Memasuki tahun 2020, rakyat dikejutkan dengan bergulirnya RUU Pertanahan yang melahirkan gelombang penolakan besar bersamaan dengan RUU KPK dan RKUHP. Kini, Februari 2020, rakyat kembali dibuat gerah dengan bergulir cepatnya RUU Cipta Lapangan Kerja (menjadi RUU Cipta Kerja) di samping RUU Ibukota Negara, RUU Farmasi dan RUU Perpajakan. Permasalahan yang menjadi fokus adalah masalah tanah.
Reforma Agraria, yang telah digaungkan sejak masa Jokowi-JK, masih menjadi ‘andalan’ dalam kebijakan pertanahan ya. Akan tetapi, apakah kebijakan itu ‘benar-benar’ Reforma Agraria?
Prof. Sajogyo, dalam tulisannya ‘Land and Labour’ pada tahun 1970, telah mewanti bahwa Reforma Agraria pada dasarnya adalah suatu usaha besar dan seringkali tergelincir dalam ‘permainan politik’ yang berujung pada semakin tertindasnya nasib kaum termiskin dari kaum miskin (juga buruh tani dan petani gurem). Reforma Agraria yang ‘genuine’ bukan sekadar ‘buah bibir dan lidah semata’ tapi adalah kerja menyeluruh.
Gagasan Prof. Sajogyo mengkritisi gerak Revolusi Hijau yang mengabaikan masalah persebaran pemilikan dan penguasaan tanah, pengorganisasian buruh tani melalui BUBT, hingga masalah peningkatan gizi melalui UPGK dan Taman Gizi (yang juga menghendaki kembali memerhatikan tanah pekarangan sebagai sumber tanaman gizi) adalah sedikit dari beberapa gagasan yang masih relevan untuk ditinjau ulang. Kebijakan reforma agraria harus dilihat dalam kerangka menyeluruh, dari rakyat secara umum, hingga kepada keadilan dan kesejahteraan kepada kaum ibu (perempuan) dan balita.
Namun, apakah ini masih diperhatikan dalam kebijakan reforma agraria saat ini, yang hanya mengandalkan ‘sertifikasi’? Atau justru kebijakan ‘reforma agraria’ hanya sekadar ‘kebijakan agraria’? Lalu, seperti apa reforma agraria yang digagas oleh Prof Sajogyo?
Bagi kawan-kawan yang berada di Malang dan sekitarnya, luangkan waktunya hari Senin nanti. Jadwal dan tempat tertera dalam poster. Sampai bertemu!