Wakaf Agraria: Bisakah Negara Mewakafkan Tanah?

Bagikan

Share on facebook
Share on twitter
Share on linkedin
Share on whatsapp

“Bisakah Negara menjadi pewakaf (wakif) tanah?” Begitulah pertanyaan yang dilayangkan Soelthon G. Nanggara, Direktur Eksekutif Forest Watch Indonesia (FWI) dalam diskusi buku ‘Wakaf Agraria’ di Rumah Malabar 22, Bogor (24/7). Diskusi tersebut diisi oleh Mohammad Shohibuddin (Penulis Buku Wakaf Agraria) dan Soelthon G. Nanggara.

Pertanyaan Negara menjadi wakif ditujukan kepada Shohibuddin dalam menanggapI masalah redistribusi dan pengalokasian lahan hutan untuk masyarakat desa adat dan konservasi hutan yang hingga kini masih hangat dibicarakan.

Bagi Soelthon, tugas dan wewenang administrasi dalam mengurus hutan masih menjadi hal yang riskan. “Hutan itu perlu diusahakan. Dan pendistribusian lahan hutan patut untuk diawasi. Akan tetapi, Pemerintah lebih berbahaya bermain dalam wewenang administrasi dalam mengelola izin terhadap perusahaan-perusahaan tertentu”, jelas Soelthon.

Soelthon menambahkan, lahan hutan masih banyak yang berstatus open access sehingga tidak ada siapa yang mengelola dan mengurusnya. Hal ini dapat dilihat contohnya pada Hutan Lindung di Jawa. “Pengelolaan hutan secara langsung (dari Negara) hanya hutan konservasi,” tegas Soelthon.

Menanggapi Wakaf Agraria dalam Reforma Agraria, Soelthon menilai Wakaf bisa menjadi penunjang agenda Reforma Agraria. “Wakaf ini menarik. Terutama dalam proses konsolidasi tanah. Mekanisme wakaf yang menarik dalam buku Wakaf Agraria ini adalah Wakaf Tanah Desa, di mana desa mengalokasikan tanahnya melalui mekanisme tertentu dengan wakaf,” ungkap Soelthon.

Ia juga menambahkan penekanan pada masalah transparansi pengelolaan wakaf yang terjamin, kampanye membumikan wakaf untuk agenda Reforma Agraria hingga penanaman kesadaran wakaf dan pentingnya Reforma Agraria.

Menjawab pertanyaan Soelthon, Shohib menjelaskan apa hakikat wakaf itu sendiri. “Wakaf pada hakikatnya adalah melepas kepemilikan sehingga tidak bisa dialhifungsikan dan dipindahtangankan kepada siapapun.”

Dari wakaf ini, tanah yang semula berada dalam peredaran jalur komersial sebagai komoditas berubah menjadi non-komoditas dan terlepas dari peredaran jalur komersial. Artinya, status tanah yang semula privat menjadi common.

“Dengan mekanisme wakaf ini, tanah yang diwakafkan tercegah dari proses fragmentasi dari mekanisme pewarisan. Masalah warisan ini mengacu pada kepemilikan pribadi yang kelak dipecah-pecah kepada ahli waris. Hal ini memancing luas lahan terpecah-pecah, dan makin menyempit,” jelas Shohib.

Lalu, apakah Negara bisa menjadi wakif? Shohib menjawab bahwa pada dasarnya, Negara tidak memiliki tanah. Berlandas Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, hubungan Negara dengan tanah adalah ‘menguasai’. Artinya, Negara bukan pemilik tanah alias super-landlord.

Namun, Shohib melihat ada mekanisme lain Negara dalam ‘memberikan’ tanah wakaf. “Negara tidak bisa menjadi wakif secara langsung. Tapi pemerintah bisa memberikan ha katas tanah, baik lembaga maupun perorangan.”

Shohib juga menambahkan bagaimana proses memberikan hak wakaf itu. “Caranya bisa dengan memberikan hak tanah kepada Badan Wakaf Indonesia. Melalui mekanisme pemberian HGu untuk kepentingan wakaf agraria,” jelasnya. (kmi)

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Lainnya

Scroll to Top