Tamu kita kali ini adalah Eko Cahyono, Pengurus dan Peneliti Pusat Studi dan Dokumentasi Agraria Indonesia Sajogyo Institute yang juga aktif sebagai pengajar di Institute Pertanian Bogor (IPB). Eko Cahyono akan berbagi dengan kita mengenai alasan dibalik maraknya konflik agraria yang terus-menerus terjadi dan memakan korban masyarakat di Indonesia dan bahkan jumlahnya dari tahun ke tahun semakin meningkat.
Eko menyatakan konflik agraria merupakan akibat dari kebijakan yang didasari cara pandang keliru terhadap lahan hutan. Lahan hutan dipandang sebagai komoditas ekonomi belaka dan tidak melihat hubungan berlapis yang meliputi hubungan sosial, budaya, kepercayaan dan ekologis antara lahan hutan dan masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitarnya. Akibat cara pandang yang keliru ini, hak-hak masyarakat kelola masyarakat terhadap hutan diabaikan dengan secara semena-mena memberikan hak konsesi hutan ke pengusaha.
Menurut Eko, pemerintah harus menyelesaikan akar masalahnya yaitu dengan pengakuan hak kelola masyarakat atas hutan. Pemerintah bisa mulai dengan membentuk badan penyelesaian konflik agraria lintas sektoral di bawah Presiden atau seperti konsep Badan Otorita Reforma Agraria (BORA) yang banyak diusulkan berbagai kalangan yang berkecimpung dalam penyelesaian konflik agrarian.
Berikut wawancara Perspektif Baru dengan narasumber Eko Cahyono dan sebagai pewawancara Budi Adi Putro.
Ada anggapan bahwa konflik agraria adalah kejadian dimana masyarakat yang berkelahi memperebutkan lahan. Apakah ini benar?
Mungkin itu tidak salah dari sudut pandang konflik yang sudah terjadi dan mengemuka. Namun barangkali juga penting untuk mendasarkan dulu pada definisi apa yang disebut dengan konflik agraria. Seringkali orang menyederhanakan agraria hanya sebagai tanah. Sebenarnya dari maknanya agraria melingkupi tidak hanya tanah, tetapi merujuk pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 45) bahwa bumi, air, dan yang ada di dalamnya itu adalah bagian dari keseluruhan agraria. Tanah adalah salah satu dari definisi agraria. Itu penting sehingga ketika bicara konflik agraria, konflik yang terjadi tidak hanya berkaitan dengan tanah tetapi juga sumber daya alam. Pengertian konflik agraria adalah pertentangan klaim atas satu wilayah sumber daya alam tertentu yang menghilangkan satu hak atas yang lainnya. Dalam kasus lahan dan sumber daya alam, penghilangan satu hak atas yang lain akibat diberikannya izin-izin konsesi oleh negara terhadap perusahaan-perusahan atau pemodal besar baik dalam maupun luar negeri. Jadi perusahaan-perusahaan melakukan ekstraksi, ekspolitasi, dan industrialisasi sumber daya alam yang menghilangkan hak masyarakat atas wilayah itu.
Berarti ada yang diuntungkan dan ada yang dirugikan dan bukan sesederhana sengketa lahan yang terjadi di perkotaan seperti pembangunan jalan?
Mungkin itu adalah konflik dalam makna umum. Kalau dalam makna umum, mungkin bisa kita pahami hal itu adalah bentuk tertinggi dalam kompetisi yang dapat terjadi. Kalau konflik agraria dalam sumber daya alam, hal itu adalah hilangnya klaim satu pihak yang lain akibat satu hal dalam soal sumber daya alam yaitu pemberian konsesi izin oleh negara kepada pihak-pihak tertentu sehingga menghilangkan hak yang lain.
Menurut data Anda, pada 2013 ada lebih dari 300 konflik. Bagaimana sebenarnya konflik-konflik tersebut?
