungut hasil jualan galian C pasir di seluruh Lumajang. Anehnya, jumlah setoran tak ada perubahan.
Setelah penandatanganan KSO, ditindaklanjuti bupati dengan menerbitkan surat penugasan kepada CV Mutiara menimbang hasil bahan galian C di Lumajang. Ada juga keputusan penugasan kepada Mutiara sebagai wajib pungut pajak pengambilan dan pengolahan galian C di Lumajang. Terakhir, surat pemberian hak penjualan hasil eksploitasi galian C pada lahan perusahaan daerah Semeru.
Bupati meminta persetujuan DPRD. DPRD setuju dan keluarkan surat. Berdasarkan putusan DPRD Lumajang, Desember 2004, Fauzi menerbitkan surat pentapan harga pasar bahan galian C untuk pasir di Lumajang. Harga pasir Rp5.000 per ton dan harga pengambilan pasir Rp5.000 per ton.
Mutiara pun mulai bekerja. Perusahaan ini memungut pajak 20% dari harga pasir Rp1.000 per ton dan hasil eksploitasi 100% dari harga penetapan per ton.
Tindakan Halim, Fauzi dan Endro, melawan UU Pemerintahan Daerah karena persetujuan DPRD diperoleh setelah perjanjian KSO. UU Pajak dan Retribusi Daerah juga menyebutkan, pemungutan pajak tak boleh borongan. Seharusnya pemungutan pajak oleh petugas Dinas Pendapatan Daerah Lumajang.
“Laporan hasil Investigasi BPKP perwakilan Jatim 16 Juli 2009, jika KSO dilanjutkan sampai 2024, kerugian negara sampai Rp63 miliar,” ucap Gufron.
Berdasarkan keterangan Dwiarti Hariningsih dan Rosjidi dari BPKP Jatim, penarikan pajak borongan bertentang dengan UU. Dari perjanjian itu, merugikan keuangan negara atau daerah pada 2004-2008 sebesar Rp5 miliaran.
Ronal Teruna Wijaya, pengusaha jasa angkutan memiliki sekitar 40 truk (,14 truk gandeng, 26 tronton), mengeluhkan pungutan Mutiara. Sejak 2004, ada pungutan untuk timbangan pasir dan pajak terlalu tinggi dan tak jelas untuk apa.
Endro mengakui setelah KSO, Mutiara Halim, tak pernah melaporkan hasil pungutan pajak dan eksploitasi kepada Pemkab Lumajang.
“Tak ada laporan keterbukaan pungutan pajak dan hasil eksploitasi Mutiara Halim. Diduga kuat ada kerugian negara dari KSO itu,” kata Endro.
Informasi dari salah seorang pebisnis tambang dulu portal Mutiara Halim untuk kepentingan masyarakat. Setiap truk hanya ditarik Rp2.000-Rp3.00. Ketika tahu pasir besi mahal, portal buka sekali jalan Rp125.000 untuk galian C, dengan jarak 1,5 kilometer.
Berdasarkan data Dinas Perhubungan Lumajang, ada sekitar 5.000 truk bermuatan pasir dari tambang di Lumajang menuju sekitaran Jatim. Data truk ini, sebelum ada moratorium pertambangan di Lumajang. Rinciannya, sebanyak 3.000 truk kecil sekelas engkel, 2.000 tronton.
Kepala UPT LLA Jember Dishub Jawa Jatim mengatakan, tak berwenang memesiksa apakah pasir dari pertambangan legal atau ilegal.
“Hanya pengawasan barang, apakah melebihi tonase atau tidak. Jika melanggar tentu ditindak.”
Sebelum adanya penutupan tambang di Lumajang ada beberapa pelanggaran tonase muatan pasir. Dia mencontohkan, truk diesel lima sampai tujuh ton, ternyata muatan 10 ton. Truk kapasitas hanya tiga sampai empat kubik, dalam praktik sampai tujuh kubik. Sedangkan truk tronton dari berat maksimal 21 ton, bisa angkut 35-40 ton.
