Baru-baru ini Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia IPB menyelesaikan kunjungan lapangan dari riset yang bertemakan “Restorasi Ekosistem dan Konflik Agraria di Jambi“. Riset yang digelar di Kabupaten Batanghari, Jambi, bertujuan untuk mengurai aktor dan jejaring kekuasaan, serta tumpang tindih kebijakan konsesi yang berkontribusi pada konflik agraria. FEMA IPB bekerja sama dengan Sajogyo Institute berupaya mendialogkan hasil riset awalan tersebut dengan lembaga swadaya masyarakat, khususnya yang bergerak di isu agraria. Harapannya, kegiatan dialog ini memperoleh banyak masukan untuk menemukan resolusi atas konflik agraria.
Hasil awal dari riset tersebut memperlihatkan bahwa selama tiga dekade, rakyat terus-menerus dipaksa keluar dari ruang hidupnya. Selama tiga puluh tahun itu, ruang hidupnya diklaim sebagai hutan negara. Konsekuensinya pada tahun 1970an hingga tahun 1997, Asialog Timber memegang HPH yang diberikan Negara. Sejak HPH itu berakhir, masyarakat memanfaatkan lahan itu untuk mendirikan pemukiman, kebun, dll. Namun lebih dari sepuluh tahun kemudian, badan-badan negara mengeluarkan tiga jenis konsesi yang berbeda yakni HTI, HGU untuk Perkebunan Kelapa Sawit, dan Konsesi Restorasi Ekosistem. Masalahnya areal ketiga konsesi berada di lokasi yang saling tumpang tindih. Tak hanya itu, konsesi-konsesi itu melupakan keberadaan manusia di wilayah yang diperuntukkan konsesi. Tensi konflik agraria inipun semakin tinggi dengan semakin banyaknya aktor yang terlibat, mulai dari masyarakat sipil lokal dan internasional, badan-badan negara, perusahaan penerima konsesi, aparat keamanan, agensi internasional, dll.
Diskusi ini semakin menarik dengan kehadiran kelompok Suku Anak Dalam (SAD) 113. Para audiens berkesempatan mendengarkan testimoni dan berdialog dengan kelompok SAD 113. Kelompok tersebut adalah korban dari pengusiran dengan penggunaan kekerasan oleh aparat keamanan pada tanggal 7 Desember 2013. Mereka dipaksa keluar dari areal konsesi dan rumah mereka dihancurkan. Aksi pengusiran dan penghancuran itu dibenarkan dengan adanya klaim bahwa pemukiman masyarakat merupakan areal konsesi Asiatic Palm Oil.
Sedangkan kelompok SAD 113 mengklaim bahwa tanah yang dijadikan konsesi kelapa sawit merupakan tanah adat. Menurut mereka, sebelum negara Republik Indonesia terbentuk, di tahun 1930 Suku Anak Dalam mendapatkan legalitas klaim kepemilikan tanah dari pemerintah Hindia Belanda. Bahkan pada tahun 1985/86, Kementeriaan Kehutanan telah menyusun peta mikro. Peta tersebut mengafirmasi bahwa lahan kelompok SAD 113 di tiga dusun berupa pemukiman, ladang, kebun, dll, seluas 3.550 hektar. Penelitian BPN di tahun 2007 pun membuktikan keberadaan pemukiman.
Maka pertanyaannya adalah mengapa Negara memberikan konsesi di areal yang ada penduduknya? “Pemerintah berani berbuat harus berani bertanggung jawab!” demikian pernyataan tegas salah satu tokoh kelompok SAD 113. (MTZ)