Data terus diperbarui, tetapi tiap tahun konflik tidak turun tetapi justru makin naik. Laporan tahunan tentang konflik dari teman-teman Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (Huma), menyebutkan bahwa konflik selalu naik setiap tahun.
Sebelum berbicara kasus, yang terpenting kita lihat dulu modusnya seperti apa. Secara sederhana, akar dari konflik adalah dipisahkannya manusia dengan tanah dan sumber daya alamnya. Hubungan manusia dengan tanah dengan sumber daya alam sebenarnya berlapis-lapis, tidak hanya hubungan ekonomi, tapi ada hubungan sosial, kebudayaan, teologis, dan ekologis. Masyarakat Papua, misalnya, mereka dengan hutan mempunyai hubungan spiritual. Yang dimaksud dipisahkan antara manusia dan tanahnya adalah interaksi dan hubungan lain-lain, atas nama kebijakan pembangunan dan kepentingan industrialisasi. Hubungan tadi kemudian disederhanakan menjadi hubungan manusia hanya dengan tanah secara ekonomi saja.
Jadi nanti ujungnya adalah karena kepentingannya ekonomi, manusia tidak masuk di dalamnya. Ini terjadi ketika definisi hubungan manusia dengan tanah dan sumber daya alamnya hanya hubungan ekonomi. Mereka tidak menganggap bahwa hak masyarakat atas tanah dan sumber daya alam itu berlapis-lapis.
Apa yang membuat pemerintah salah memberi izin selama bertahun-tahun?
Satu hal mendasar yaitu soal paradigma. Kebijakan adalah hasil dari perilaku. Kalau diurutkan kebelakang, kebijakan adalah hasil dari keputusan perilaku. Perilaku ditarik lagi adalah hasil dari gugusan pikiran. Gugusan dari pemikiran itulah yang disebut paradigma. Paradigma menentukan perilakunya seperti apa. Dalam politik sumber daya alam, setidaknya ada tiga paradigma. Meskipun nanti ada variannya, tapi setidaknya ada tiga yang kira-kira banyak dilihat. Pertama, paradigma konservasionistik, yang melihat sumber daya alam seperti hutan dan gunung harus dikonservasi. Sumber daya alam jangan diubah, jangan diutak-atik sama sekali. Paradigma ini mempunyai beberapa alirannya yaitu klasik, radikal, dan kompromis. Bagi aliran radikal, sumber daya alam itu tidak boleh berubah sama sekali.
Yang kedua disebut paradigma developmentalistik. Kelompok ini kalau melihat hutan dan gunung maka yang dilihat adalah hal itu sebagai aset ekonomi dan pembangunan. Jadi yang dipikirkan adalah bagaimana kita mengeksploitasi, bagaimana kita mendapat kayunya, tambang, nikel, minyak dan gas, dan airnya. Yang ada di dalam pikiran mereka adalah bagaimana melakukan ekspoitasi dan eksplorasi.
Paradigma ketiga disebut paradigma ekopopulis, yaitu satu cara pandang berpikir bahwa alam adalah bagian dari ekosistem antara tumbuhan, dan hewan, dan juga manusianya seperti satu kesatuan yang utuh. Kecenderungan pola pembangunan economy growth, yang selalu menekankan pertumbuhan ekonomi dan lebih berwatak paradigma developmentalistik, melihat sumber daya alam sebagai aset ekonomi saja.
Apakah paradigma seperti itu dalam perspektif peneliti dan aktivis lingkungan sebenarnya salah?
Paradigma tersebut mengkhawatirkan. Misalnya dalam konteks pengelolaan hutan kita mengenal dengan apa yang disebut scientific forestry, suatu ilmu kehutanan yang diadopsi dari kelompok German Forestry School abad 19. Ketika penjajah datang ke Indonesia, mereka tidak punya ilmu tentang kehutanan karena Belanda hanya punya laut. Kalau masalah bendungan mereka paham, tapi kalau hutan tidak tahu karena tidak ada hutan di tempat asal mereka. Singkat cerita, sebenarnya ini satu buku sendiri, mereka menyewa jasa intelektual Jerman yang ahli hutan untuk mengurus hutan di Indonesia abad 19.
