Menguak Tabu Masa Lalu: Biografi Gunawan Wiradi*

Bagikan

Share on facebook
Share on twitter
Share on linkedin
Share on whatsapp

Penulis: Riwanto Tirtosudarmo**

Hari ini, kita meng-hayubagyo Pak Gunawan Wiradi, yang usianya mendekati 88 tahun, sebuah usia yang bagi rata-rata orang Indonesia cukup panjang. Biasanya, orang Indonesia bilang, jika telah lewat usia 70 tahun, selebihnya berarti bonus. Pak Gunawan Wiradi, untuk ukuran orang Indonesia, berarti sudah banyak mendapatkan bonus.

Buku yang diberi judul “GWR JALI MERAH: Dari berbagai tuturan biografis Gunawan Wiradi”  terbit tahun lalu, menjadi kado ulang tahun dari Pak Gunawan Wiradi yang ke 87. Surya Saluang, penulisnya, semula ingin meniru gaya penulisan buku Autobiography Bung Karno as told to Cindy Adams tapi kesulitan karena Pak Gunawan Wiradi, tidak seperti Bung Karno yang selalu menonjolkan “akunya” dengan berapi-api, Pak Gunawan Wiradi meskipun memulai dari “saya” namun tuturannya kemudian menjadi meluas pada hal-hal lain di luar dirinya (hal xiv).

Oleh karena itulah, membaca buku ini, kita seperti membaca sebuah sejarah sosial di mana Gunawan Wiradi tampil tidak saja sebagai pelaku namun juga sebagai penutur sejarah dari silih berganti zaman yang diarunginya. Lebih dari dirinya, yang ingin dituturkan oleh Gunawan Wiradi melalui pena Surya Saluang adalah memang sejarah bangsanya yang di matanya saat ini sedang dalam keadaan terpuruk. ‘Keprihatinan’ bagian terakhir dari bukunya merefleksikan kesenduan yang dirasakan tentang bangsanya ini.

Buku ini diawali dengan foto Pak Gunawan Wiradi, nggak tahu waktu usia berapa foto itu diambil, dengan dahi berkerut, mulut terkatup; ekspresinya seperti antara sedang berpikir keras dan sedang marah sekali. Kemudian dalam lembar berikutnya kita baca ‘Dengan mengalir ke lautan, sungai itu setia kepada sumbernya’, sebuah ungkapan yang saya kira beliau sendiri yang memilih, menggambarkan kredo perjuangannya dalam mengarungi kehidupan, yang tidak selalu berpihak pada dirinya. Hidup memang penuh paradoks, dan GWR tidak terhindar dari berbagai paradoks yang melekat dalam dirinya.

Lembaran berikutnya adalah ucapan penghargaan (testimoni) dari para sahabatnya seperti Nancy Lee Peluso, Anton Lucas, Hiroyoshi Kano, Gillian Hart, Jan Breman, Ben White, Saiful Bahari, Francis Wahono dan Usep Setiawan. Mungkin kalau dituruti, akan menjadi berlembar-lembar karena sudah pasti akan banyak lagi ucapan penghargaan dari para sahabatnya yang lain, yang begitu banyak. GWR bagian penting dari sebuah ‘epistemic community’, di Indonesia maupun di kalangan ahli Indonesia.

Dalam ‘Pengantar’ yang ditulis Surya Saluang, kita diberitahu kalau sudah ada beberapa buku lain yang mengulas sosok Gunawan Wiradi, di samping tidak sedikit bahan yang berupa transkrip wawancara yang oleh Surya Saluang dijadikan bahan pembanding. Tidak sedikitnya tulisan tentang Gunawan Wiradi menunjukkan tokoh kita yang satu ini memang populer. Surya Saluang, meyakinkan kita, bahwa semua isi buku yang sedang kita bicarakan ini “informasinya bersumber pada tuturan Gunawan Wiradi sendiri”.