Gawa Sudarmanto, Kepala Dinas Pengelola Keuangan dan Aset Daerah Lumajang mengatakan, Pemda Lumajang tak punya alat penimbangan bahan galian. Penimbangan oleh Mutiara Halim. Selama ini, berapa besar muatan truk hanya ditaksirkan, per tonnya Rp5.000. Adapun pengangkutan galian diatur dengan kartu kendali.
Berdasarkan data, saat ini ada 18 izin pertambangan dari pemda. “Artinya penarikan pajak dimaksimalkan dari pertambangan masih berjalan,” katanya.
Megenai pajak galian, jika truk pengangkut mau keluar harus pakai kartu kendali. Dari kartu, pemda akan melihat taksasi, dan mengsinkronkanya dengan setoran. Bank Jatim akan melapokan setoran dari perusahaan.
Kabar soal pajak pasir dari anggota Pansus Pertambangan DPRD Jatim Thoriqul Haq, sungguh miris. Pajak galian C dan pasir besi di Lumajan,g tahun 2014, Rp75 juta. Pada 2015 per Oktober, penghasilan pajak galian C hanya Rp49 juta.
Pendapatan anjlok dari tahun-tahun sebelumnya. Data DPRD Lumajang, pendapatan pajak mineral bukan logam dan bebatuan pada 2010, dari pasir Rp5 miliar lebih, 2011 (Rp3 miliaran), 2012 (Rp2,5 miliaran) 2013 (Rp2,2 miliaran).
Walhi dan Jatam menghitung, pertambangan pasir besi liar di Lumajang, berpotensi merugikan keuangan daerah hingga Rp11,5 triliun dalam lima tahun.
Berdasarkan audit investigasi BPKP Jatim, sejak 2004-2005, ada perjanjian operasional atau joint operasional antara pemerintah Lumajang dengan Mutiara Halim terkait retribusi tambang pasir yang merugikan keuangan negara Rp5 milliar.
Menurut Ki Bagus Hadi Kusuma, Manajer Kampanye Jatam, perputaran uang hingga miliaran rupiah perbulan dan kerugian negara triliunan rupiah, mengindikasikan ada praktik mafia pertambangan. Praktik ini, katanya, kemungkinan dilindungi orang berkuasa kuat, baik dari birokrasi pemerintahan maupun aparat keamanan.
Penyelesaian kasus mafia pertambangan ini, seharusnya tak mengabaikan korupsi pertambangan pasir besi di Lumajang.
Selama ini, katanya, penyidikan berhenti pada Kades Haryono cs, ketiga oknum kepolisian hanya setingkat Polsek atau penerima langsung.
Af Maftuhan, Direktur Eksekutif Perkumpulan Prakarsa dan Koordinator Forum Pajak Berkeadilan mengatakan, penarikan pajak oleh pihak ketiga sangat berpotensi merugikan negara. Dalam kasus Lumajang, penarikan tanpa tranparansi dan akuntabilitas jelas diduga kuat ada kebocoran.
Dengan begitu, katanya, penting, KPK dan PPATK turun tangan melihat potensi kerugian Negara. Terlebih, selama ini tak ada pengawasan langsung dari lembaga negara.
***
Sirine terdengar makin keras ketika tiga mobil tahanan membawa para pembunuh Salim Kancil dan penganiaya Tosan berjalan mendekati Pengadilan Negeri (PN) Surabaya pada Kamis, (23/6/16). Seharusnya, putusan Kamis (16/6/16) tetapi tertunda karena sang Kades, Haryono, beralasan sakit.
Puluhan polisi bersenjata laras panjang mengawal mereka. Para pelaku tangan terborgol, berkemeja lengan panjang putih. Celana panjang hitam, beberapa berkopiah hitam. Sanak keluarga mereka menunggu di dekat ruang penjara PN Surabaya.
“Pak hakim, tolong perhatikan nasib kami, para istri-istri tersangka.” Begitu tulisan pada spanduk berukuran 2×1 meter dibentangkan istri pelaku.