Salah satu doktrin dari scientific forestry adalah hutan wilayah tak berpenghuni. Manusia tidak ada di dalam kawasan dan tidak ada penghormatan terhadap ruang hidup manusia. Ini wajar karena hutan-hutan di Eropa memang dipisahkan antara pemukiman dan hutannya. Kalau di Indonesia, hutan dan gunung beserta manusia di dalamnya yaitu yang kita kenal masyarakat hukum adat. Tiba-tiba atas dasar scientific forestry tadi diterapkan untuk hutan jati, manusia disingkirkan dari hutan di Jawa dan Madura. Celakanya gaya kelola hutan ini diadopsi oleh negara untuk mengelola hutan di seluruh Indonesia.
Itu terjadi selama puluhan tahun hingga sampai saat ini, betulkah?
Ya, karena paradigmanya sama. Bayangkan efek dari satu cara pikir itu. Doktrin yang lain adalah definisi definisi hutan adalah kayu dan non kayu. Selain kayu tidak penting. Jadi yang lain-lain boleh disingkirkan, asal kayunya ada yang kita bisa ambil.
Tapi bukankah dari segi logika dan amanat konstitusi, negara memang harus memberikan konsensi kepada yang bisa mengelola hutan kita supaya kita bisa mendapat pemasukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat?
Persis di ujungnya tadi yang tidak terjadi, tidak sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Lalu di mana titik-titik salahnya ada, apakah di pemberian izin sudah salah atau implementasinya yang salah?
Kalau jawaban yang singkat, sebenarnya tidak ada pelibatan yang sungguh-sungguh terhadap kepentingan masyarakat yang berada di dalam dan sekitar hutan. Pemberian konsesi atau pemberian izin hutan hanya menguntungkan pemodal saja tanpa melibatkan masyarakat dan tanpa ada satu upaya untuk memberikan feedback ekonomi kepada masyarakat sekitarnya. Itu jawaban pendek. Jawaban panjangnya adalah kita harus melihat siapa yang diberi izin dan kapan izin itu dikeluarkan.
Tapi pemerintah sendiri bukankah tahu kalau di hutan yang akan diberikan izin ada masyarakat dan komunitas di situ?
Ya, pertanyaan Anda mengingatkan saya pada banyak kasus yang sedang terjadi. Sebagian ada dalam kajian Inkuiri Nasional Komnas HAM dimana saya bertanggung jawab dalam menyediakan naskah enografi dari 40 kasus di seluruh Indonesia. Beberapa kasus yang berada di luar Pulau Jawa mungkin jadi contoh menarik. Misalnya, kita tahu Kalimantan yang kaya batu bara. Sejak otonomi daerah diberlakukan, yang merupakan pemegang kuasa dan disebut “raja-raja kecil” sebenarnya ada di bupati-bupati. Hal ini terjadi karena bupati boleh mengeluarkan surat izin penambangan.
Ketika bupati mengeluarkan surat izin untuk kelola tambang atau hutan tanaman industri di satu wilayah, sebetulnya dia menggunakan instrumen-instrumen yang sebenarnya tidak otomatis melibatkan masyarakat yang ada di dalam kawasan hutan. Misalnya hal kecil saja, dari cara memfoto dan rujukan foto yang dipakai tidak memungkinkan untuk memperlihatkan masyarakat yang ada di dalam kawasan. Padahal foto sebagai salah satu syaratnya. Belum lagi syarat-syarat lainnya.
