Mengapa Wakaf Agraria dan apa signifikansi bagi Reforma Agraria melalui mekanisme berbasis keagamaan tersebut? Mungkin itu yang timbul dalam sebagian benak pembaca buku berjudul ‘Wakaf Agraria: Signifikansi Wakaf bagi Agenda Reforma Agraria”, ditulis oleh Mohamad Shohibuddin.
Pertanyaan ‘mengapa dan apa signifikansi’ dijawab dalam agenda acara Diskusi Buku Wakaf Agraria yang diselenggarakan di Gedung Pengurus Besar Nahdlatul ‘Ulama (PBNU) di Jakarta, pada hari Selasa lalu (2/7).
Diskusi buku yang diselenggarakan atas kerjasama Rumah KitaB dan Lakpesdam NU itu, berfokus pada tema ‘Wakaf Agraria: Ikhtiar Mengatasi Kemiskinan Penyumbang Kawin Anak’. Diskusi ini diisi oleh tiga pembicara seperti Mohamad Shohibuddin, Lies Marcoes dan Ulil Abshar-Abdalla.
Wacana wakaf agraria muncul tatkala Shohibuddin mengisi semacam khutbah dalam acara Halal Bihalal di Sajogyo Institute tahun lalu. Ia mengetengahkan masalah wakaf dan signifikansinya dalam menjawab masalah agraria di Indonesia. Salah satu yang hadir dalam acara itu adalah Lies Marcoes.
“Saya teringat kembali awal tahun 1990-an, ketika ikut semacam lingkar diskusi bahtsul masa’il atau diskusi-diskusi yang dikelolal oleh P3M. Dan salah satu tema yang selalu dibicarakan adalah mengenai wakaf, tanah bagi orang-orang miskin”, kenang Lies tatkala mengingat khutbah Shohib di halal bihalal Sajogyo Institute.
Menurut Shohibuddin, gagasan wakaf agraria menjadi penting tatkala pemerintah tidak mampu mencegah pelepasan dan alihfungsi lahan dari pertanian menjadi non-pertanian dan dari lahan pangan menjadi lahan non-pangan. Semua bermuara skema program pemerintah yang berlebihan pada pola hak individual.
“Semuanya bermuara pada hak individual. Ini juga menjadi salah satu masalah, karena hak milik individual bukan hal yang tidak penting, tetapi kala dia menjadi satu-satunya skema yang menjadi muara dari semua program pemerintah, maka yang akan terjadi adalah (sebagai contoh) saya menerima lahan dua hektar dari program Land Reform, lalu saya punya empat anak, maka ketika saya wariskan (masing-masing) 0,5 hektar, lalu ketika anak saya mempunyai anak lagi, maka lahan itu akan semakin habis”, tegas Shohib dalam memberi contoh pengandaian.
Pola hak individual dalam penguasaan dan pemilikan lahan cenderung terjadi pemecahan lahan dalam sistem waris tanah. Pemecahan (fragmentasi) lahan yang semakin sempit menjadikan lahan semakin tidak dapat memenuhi hasil minimal untuk mempertahankan hidup apalagi mengembangkan usaha tani. Di sisi lain, petani membutuhkan uang untuk kebutuhan hidupnya. Akhirnya, para petani gurem ini terpaksa menjual tanahnya kepada mereka yang memiliki modal besar untuk membeli tanah mereka.
Akibatnya, terjadi kemiskinan di pedesaan akibat keterpaksaan petani gurem melepas tanahnya yang sempit kepada penguasa tanah yang memiliki modal besar. Faktor ekonomi menjadi penentu terutama dalam masalah kuasa politik. Juga, mengerdilkan peran lingkungan sekadar faktor produksi ekonomi semata.
“Faktor ekonomi menjadi determinasi semuanya. Ekonomi menentukan relasi-relasi sosial kita, menentukan bangun politik kita dan menjadikan lingkungan (sekadar) sebagai sumber daya alam dan pengertian resource yang dieksploitasi sebagai segala (sumber produksi). Sehingga hal kerusakan yang terjadi di sisi lain menjadi suatu ekstenalitas saja”, jelas Shohib.
Senada dengan itu, Lies Marcoes menegaskan perlunya suatu paradigma yang tepat dalam melihat permasalahan yang terjadi dengan agraria. Baginya, selain pendekatan lingkungan dengan berbasis pada biofisik, juga telah terbangun pendekatan sosial yang berfokus pada masalah hak dasar manusia dan keterlekatan manusia dengan tanah.
“Tanah selalu dilihat secara ahistoris, tanpa sejarah, tanpa kenangan dan tanpa ikatan emosional”, tegas Lies saat melihat tanah dalam kacamata faktor produksi ekonomi semata. Ini juga ditegaskan oleh Ulil dalam memandang tanah sebagai alat produksi semata. “Dalam tanah, ya, hanya sebatas tanah, a piece of land, tidak ada sejarah, dan tidak ada hal melekatnya masyarakat terhadap tanah itu.”