Pukul 5.00, Tosan bersama istri, dan serta Tijah, istri almarhum Salim berangkat dari Desa Selok Awar-awar. Mereka ingin mendengarkan hukuman majelis hakim kepada pelaku.
“Saya ingin mereka dihukum mati. Paling tidak dihukum seumur hidup” kata Tijah.
Jihad Arkhanuddin, ketua Majelis Hakim mulai membacakan putusan sidang. Di kursi terdakwa, Haryono dan Matdasir, mendengarkan pembacaan putusan. Mereka bersalah dengan vonis 20 tahun penjara.
“Terdakwa satu Haryono dan terdakwa dua Matdasir, terbukti sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana dengan sengaja merampas nyawa orang lain dan dengan rencana terlebih dahulu,” kata Jihad dalam amar putusan.
Vonis ini lebih ringan dibandingkan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Lumajang dengan hukuman seumur hidup.
Tijah dan Tosan, kecewa.
Tosan mengatakan, dianiaya hingga perut robek dan harus operasi, Salim tewas serta lingkungan Pesisir Lumajang, rusak, para pelaku hanya vonis 20 tahun.
“Ini tak adil bagi kami sebagai korban. Jaksa harus banding, dan polisi harus temukan puluhan pelaku lain,” ucap Tosan.
Jaksa banding. Tosan berharap, kala banding, putusan hokum bias lebih berat. Terpenting lagi, katanya, tambang pasir besi di pesisir pantai Lumajang, berhenti.
“Perjuangan saya tulus menyelamatkan alam untuk generasi akan datang,” katanya.
Kekecewaan juga dirasakan Tijah, istri Salim. Hukuman 20 tahun penjara bagi otak pembunuh suami sangat tak adil.
Hakim, katanya, tak mempertimbangkan derita keluarga.
“Ini tidak adil.”
Rere Christanto, Direktur Eksekutif Walhi Jatim menilai penundaan sidang berulang, hingga delapan bulan disinyalir ada kongkalikong. Dia melihat ada kejanggalan.
“Kami melihat kasus ini hanya kriminal biasa, mata rantai mafia pertambangan dan kerusakan lingkungan tak terbaca. Masih banyak pihak lain belum jadi tersangka.”
Naimullah, JPU Kejari Lumajang sudah mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi (PT) Jatim di Surabaya. Hingga kini belum ada putusan.
***
Jalan setapak menuju makam Salim masih basah, usai turun hujan. Sore hari akhir Mei, Tosan, istri dan anak bungsu mengunjungi makam Salim. Ia berjarak sekitar 100 meter dari rumah Salim. Tosan membawa air dalam botol plastik dan bunga kertas. Berkemeja putih dan jeans biru.
“Mumpung mau puasa, nyekar dulu ke makam Salim,” katanya.
Di bawah lebat batang-batang bambu, kuburan berbatu nisan bertuliskan nama Salim, ditumbuhi rerumputan. Tosan membersihkan rumput dan daun-daun bambu kering.
Tosan menaburi bunga, menyiramkan air ke makam. Mereka berdoa. Salim tak mampu menahan air mata.
“Lim, perjuangan masih panjang. Hukuman bagi pelaku masih jauh dari rasa keadilan. Kita mungkin dilupakan, tapi tujuan kita bersama tetap sama. Tak boleh lagi ada tambang di Pesisir Lumajang,” kata Tosan.
Tosan kembali bercucuran air mata. Sembari memegang batu nisan, dia kembali memanjatkan doa.
Di depan nisan Salim, Tosan berjanji melanjutkan perjuangan menjaga lingkungan Selok Awar-awar…Habis
**)Sumber: Mongabay.co.id
Kemelut Tambang Pasir Hitam Lumajang (Fokus Liputan: bagian 1)
Kemelut Tambang Pasir Hitam Lumajang (Fokus Liputan: bagian 2)
Kemelut Tambang Pasir Hitam Lumajang (Fokus Liputan: bagian 3)
Kemelut Tambang Pasir Hitam Lumajang (Fokus Liputan: bagian 4)