Ketika surat dikeluarkan tanpa memperhatikan ruang hidup masyarakat, izin inilah yang dipakai perusahaan untuk mengambil lahan. Kemudian atas dasar izin ini dan perusahaan bilang ke masyarakat, dalam hal ini masyarakat Dayak karena di Kalimantan, bahwa perusahaan sudah punya izin di wilayah suatu hutan sebesar misalnya 5.000 hektar, lalu masyarakat harus pergi dari wilayah tersebut. Dibantahlah hal tersebut oleh masyarakat yang sejak masa leluhur mereka sudah berada di sana. Ini kemudian dibalas oleh perusahaan pemilik izin dengan mempertanyakan bukti dan sertifikatnya. Masalah sebenarnya di titik ini. Masyarakat hukum adat yang memiliki klaim historis tidak mendapatkan ruang normatif hukum di negara ini. Titiknya adalah tidak ada pengakuan atas ruang hidup masyarakat.
Tadi Anda mengatakan bahwa masalahnya ketika diminta memberikan bukti kepada penegak hukum, masyarakat tidak mempunyai bukti apa-apa dan pasti kalah secara hukum legal. Bagaimanakah penyelesaian kasus-kasus yang ada selama ini.
Sejauh saya terlibat dalam penelitian-penelitian, misalnya yang paling banyak belakangan ini adalah data konflik yang dibuat oleh teman-teman Konsorsium Pembaruan Agraria tahun 2013, kasus tertinggi ternyata berada di sektor perkebunan yaitu 180 dari 98 kasus.
Nah pertanyaannya adalah seperti apa polanya? Di beberapa wilayah seperti Kalimantan ataupun Sumatera, hebatnya para pengusaha besar adalah setelah mendapat izin, mereka gusur semua lahan. Ini proses yang luar biasa karena jarang ada perkebunan sawit yang cuma mendapatkan 100 hektar namun minimal 500.000 hektar.
Ketika mendapat izin konsesi, ini yang gawat, mereka dikawal oleh keamanan, kemudian mereka melakukan penebangan hutan, lalu setelah itu mereka “duduk santai”. Ini terjadi di Bengkulu. Mereka menunggu keluhan dan tuntutan ganti rugi dari masyarakat. Tidak semua berani karena di situ ada Komando Distrik Militer (Kodim), kepolisian daerah, dan macam-macam. Yang berani akan diganti rugi namun itu pun semaunya pemilik izin dengan alasan pengusaha memiliki izin dan masyarakat tidak punya.
Jadi masyarakat tidak bisa menunjukkan hak legalitas apapun terhadap hukum Tanah.
Ya, karena hukum positif yang dipakai. Padahal ada Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria yang mengakui adanya masyarakat hukum adat di wilayah kawasan hutan. Itu diabaikan semuanya. Ketika tidak ada keluhan berarti dia yang memiliki. Tetapi biasanya bagi kelompok-kelompok yang berani, mereka melawan dulu. Mungkin ketika pembukaan di awal mereka tidak berani, tapi anak cucunya di kemudian hari makin mengerti karena mereka sekolah atau punya jaringan. Dulu tanah mereka diambil oleh perusahaan sawit, sekarang mereka mau mengambil kembali.
Tonggak penting dalam penguasaan lahan dan sumber daya alam kita adalah pada 1967. Ada tiga peraturan yang dipakai untuk menopang kekayaaan Rezim Soeharto pada masa Orde Baru untuk bisa memimpin negeri ini. Ia dinasihati kelompok Mafia Berkley untuk mengeluarkan tiga hal. Satu, UU tentang Kehutanan. Kedua, UU tentang Batu Bara. Ketiga adalah UU tentang Penanaman Modal Asing. Pada 1967 terdapat tonggak penting bagaimana sumber daya alam kita mulai dikuasai oleh penguasa negara dan kroni-kroninya secara sepenuhnya. Sayangnya, sampai reformasi belum ada koreksi mendasar tentang kebijakan ini.
