Penulis: Eko Cahyono**
Problematisasi Nalar “Evolusi”
Titik berangkat Revolusi Industri 4.0, yang mendasari munculnya ide Pertanian 4.0 bermula dari Klaus Schwab dan World Economic Forum yang memproklamasikan masuknya Revolusi Industri ke-4 yang dicirikan oleh fusi berbagai teknologi yang mengaburkan batas antara dunia fisik, digital, dan biologi (Schwab 2017). Sayangnya hingga saat ini belum ada definisi yang secara umum diterima terkait Revolusi Industri 4.0 (Lee dkk, 2018).
Sebagaimana banyak diuraikan, tangga tahapan “evolusi” Pertanian 1.0 hingga 4.0 ditandai dengan beberapa karakteristik khusus dengan mengasumsikan penahapan sejenis revolusi di dunia industri yang sebenarnya kurang dikenal di dunia pertanian. Pertanian 1.0 di awal abad ke-20, disusul Pertanian 2.0 ketika ”Revolusi Hijau” masuk pada akhir tahun 1950-an. Pertanian 3.0 dicirikan dengan pertanian presisi dan penggunaan sinyal GPS (global positioning sistem) yang saat itu hanya dimiliki militer. Pertanian 4.0 muncul kemudian akibat perkembangan yang sangat cepat di teknik sensor, mikroprosesor, komunikasi, sistem ICT berbasis cloud dan big data (CEMA2017).
Dari sisi tahapan evolusi industri dapat disebutkan bahwa 1.0 dicirikan tumbuhnya mekanisasi dan energi berbasis uap dan air. Revolusi Industri 2.0 dicirikan berkembangnya energi listrik dan produksi massal. Revolusi Industri 3.0 dicirikan tumbuhnya industri berbasis elektronika, teknologi informasi, serta otomatisasi. Revolusi Industri 4.0 dicirikan dengan berkembangnya Internet of/for Things yang diikuti teknologi baru dalam data sains, kecerdasan buatan, robotik, cloud, cetak tiga dimensi, dan teknologi nano, yang telah mendisrupsi inovasi-inovasi sebelumnya.
Fase-fase dan tingkatan perkembangan, baik dari sisi industri dan dampakanya di dunia pertanian disejajarkan begitu saja sebagai satu bagian dampak langsung dalam satu kesatuan nalar evolusi. Pertanyaannya, benarkah perkembangan di dunia industri otomatis berkelindan dengan dunia pertanian? Dan apakah jika tahap tangga tertinggi telah hadir dan tercapai, kondisi-kondisi di tahap sebelumnya luruh dan hilang? Jika tidak, (tidak sepenuhnya) bagaimana mendudukkan jawab yang disediakan oleh 4.0 atas pertanyaan kondisi tahapan sebelumnya?
Pemberian penanda, ciri khusus, dan parameter-parameter di dalam proses produksi pertanian sangat berbeda dengan proses industri. Sehingga istilah Pertanian 4.0 sebenarnya kurang begitu tepat disandingkan dengan konsep Industri 4.0. Produksi pertanian sangat ditentukan oleh factor-faktor hayati dan alam. Alam, biologi, dan genetik memiliki dunianya sendiri yang sudah berevolusi selama miliaran tahun hingga sampai kondisi yang ada saat ini. Sudah barang tentu kondisi tersebut tidak mudah diubah sesuai kehendak manusia yang menjadi penghuni paling muda dalam rentang waktu evolusi (Santoso, Kompas 9 Oktober 2018)
Lalu, apa akar duduk perkaranya?
Realitas empirik yang menjadi masalah utama di pertanian, pedesaan dan sumber daya alam di Indonesia masih didominasi pada persoalan pemenuhan dan kepastian basis subsistensi, ragam ketimpangan struktural (penguasaan, kepemilikan, distribusi dan akses) atas sumber sumber agraria, marginalisasi dan eksklusi petani/nelayan dari ruang hidupnya, konflik sosial-agraria struktural (Catahu KPA, 2018/Jatam, 2018/TuK,
2018), masih tingginya korupsi sumber daya alam (KPK GNPSDA, 2018/AURIGA, 2018), kerusakan ekosistem dan krisis sosial-ekologis lainnya (Outlook Walhi, 2018). Belum lagi banyaknya data dan informasi di media tentang masih rendahnya akses dan tingkat pendidikan bagi masyarakat desa, yang mengimbas pada masih tingginya ketimpangan akses atas ragam teknologi modern. Bisa jadi, sebagian peta masalah yang disebutkan di atas adalah realitas masalah yang tertinggal dari fase 0.3 atau 0.2, atau bahkan 0.1. Jika semua tujuan ‘pembangunan” pertanian dimandatkan sebagai solusi bagi kepentingan rakyat terutama bagi kelompok lapis bawah dan paling lemah di pedesaan, kaum rentan, dan marjinal lainnya (perempuan dan laki-laki) , pertanian 4.0 telah menjawab masalah yang mana? Siapa yang banyak diuntungkan dan dirugikan dari aneka layanan teknologi digital dan komputerisasi pertanian itu?