Surya Saluang membeberkan dengan rinci proses penulisan bukunya, dari situ kita bisa membayangkan kesulitan-kesulitan yang dihadapi. Sejak awal, Pak Gunawan Wiradi sudah memberi warning, “Saya itu benci sama biografi yang isinya melulu puja-puji…”. Dan Surya Saluang sangat menyadari tantangan yang dihadapi, “menulis kisah hidup dari sosok 6 zaman yang diidolakan oleh banyak orang, bukan hal yang sepele…”. Dalam bagian lain, Surya Saluang mengakui, “Ada begitu banyak pengalaman beliau yang sangat menarik dari sisi kesejarahan dan belum tertampung dalam buku ini”. Di bagian belakang, saya ingin menantang GWR untuk mendiskusikan beberapa hal yang belum terungkap.

Surya Saluang menggunakan pendekatan yang cukup konvensional dalam menulis biografi. Maksud saya, alur penceritaan dibuat secara kronologis, mulai dari lahir sampai sekarang. Tapi, saya bayangkan memang dia nggak bisa main-main dengan obyek penulisannya: Enam Zaman, dalam kehidupan seorang tokoh….: 1932-1952 (20 tahun), hal 1-94; 1953-1965 (12 tahun): hal. 95-178; 1965-1972 (7 tahun): hal 179-226; 1973-2010 (37 tahun); 2011-2018 (7 tahun), hal. 345-384.

Jika Surya Saluang  mengaku kesulitan menulis buku ini, saya merasa kesulitan membedahnya. Pak Wiradi adalah orang yang sangat teliti, njlimet, kata Orang Jawa; ‘correct’ kata orang Inggris. Ini membuat saya tidak bisa sembarangan, take it easy, untuk membedah bukunya. Pak Wiradi adalah, saya menduga kuat, orang yang hampir melihat segala sesuatu dengan serius, perfeksionis, no nonsense, punya kesadaran diri yang kuat, tangguh berintegritas.

Tapi di sisi lain kita melihat seseorang yang penuh humor, sense of humor yang tinggi, tapi juga seorang tokoh yang ‘play full’ sekaligus romantis. Bayangkan, kisah cinta bisa ditabelkan, dan pertanyaannya, kenapa deskripsinya pakai bahasa Inggris, bukan boso Jowo?  Bahasa Jawa mungkin akan lebih mengena, dibanding bahasa Inggris, ketika mendeskripsikan soal ‘roso’, seperti cinta. Tapi ini juga yang menarik dari Pak Gunawan  Wiradi, sejak muda dia sudah kosmopolitan, punya pen friend dari berbagai bangsa. Ada semacam sikap mau menjauhi ‘kejawaannya’ yang dianggap feodal, dan mungkin dianggapnya ‘udik’. Tapi terbukti ‘kejawaan ini tak bisa dibuangnya ketika kita baca nanti bagian akhir biografinya, saat GWR membicarakan ‘sisi dalam’, sisi religiositasnya, sebuah sisi krusial ketika orang dalam usia tua.

Membaca bagian pertama dari biografinya, kita menjadi tahu latar belakang keluarganya yang ningrat Sala. Pak Wiradi sendiri mengaku feodal, dan bilang “Saya sudah tua ini baru benar-benar bisa menghapus feodalisme saya”.  Ini menjadi menarik, seorang dari kasta priyayi tetapi minatnya pada buruh tani. Dari kisah di bagian pertama kita mulai tahu mengapa Pak Wiradi memiliki “pride” yang tinggi, harga diri yang tinggi.

Memasuki bagian kedua, wajar saja jika sebagai keturunan ningrat, priyayi, tidak mengalami masalah ketika menjadi ‘tuan mahasiswa’, bagian dari elit pasca kemerdekaan, di mana dansa dan main bridge, bukan main gaple seperti mahasiswa sekarang, menjadi bagian dari kehidupan sehari-harinya di Bogor – yang saat itu digambarkan sebagai masih hijau dan segar. Sebagai mahasiswa pun, Gunawan Wiradi bukan mahasiswa ecek-ecek, dia bagian dari elit mahasiswa zaman itu, masuk CGMI dan menjadi elitnya, ikut menysun rencana pertemuan mahasiswa Asia Afrika, dan bisa bertemu Bung Karno.

