Kopra: Perbenturan Budaya dan Ekonomi Komoditas di Yainuelo

Bagikan

Share on facebook
Share on twitter
Share on linkedin
Share on whatsapp

“Pada saat di Yainuelo, saya tanya kepada satu orang yang tetap menanam kelapa di sana, “Kenapa Bapak masih tetap menanam padahal harga kopra (Agustus-Desember 2018) sedang jatuh-jatuhnya?” Beliau menjawab “Ini bukan soal harga, tapi orang tua kami sudah menanam ini sejak dahulu.”

Begitulah pernyataan Ode Zulkarnain Sahji Tihurua, Antropolog Maluku yang baru saja menyelesaikan kuliah Magister-nya bidang Antropologi di Universitas Indonesia. Zul, sapaan akrabnya, memberikan sepotong fakta tersebut dalam Café Literasi #6 dengan tema “Lanskap Budaya Komoditas Kopra: Tinjauan Antropologis terhadap Dinamika Komoditas Kopra di Yainuelo”, pada Rabu (25/9). Diskusi dimoderatori oleh Renal Rinoza (Peneliti Sajogyo Institute)

Keberadaan kopra sebagai komoditas tidak bisa dipandang pada satu sudut pandang, ekonomi semata. Akan tetapi kopra memiliki dimensi multi-perspektif yang multikompleks, baik dari tinjauan historis, antropologis dan kultural. Hal ini dilihat dari keberadaan kelapa yang telah menyatu dengan budaya dan gaya hidup masyarakat pesisir tropis khususnya di Kepulauan Maluku.

“Hal ini terlihat dalam kebiasaan masyarakat di Maluku di mana pada saat makan, tidak bisa tidak harus ada kelapa sisi di meja makan. Bahkan tempurung kelapa menjadi media untuk menanam ari-ari bayi yang baru saja lahir. Banyak juga kisah-kisah legenda dan mitologi dalam masyarakat Maluku yang berkait-kelindan dengan buah kelapa”, jelas Zul.

Intinya, selain menanam sagu, kelapa menjadi media (bahkan identitas) budaya maupun tanaman subsisten sebelum abad ke-19. Abad ke-19 menjadi titik awal berkembang pesatnya komoditas kopra dan persinggungan ekonomi dan budaya.

“Kopra berkembang menjadi komoditas berharga pada awal abad ke-19. Bertepatan dengan kejatuhan rempah-rempah yang harganya anjlok di pasar internasional, khususnya pasar Eropa. Tahun 1880, Kopra menjadi komoditas unggulan di Hindia Belanda, sebanding dengan kopi, tebu, dan komoditas unggulan lainnya”, jelas Zul.

Zul menambahkan, produksi kopra pada awal abad 19 hingga dekade 1970-an, didominasi oleh produksi perkebunan rakyat. “Hanya 6 persen kontribusi produksi kopra oleh investor swasta. Produksi kopra didominasi oleh produksi perkebunan rakyat dengan porsi sebesar 94 persen. Maluku menjadi produsen terbesar kopra saat itu.”

Sejak berkembangnya kopra sebagai komoditas unggulan, Yainuelo khususnya, dan Maluku umumnya, mengalami transformasi dan dinamika di dalam pedesaan. Khususnya, terjadi friksi dalam masyarakat sebagai bagian dari proses tersebut.

“Perkembangan pesat kopra sebagai komoditas unggulan di Yainuelo telah menimbulkan friksi. Pada satu sisi, kelapa merupakan tanaman subsisten dan identitas budaya dalam masyarakat pesisir. Di sisi lain, berkembangnya kopra sebagai komoditas telah mengubah pandangan masyarakat pesisir khususnya masyarakat Yainuelo terhadap kelapa”, tegas Zul.

Dalam temuan lapangnya, berkembangnya kopra berpengaruh terhadap penguasaan tanah adat dan hubungan sosial-budaya antar-masyarakat Yainuelo.

“Penguasaan lahan menjadi penting mengingat semakin banyak menanam pohon kelapa, semakin luas lahan. Konsekuensinya, semakin besar produksi kopra. 40 keluarga yang menempati tanah adat tersebut saling bersaing, terutama dalam menandai batas tanah-tanah yang dikuasai”, jelas Zul. (kmi)

Akan tetapi, seiring menurunnya nama kopra sejak awal dekade 1980-an, kopra semakin menghilang dalam siklus perekonomian Indonesia. Menanam kopra, yang pada awalnya sebagai kepentingan ekonomi, kini kembali menjadi sekadar kebiasaan masyarakat pesisir. Ironisnya, banyaknya produksi kopra dan masih luasnya lahan penanaman kelapa tidak tercatat lagi dalam data Dinas Perdagangan di Maluku.

“Kopra telah mengalami apa yang disebut solastalgia. Kopra masih ditanam tetapi sudah berubah bukan lagi kepentingan ekonomi maupun sebagai identitas budaya yang bisa dimengerti dan dipahami asal-usulnya, namun tertinggal sekadar kebiasaan yang sudah dicontoh orang tua di masa lalu”, tutup Zul.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Lainnya

Scroll to Top