Pertanyaan di atas penting diajukan, bukan dalam rangka “anti pembangunan dan kemajuan”, namun, dalam lintasan sejarah politik pertanian dan pedesaan sejak Orde Baru hingga kini, berkali-kali atas nama kebijakan pembangunan dan “the will to improve”abai dan tidak peka atas berbagai masalah ketimpangan struktural, ragam karakteristik lapisan sosial, ketimpangan hubungan produksi-konsumsi dan tidak berani menyentuh akar masalah di hulu: kuatnya jerat gurita kartel, oligarki atau mafia sumber daya alam pertanian, pedesaan dan sumber daya alam yang memiliki kekuatan psudo–legal dan beyond state itu (KPK-GNPSDA, 2019). Inilah rambu-rambu keras yang diingatkan oleh Prof. W.F Wertheim, bahwa kebijakan pembangunan pedesaan (dan pertanian) masih sulit keluar dari watak “Politic of Iqnorance” . Sebab basis kebijakan itu masih didominasi “nalar elit” dan masih jauh dari kesungguhan untuk meresapi, mendengarkan dan bersumber dari “nalar massa” (Wertheim, 1975/2009).
Sebagai contoh, ketika Revolusi Hijau dianggap jawaban atas masalah dunia pertanian di era 70-an hingga 80-an, dengan mantra ‘intersifikasi pertanian” itu. Perubahan besar apa yang dihasilkan, dan siapakah yang banyak diuntungkan dan siapa yang dirugikan? Naskah klasik yang penting dan berpengaruh, Modernization Without Development, (Sajogyo, 1973/2006) menegaskan bahwa, kelompok petani dengan kepemilikan lahan setengah hektar ke atas-lah yang banyak menikmati menu dan sajian paket Revolusi Hijau itu. Apakah kelompok petani gurem, miskin dan landless yang waktu itu mayoritas di pedesaan mengalami perubahan dan transformasi sosial-ekonomi yang lebih baik? Tidak. Justru sebaliknya, banyak perempuan petani termarjinalkan dari akses lahan, pudarnya pengetahuan lokal, luruhnya kekayaan bibit lokal, dari aneka warisan kerusakan ekosistem tanah dan pertanian akibat massifnya penggunaan berbagai racun kimiawi.
Pembelajaran penting dari politik pertanian era Orde Baru dalam kasus Revolusi Hijau di atas, selain gagalnya “top down” strategi, masih dominannya “politic of iqnorance” (demi kepentingan politik elit nasional), ketidakpekaan dimensi keselamatan ekosistem pertanian dan keberlanjutan produktifitas rakyat (jangka panjang), ketidakadilan gender, yang juga tak kalah penting lebih penting adalah pengabaian realitas empirik lapisan sosial petani pedesaan, padahal hal inilah yang menjadi kunci penentu kepada siapa janji kesejahteraan dan keadilan sosial hendak diabdikan.
Apakah tawaran kemajuan Pertanian 4.0 sudah terhindar dari jebakan masalah sebagaimana pembejaran sejarah Revolusi Hijau di atas? Nampaknya kita tetap patut kuatir, mengingat dalam piramida sistem pertanian di Indonesia, 26,14 juta (saat ini diperkirakan tinggal 24,12 juta) rumah tangga tani (ST 2013), yang terdiri dari petani kecil, petani keluarga, petani tradisional, dan buruh tani yang mewakili sekitar 90 juta masyarakat Indonesia berada di dasar piramida dengan kesempatan paling rendah untuk memanfaatkan setiap kemajuan teknologi yang ada. Puncak piramida dihuni sangat sedikit masyarakat yang terdiri dari agrobisnis nasional/trans-nasional, masyarakat terdidik di sektor pertanian, pemodal dan pengusaha besar, importir, industri pangan, dan spekulan. Kelompok teratas di piramida sistem pertanian dipastikan akan menikmati era Pertanian 4.0 (Santoso, 2018). Dalam hasil studi KPK- GNPSDA (2018) kelompok piramida teratas umumnya termasuk di dalamnya adalah pemilik kartel dan pebisnis modal besar (nasional dan trans nasional) yang umumnya berkelindan dengan kekuasan politik (pusat dan daerah) kemudian membuat jaring gurita oligarki sendiri. Mampu memproduksi system “psudo legal” dan mencipta ragam bentuk “state capture”. Kasus-kasus terkait korupsi di sektor pangan, seperti daging, garam, daging, beras, dan sektor perkebunan (sawit), tambang dan kehutanan dapat menjadi contoh aktualnya. Dengan demikian, patut direfleksikan ulang sampaimana Revolusi Industri 4.0 hendak menjanjikan upaya mendongkrak percepatan pengurangan ragam ketimpangan pertanian dan pedesaan yang kian nyata hadir