Pada bagian ketiga, ketika mau di-pariah-kan, jelas Gunawan Wiradi melawan, mana mungkin seorang yang punya pride dan harga diri, mau menyerah begitu saja. Meskipun Mas Kampto Utomo (kelak bernama Sajogyo), kakak kelas empat tahun di atasnya, begitu disegani orang, buat Gunawan Wiradi biasa-biasa saja. Hormat, tapi tidak sampai munduk-munduk, bahkan berani adu argumentasi. Dalam hal argumentasi, jangan main-main dengan Pak Wiradi. Bacaannya luas, dan ingatannya tajam. Jangan sampai kita salah menggunakan kata, pasti dikoreksi setelah lebih dahulu ditertawakan. Sinis, saya kira iya. Tapi jangan salah, sinismenya berangkat dari perfeksionismenya, dari sikap ‘correct’ yang dimilikinya. Memandang rendah orang lain, mungkin. Kan ningrat, priyayi, feodal.

Memasuki bagian ke-empat, bagian yang paling panjang, kita melihat Pak Wiradi yang sebenarnya, sebagai manusia penuh, meskipun secara resmi belum direhabilitasi dari stigma ‘CGMI’, ‘Marhaen’, ‘Sukarnois’ yang ditempel di jidatnya oleh antek Suharto Orde Baru. Terutama stigma CGMI yang merupakan organisasi loyalis Sukarno, tapi secara organisatoris tidak ada hubungan dengan PKI. Seperti LEKRA yang juga secara organisatoris tak berhubungan dengan PKI. Tapi orang-orangnya tetap diberangus, seperti GWR dan Joebaar Ajoeb.[1]

Dalam periode inilah ibarat padi, saat memanen dan memetik hasilnya. Periode ini adalah periode yang paling produktif, ketika segenap energi yang dimiliki dicurahkan sepenuhnya pada riset, aksi dan advokasi, melalui SAE dan berbagai LSM yang kemudian menjadi tempatnya berkiprah. GWR orang yang pengalamannya seabreg, sulit dicari bandingannya. Dari Honduras sampai Kamerun, dari Paris, Roma sampai Tokyo sudah dijelajahinya.

Politik di suatu masa punya pengaruh pada psikologi sosial masyarakat pada masa itu. Ketika politik direkayasa untuk mengubah sebuah masyarakat hasilnya dapat diduga adalah sebuah masyarakat dengan psikologi sosial tertentu. Orde-Baru adalah sebuah rekayasa politik untuk menciptakan sebuah psikologi sosial yang memandang segala sesuatu yang terjadi pada masa Orde-Lama sebagai hal yang tidak saja buruk, tetapi juga sangat berbahaya.

Generasi yang lahir pasca 1965, pada umumnya, menganggap bahwa hal-hal yang terjadi pada masa sebelum. 1965 yang diberi label “Orde-Lama” itu memang benar-benar sebuah masa yang kacau, kelam, penuh konflik, semacam zaman jahiliah. Buku yang ditulis oleh Surya Saluang, “GWR Jali Merah: Dari berbagai tuturan biografis Gunawan Wiradi” bukanlah sekedar kisah asmara yang gagal, namun lebih dari itu, inilah kisah dari seorang yang hidup dalam politik yang selalu berubah, sejak awal kemerdekaan hingga hari ini. Keterlibatannya, terutama pada pasang surut reforma agraria di tengah perubahan politik yang sering tidak berpihak pada dirinya, itulah yang membuat buku ini penting.