Tadi dikatakan bahwa masyarakat akan diberikan ganti rugi. Bagaimana fakta sebenarnya, apakah masyarakat bisa terakomodasi dengan itu dan bagaimana hukum bisa berpihak pada masyarakat ini?
Mungkin kita dudukan situasinya dulu. Kadang-kadang kita yang di Jakarta sangat Jawa Sentris atau bias Jawa. Kita membayangkan bahwa kondisi konflik yang ada, mudah diakses media dan disebarluaskan. Di pelosok-pelosok Papua, Kalimantan, nyawa orang murah sekali. Sementara itu tidak ada yang mengadvokasi dan membantu mereka ke mana mereka akan menyelesaikan.
Kemana mereka akan lari pada umumnya ketika tanah mereka digusur?
Ini adalah suatu gejala yang oleh teoritikus dalam studi agraria disebut agrarianisasi. Satu proses dilepaskannya masyarakat dari sumber-sumber agrarianya, kemudian mereka harus migrasi atau ke luar dari ruang hidupnya dan bertarung di wilayah lain baik sebagai buruh atau pendatang. Mereka harus berkompetisi dengan orang kota, dan tidak mempunyai keterampilan yang baik. Mereka harus menjadi orang yang mandiri atas perekonomiannya sementara mereka tidak mempunyai syarat untuk itu.
Anda sering mengatakan konflik agraria ini berhimpitan dengan kemiskinan struktural yang terjadi, dan tidak bisa diselesaikan karena akar masalahnya tidak diselesaikan. Apa akar masalah sebenarnya?
Soal “dilemparkannya” petani masyarakat lokal ke kota adalah gejala umum yang terjadi. Mereka sebenarnya tidak memiliki tempat lagi. Akar permasalahannya adalah pengakuan atas hak kelola rakyat di wilayahnya sendiri oleh negara. Atas nama demi kebijakan ekonomi dan kebijakan pembangunan maka hak mereka dihilangkan, dan negara atas nama kepentingan ekonomi tadi membolehkan segala cara. Itu akar permasalahannya. Kemudian akar yang lain adalah tidak dipisahkannya manusia dan sumber daya alamnya. Mereka tidak diberikan perlakuan-perlakuan untuk melindungi hak-hak dasar mereka di ruang hidupnya sendiri.
Apakah solusi-solusi selama ini belum menyelesaikan masalah?
Belum sampai ke akarnya.
Lalu, apa solusi yang paling tepat untuk mengatasi masalah ini?
Penyelesaian konflik hari ini harus sampai pada level penyelesaian yang menyeluruh. Ini dicapai melalui kewenangan-kewenangan yang dimiliki oleh negara. Misalnya, kelembagaan penyelesaian konflik agraria yang lintas sektoral dan langsung berada di bawah otoritas presiden. Sekarang Kementerian Agraria dan Tata Ruang mungkin masih perlu kita dorong kembali menghidupkan kelembagaan penyelesaian konflik agraria yang menyeluruh.
Apakah pemerintah kali ini memberikan harapan bagus untuk menyelesaikan konflik agraria di lapangan?
Mau tidak mau harus ada harapan. Tetapi perlu kita uji kesungguhan dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Satu saja buktinya ialah apakah ia mau mendengar banyak hal yang sudah dilakukan teman-teman peneliti, akademisi, dan aktivis. Mereka sebenarnya mempunyai data dan gagasan-gagasan yang bisa disampaikan. Salah satunya ialah Badan Otorita Reforma Agraria (BORA) yang diusulkan banyak aktivis. Kelembagaan konflik agraria ini banyak yang mendorong. Tinggal sekarang apakah menteri mau atau tidak mendengar dan duduk bersama dengan kita kalangan yang memperjuangkannya. Kalau tidak mau pasti konflik akan terus muncul seiring dengan kehendak negara dalam memperlakukan sumber daya alam bukan sebagai komoditas.
Sumber : Perspektif Baru | Edisi 978 | 24 Des 2014