Batas dan Tantangan
Kritik penting dan mendasar dari ragam kebijakan sumberdaya alam, pedesaan dan pertanian adalah masih miskinnya kepekaan sungguh-sungguh atas realitas “un-event development”. Yakni, kesadaran bahwa kenyataan pembangunan yang terjadi di Indonesia tidak merata dan bertingkat-tingkat. Hal ini mengacu pada distribusi orang, sumber daya, dan kekayaan yang memang tidak merata, berdasarkan karakteristik mendasar dari geografi manusia. Pembangunan yang tidak merata terlihat pada skala global, regional, nasional, perkotaan dan pedesaan. Hal ini seiring dengan jenis ekspansi kapital global untuk tujuan reorganisasi ruang ekonomi baru untuk produksi-kosnumsi dan distribusi negara-negara majau kepada negara-negara berkembang (tujuan pasar global) yang berbeda-beda dan dengan skala dampak yang juga berbeda-beda. Kemudahan petani dan masyarakat di pedesaan Jawa dengan dunia gudged, akses internet, smartphone dan computer tentu saja adalah kemewaan bagi masyarakat di pedalaman Papua, Maluku, Sulawesi dst. Hal ini bukan hanya persoalan akses, tapi juga berlapis-lapis dan kompleks meliputi aspek budaya, tradisi, pengetahuan, pendidikan, tingkat kebutuhan, kemampuan (ketrampilan) dst. Kerusakan ekosistem dan ragam krisis sosial-ekologis di kepulauan Papua, Maluku, Kalimantan, Sumatera, Sulawesi akibat ekspansi industri ekstraktif, land grabbing perkebunan dan kebijakan politik kehutanan, berikut turunan dampak lanjutannya; baik deruraliasi, depeasanisasi dan deagrarianisasi bagi masyarakat desa, berbeda dengan tingkatan dan skalanya dengan kepulauan Jawa.
Dengan kesadaran penuh atas realitas un-event development di Indonesia di atas, tawaran Pertanian 4.0 mesti ditunjukkan dudukan batas dan tantangannya. Maka, selain titik penting kemajuan teknologi digital meliputi cyber-physical system (CPSs), internet of thinks (IoT), big data, intelegensia buatan, robotik, serta aspek praktis yang mengikutinya, termasuk ”pabrik cerdas”, 3D printing, otomatisasi, organisasi, kerja sama, mobilitas, distribusi, pasar, dan keterbukaan inovasi berbasis digital (Digital Transformation Monitor2017, Lee 2018) dst, yang perlu dipertegas dalam konteks Indonesia, adalah semua itu mau menjawab masalahnya siapa? Dan hendak memastikan perwujudan peningkatan kesejahteraan dan keadilan sosial-ekonomi- ekologi yang bagaimana? Dan hendak memutus matarantai masalah struktural pedesaan dan pertanian yang mana?
Dalam skala global, kini Revolusi Industri 4.0 ditantang oleh tawaran “Soceity 5.0” yang diluncurkan oleh negara Jepang awal tahun 2019 lalu. Satu konsep masyarakat yang berpusat pada manusia (humand-centered) dan berbasis teknologi (technology based). Tawaran ini muncul sebagai kritik dan antitesa dari Revolusi Industri 4.0 yang dinilai berpotensi mendegradasi peran manusia dan miskin dimensi humanity. Sehingga tujuan akhirnya bukan hanya capaian kemajuan canggih dalam teknologi modern dalam segala aspek kehidupan (the internet of thing), namun seluruh produksi teknologi tersebut akan didedikasikan untuk meningkatkan kemampuan manusia membuka peluang-peluang membantu bagi peningkatan kemanusiaan dan transformasi kehidupan yang lebih bernilai dan bermakna.
Lalu, apa yang paling penting? Mungkin benar, diatas kemajuan teknologi, modernisasi, kesejahteraan ekonomi, dan pembangunanisasi, adalah keadilan dan kemanusiaan.
Wallahu ‘alam bissowab
*Tulisan ini telah dimuat di Majalah Tanah Air (Media Alumni IPB) Edisi 1 Tahun I (Februari-April 2019) hal. 30-31. Dapat diunduh di sini, atau di sini.
**Alumni Pasca Sarjana Sosiologi Pedesaan IPB. Assisten Pengajar di Fak. Ekologi Manusia IPB, Direktur Eksekutif Sajogyo Institute (2015-2018). Tim Peneliti di Komisi Pemberantasan Korupsi, Gerakan Nasional Penyelamatan Sumberdaya Alam (KPK-GNPSDA), 2013- sekarang.