Di kalangan aktivis dan di dunia akademik Gunawan Wiradi dikenal sebagai seorang tokoh yang sangat memahami sejarah dan seluk beluk reforma agraria, sebuah isu yang terus bergaung, meskipun sejak Orde Baru di mata Gunawan Wiradi telah dikebiri sehingga mandul. Tuturan Gunawan Wiradi tentang periode sebelum dan pasca 1965 merupakan bagian yang sangat menarik dan penting karena dari aktivitas dan keterlibatannya dalam peristiwa dan organisasi yang diikutinya terungkap tabu-tabu yang direkayasa sebagai alat propaganda untuk melegitimasi kekuasaan Orde Baru.

Gunawan muda tergerak hatinya untuk menjadi mahasiswa pertanian setelah mendengarkan pidato Bung Karno bahwa Indonesia adalah negara agraris, dan telah dibukanya Fakultas Pertanian  di Universitas Indonesia apalagi akan disediakan beasiswa.  Tanggal 7 September 1953. Wiradi menginjakan kaki pertama kali di kota Bogor, tempat Fakultas Pertanian Universitas Indonesia. Sejak awal, sudah nampak kecenderungannya sebagai aktivis, meskipun di kemudian hari saya melihatnya lebih sebagai akademisi yang punya banyak anak ideologis.

Dalam aktivismenya sebagai mahasiswa pertanian inilah, kita bisa membaca berbagai tabu yang direkayasa oleh Orde Baru, seperti UUPA 1960, yang katanya dibuat oleh PKI. Sebagai aktivis mahasiswa tahun 1960-an itu, kita bisa mengetahui bagaimana polarisasi politik yang terjadi saat itu. Gunawan Wiradi menceritakan bagaimana dia memilih menjadi anggota CGMI yang kita tahu setelah peristiwa 1965 selalu diidentikkan dengan PKI, padahal kalau kita baca tuturan Wiradi tidak seperti itu.

Historiografi Indonesia sejak dekrit presiden Juli 1959 sampai meletusnya peristiwa G 30 S barangkali episode sejarah yang paling dikontestasikan. Inilah periode ketika Bung Karno mengambil alih hampir semua urusan kenegaraan karena Hatta sebelumnya menyatakan mengundurkan diri begitu sidang konstituante memutuskan membentuk sistem parlementer. Kontestasi dan polarisasi politik yang berkulminasi pada tanggal 30 September 1965 serta persekusi politik yang kemudian dialaminya menjadi bagian yang penting dari buku bografi Gunawan Wiradi yang saat ini merayap mendekati usia 88 tahun ini.

Tidak sedikit sejarah yang kemudian menjadi tabu-tabu itu terkuak ketika membaca tuturan Sang Jali Merah ini. “Political ordeal” yang dialaminya bersama Profesor Kampto Utomo (Sajogyo), yang sempat menjadi Rektor IPB namun kemudian didiskriminasi oleh kelompok yang merasa menang setelah 1965, yang oleh Gunawan Wiradi disebut sebagai “gelandangan zaman” itu, menjadi catatan sejarah yang penting untuk diketahui oleh generasi yang lebih muda.

Membaca buku ini, di beberapa bagian saya merasakan begitu lancarnya cerita yang disajikan, meskipun saya menduga tuturan GWR dilakukan melalui berbagai kesempatan ngobrol dan kemungkinan rekaman tuturan itu sebetulnya terpotong-potong. Kelancaran itu, menimbulkan pertanyaan pada saya sebagai pembaca, apakah dalam penulisan kembali tuturan itu, tafsir terhadap apa yang terjadi pada masa lalu – yang sebagian tentu dituturkan berdasarkan ingatan – menjadi sangat berperan. Meskipun dari segi keterbacaan, tulisan yang kemudian sampai ke pembaca begitu enak dibaca, namun sedikit ada pertanyaan kecil, apakah kisah yang merupakan flashback itu, di beberapa bagiannya, tidak terlalu tebal polesannya?

Ini memang bukan biografi biasa. Dari ngobrol dengan Surya Saluang, saya tahu kalau paling tidak lima kali naskah buku yang telah final dibaca bolak-balik oleh Pak Wiradi. Sampai disini sebenarnya muncul pertanyaan menarik tentang authorship dari buku ini, ini buku Surya Saluang atau buku Gunawan Wiradi? Sejauh mana sebetulnya Surya Saluang berhak melakukan interpretasi terhadap fakta-fakta yang dikumpulkan yang menyangkut obyek penulisannya, sosok lahir batin dari Gunawan Wiradi?