Wakaf agraria, selain mencegah keterpecahan lahan semakin kecil dan menghalangi pelepasan-alihfungsi lahan, juga menahan agar masyarakat desa tetap memiliki akses terhadap tanah sebagai sumber penghidupan.
Menariknya, Lies Marcoes, temuan riset Rumah KitaB di sembilan daerah, perkawinan anak justru marak terjadi di daerah-daerah yang mengalami krisis agraria. Artinya, di daerah yang terjadi krisis agraria yang parah berkonsekuensi pada tingkat perkawinan anak yang tinggi. Mengapa hal itu terjadi?
“Ketika terjadi perubahan kepemilikan tanah, atau alih fungsi yang tadinya ada hutan komunal, hutan rakyat, hutan adat, dan sebagainya, berubah menjadi (daerah) industri. Sedangkan, para penduduk setempat tidak dilibatkan dalam industri itu”, ungkapnya.
Hal itu berefek pada relasi sosial-gender terutama pada anak perempuan. Kedudukan sang bapak yang kuat tidak berubah seiring perubahan sosial ekonominya, akibat terlempar dari tanah sebagai sumber penghidupannya. Sedangkan sang ibu justru berubah kedudukannya dari ibu rumah tangga menjadi tenaga kerja.
“Si ibu tidak bisa meninggalkan anaknya di rumah dengan lelaki yang ada di sana (di rumah). Jadi, pilihan bagi si anak (perempuan) adalah apakah ia kawin atau menjadi pengganti ibunya di rumah”, jelas Lies.
Selain perubahan kedudukan yang tidak seimbang dalam keluarga (melalui kacamata sosial-gender), si bapak yang frustrasi dengan kedudukannya semakin melemah dalam kedudukan sosial ekonomi, memanfaatkan kedudukan primordialnya melalui tradisi-budaya dan agama.
“Artinya, pada satu sisi perkawinan anak meningkat seiring kepemilikan lahan yang berubah (akibat perubahan kedudukan sosial ekonomi), di sisi lain, aspek-aspek kultural yang fundamentalis juga semakin menguat”, tegas Lies.
Baginya, wakaf agraria yang berfungsi untuk menahan dan menghentikan pelepasan dan alihfungsi lahan menjawab akar permasalahan perkawinan anak yang selama ini terjadi.
“Percuma saja kita menekan untuk menambah batas usia perkawinan tetapi kita tidak menjawab akar permasalahan yang harus dituntaskan, utamanya masalah kepemilikan tanah”, kata Lies.
Seiring dengan itu, Ulil menegaskan perubahan kedudukan tanah dalam tatanan Kapitalisme Global. “Saya teringat dalam satu bagian Manifesto-nya, dia mengatakan “All that is solid melt into air”. Artinya, akibat dari kapitalisme adalah semua hal yang semula itu solid, padat, beku, itu menjadi cair semua. Contoh dari pencairan itu adalah tanah”.
Menurut Ulil, keterlekatan masyarakat dengan tanah tersebut tercermin dalam frasa Hubbul Wathan. “Hubbul Wathan itu sebenarnya ‘kan (bermakna) cinta tanah, cinta terhadap tanah di mana kita dilahirkan (dan dibesarkan),” jelas Ulil.
Gagasan Wakaf Agraria bisa menjadi Counter-Narrative di mana tanah selama ini menjadi komoditas semata dalam tatanan kapitalisme. “Ini mengubah kembali pola pikir bahwa tanah bukan komoditas, tapi non-komoditas. Atau setidaknya, meski masih komoditas, tapi untuk kemaslahatan umum, bukan sepenuhnya ditundukkan untuk kepentingan komersil,” tegas Ulil.
Dengan kata lain, tanah tidak hanya bernilai unit ekonomis semata, tetapi dipandang sebagai unit budaya tempat melekatnya pembangunan manusia dan sejarahnya.
Dengan wakaf agraria, Shohibuddin menekankan tiga prinsip penting: keagamaan, ekonomi solidaritas, dan filantropi sosial.
“Selama ini wakaf selalu dipandang penggunaannya hanya sebagai masjid, tanah kuburan dan sebagainya yang memang baik untuk ibadah keagamaan tetapi tidak produktif untuk pemberdayaan ekonomi umat. Dengan wakaf agraria, fungsi untuk mencegah pelepasan dan alih fungsi lahan pertanian dan perlindungan ekologis lingkungan menjadi sangat penting,” ungkapnya.
Meski begitu, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Menurut Shohib, pengelolaan wakaf agraria perlu untuk menjadi fokus utamanya dalam masalah relasi gender. “Seperti praktek wakaf dhuri di India, pengelolaan terpusat pada pemimpin klan yang pada dasarnya adalah laki-laki, sehingga meminggirkan kepentingan kaum perempuan”, Shohib mengingatkan. Ulil menyarankan mekanisme pengelolaan wakaf diserahkan kepada orang-orang yang kreatif dan inovatif. [kmi]