Ini memang sebuah persoalan yang cukup subtil, dan mengapa saya angkat di sini, karena sebagai pembaca sesungguhnya yang kita hadapi adalah sebuah teks. Di balik teks ini, misalnya menyangkut proses terjadinya teks, sebetulnya bisa diabaikan, tapi dalam membaca teks GWR ini saya tidak dapat menahan rasa ingin tahu saya, tentang bagaimana proses penulisan teks ini berlangsung. Mungkin, karena pak GWR masih hidup dan masih dapat saya wawancara juga sejarah hidupnya. Seperti dikatakan Surya Saluang sendiri, masih banyak aspek sejarah GWR yang perlu digali.

Berikut adalah beberapa aspek yang ingin saya ketahui lebih lanjut, dan sekali lagi ini sekedar contoh beberapa hal yang secara subyektif menyentuh minat dan imajinasi saya:

  1. Soal PKI, bagaimana sesungguhnya peran dan keterlibatan PKI dalam studi agro-ekonomi, atau dalam studi pedesaan? Ini menjadi serius dan relevan terutama ketika kita ingin benar-benar membicarakan apa yang menjadi hantu selama ini yaitu UUPA 1960 dan ‘reforma agraria’. Ben White dalam buku untuk menghormati GWR 70 tahun sudah menyinggung soal ini.
  2. Soal kiri dan kanan dalam perspektif keilmuan, kenapa GWR mengatakan pendekatan kiri menekankan statistik, yang dengan itu menimbulkan pertanyaan, apakah kanan identik dengan kualitatif?
  3. Tentang teori ilmu-ilmu sosial yang dikembangkan Sajogyo, seperti apa kalau mau dirumuskan atau dikembangkan lebih lanjut.
  4. Tentang ‘indigenisasi ilmu-ilmu sosial’, apakah GWR punya visi di sana? Ini menjadi penting karena cukup panjang uraian GWR tentang ahli-ahli asing. Ada sedikit kesan ‘xenophobia’ disana. Mungkin baik juga masuk dalam apa yang dikenal sekarang sebagai ‘slow science’.
  5. Tentang ‘dunia dalam’ GWR, ini menarik karena bagi saya, ada yang namanya ‘agama Jawa’, dan sedikit atau banyak GWR ada disana.

Masih banyak sesungguhnya hal lain, tapi untuk kali ini, saya ingin menantang GWR untuk berdiskusi untuk lima hal ini dahulu.

Sebagai penutup, sebuah guyonan, tapi untuk kasus pak GWR menjadi serius, pertanyaan hipotesis seperti: Apa yang terjadi jika GWR menikah dengan NKT, atau salah satu dari 11 gadis yang terlibat dalam ‘love affairnya’? Apa yang terjadi jika GWR berhasil mendapatkan beasiswa ke Cornell dan pulang membawa gelar doktor? Apakah hal ini akan menambah besar pengaruhnya dalam ‘epistemic community’ dari negeri yang dicintainya?

*Tulisan ini disampaikan dalam acara Peluncuran dan Bedah Buku ‘Jali Merah dan Perjuangan Keadilan Agraria’ yang diselenggarakan di Gedung EDTC Lantai 1, PKSPL IPB Baranangsiang, Bogor, pada 20 Februari 2020

**Penulis merupakan Peneliti Senior Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya, LIPI

 

Catatan Kaki

[1] Lihat tulisan Joebaar Ajoeb, LEKRA dan PKI: “Politik adalah Panglima”, petikan dari makalahnya “Sebuah Mocopat Kebudayaan Indonesia”, yang disiarkan majalah Kreasi No. 10,  1989-1992 halaman 4-15, terbitan Stichting Budaya, Amsterdam.

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Lainnya

Scroll to Top